KPK Nilai Gugatan Praperadilan Lukas Enembe Tidak Jelas
KPK meminta agar praperadilan yang diajukan Gubernur Papua nonaktif Lukas Enembe ditolak atau setidaknya tidak dapat diterima.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK menganggap gugatan praperadilan yang diajukan Gubernur Papua nonaktif Lukas Enembe melalui kuasa hukumnya tidak jelas. Sejumlah petitum yang diajukan dinilai saling kontradiktif dan tidak menguatkan satu sama lain.
Hal itu disampaikan Kepala Bagian Litigasi dan Perlindungan Saksi, Koordinator Tim Biro Hukum KPK Iskandar Marwanto dalam sidang jawaban termohon terhadap gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (18/4/2023). Dalam sidang ini, Lukas sebagai pemohon diwakili oleh Petrus Bala Pattyona, kuasa hukumnya, sedangkan KPK diwakili oleh Iskandar.
Sidang jawaban dimulai pada pukul 14.20 hingga 15.30. Persidangan dipimpin oleh Hakim Tunggal Hendra Sutardodo yang didampingi seorang panitera pengganti.
Dalam sidang itu, Iskandar menjawab seluruh materi yang ada dalam berkas permohonan Lukas. Dia meminta agar praperadilan yang diajukan pemohon ditolak atau setidaknya tidak dapat diterima.
”Dalam petitum empat pemohon meminta kepada hakim untuk menyatakan surat perintah penahanan yang diterbitkan termohon tidak sah. Namun, pada petitum enam pemohon meminta kepada hakim agar termohon menerbitkan surat perintah supaya Lukas ditempatkan dalam penahanan rumah/rumah sakit/kota,” ujar Iskandar.
Iskandar juga menegaskan bahwa KPK tunduk pada hukum kekhususan yang diatur Pasal 44 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 yang telah diubah menjadi UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam aturan itu, ketika penyelidik menemukan bukti awal yang cukup, dapat dilaporkan ke KPK. Bukti awal sedikitnya berjumlah dua alat bukti.
Dalam petitum empat pemohon meminta kepada hakim untuk menyatakan surat perintah penahanan yang diterbitkan termohon tidak sah. Namun, pada petitum enam pemohon meminta kepada hakim agar termohon menerbitkan surat perintah supaya Lukas ditempatkan dalam penahanan rumah/rumah sakit/kota.
Oleh karena itu, KPK dapat melanjutkan tahap penyelidikan menjadi penyidikan. Karena sudah berbekal bukti awal, KPK dapat menetapkan Lukas sebagai tersangka. Adapun bukti tersebut di antaranya, dokumen yang berjumlah 50 buah, keterangan dari 14 orang, dan petunjuk berupa data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Selain itu, pada waktu penahanan dan pemeriksaan, Lukas dinyatakan memiliki penyakit. Namun, hal itu tidak menjadi halangan untuk Lukas ditahan karena hanya perlu berobat jalan. ”Ini (keterangan sakit Lukas) merupakan hasil pemeriksaan dokter dari Bidang Kedokteran dan Kesehatan Kepolisian Daerah Sulawesi Utara,” lanjut Iskandar.
Tim pemeriksa kesehatan dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) juga menyatakan bahwa Lukas dinilai laik untuk diperiksa dan diwawancarai sebagai tersangka. Dengan demikian, kata Iskandar, mulai dari penangkapan, penahanan, dan perpanjangan penahanan telah dilakukan secara sah.
Seusai pembacaan jawaban, Hakim Hendra memutuskan untuk menunda sidang hingga 26 April 2023 pukul 10.00. Ini karena pemohon dan termohon perlu menyiapkan berkas untuk tahapan selanjutnya, yakni replik, duplik, dan pembuktian.
Saat ditemui seusai persidangan, Petrus menyebutkan jawaban dari KPK selaku termohon, telah menjawab seluruh materi permohonan.
Lukas mulai ditahan KPK pada 11 Januari lalu karena disangka menerima suap dan gratifikasi sebesar Rp 1 miliar pada 5 September 2022. Gratifikasi diberikan berkaitan dengan sejumlah proyek pembangunan infrastruktur di Pemerintah Provinsi Papua.
Setelah memeriksa Lukas sebagai tersangka dan sejumlah saksi, KPK menemukan dugaan tindak pidana lain. Kini, Lukas juga ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU).