Kasus Bima dan Dinamika Kebebasan Berpendapat di Media Sosial
Persoalan menyangkut Bima dan Lampung mengemuka tak hanya karena ramai diperbincangkan warganet. Sejumlah politisi dan pejabat negara juga turut serta berkomentar atas peristiwa tersebut.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·5 menit baca
Pelaporan Bima Yudho Saputro, kreator konten asal Kabupaten Lampung Timur, usai mengkritik pemerintah daerah Lampung di media sosial menguak persoalan menyempitnya ruang kebebasan berpendapat di ranah digital karena masih dibatasi oleh pihak tertentu. Padahal, media sosial dengan sifatnya yang terbuka bisa menjadi jalan alternatif bagi publik yang tak selalu memiliki akses menyampaikan kritik melalui lembaga negara. Kabar buruk bagi demokrasi Indonesia.
Dua pekan terakhir, jagat media sosial riuh setelah kreator konten asal Kabupaten Lampung Timur, Lampung, Bima Yudho Saputro, mengunggah video berdurasi sekitar tiga menit di akun Tiktok @awbimaxreborn. Dalam video itu, ia mengkritik lambannya pembangunan dan sejumlah persoalan yang menyebabkan Lampung tak kunjung mengalami kemajuan. Hingga Selasa (18/4/2023), video itu sudah ditonton belasan juta kali. Beberapa kata kunci terkait dirinya, seperti gubernur, Lampung, dan Kemenkumham, juga masih menjadi pembicaraan terpopuler di Twitter.
Persoalan menyangkut Bima dan Lampung mengemuka tak hanya karena ramai diperbincangkan warganet. Sejumlah politisi dan pejabat negara juga turut serta berkomentar atas peristiwa tersebut. Sebab, viralnya video Bima berujung pada pelaporan atas dirinya ke Kepolisian Daerah Lampung dengan tuduhan pelanggaran Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pelaporan dimaksud terkait dengan penggunaan kata yang dinilai mengandung ujaran kebencian dan penghinaan pada unsur suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Tak hanya itu, ada pula dugaan intimidasi yang dilakukan oleh pihak terkait terhadap keluarga Bima.
Belakangan, Polda Lampung menghentikan proses penyelidikan dan mengeluarkan surat perintah penghentian penyelidikan (SP3) kasus Bima.
Kepala Divisi Kebebasan Berpendapat Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet) Nenden Sekar Arum dihubungi dari Jakarta, Selasa (18/4/2023), mengatakan, apa yang terjadi pada Bima menunjukkan penyempitan ruang penyampaian aspirasi masyarakat karena pejabat publik yang antikritik. Hal itu disayangkan, apalagi ekspresi kekecewaan terhadap pembangunan Lampung dilakukan Bima melalui medsos. Selama ini, medsos merupakan alternatif bagi publik yang tak memiliki akses untuk menyampaikan aspirasinya secara ke lembaga-lembaga formal.
”Kehadiran internet di awal-awal itu mendorong demokratisasi karena menjadi tempat untuk menyampaikan ekspresi, pendapat, kritik, tanpa ada batasan dan represi atau ancaman intimidasi,” kata Nenden.
Namun kini, praktik represif yang membatasi kebebasan berpendapat publik di ranah digital jelas bisa memperburuk demokrasi Indonesia. Apalagi, kasus Bima bukan satu-satunya persoalan. Jagat maya juga sempat ramai dengan kabar pemecatan seorang guru honorer di Cirebon, Jawa Barat, Muhammad Sabil Fadhilah, usai mengkritik Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil di akun Instagram resminya. Setelah viral dan mendapatkan banyak respons dari warganet, Ridwan Kamil mengklarifikasi bahwa dirinya tidak antikritik dan telah meminta sekolah terkait untuk tidak memecat Sabil. Belakangan, Sabil bisa kembali mengajar di sekolahnya.
Mengacu Laporan Pemantauan Hak-hak Digital Triwulan I 2023 Safenet, kriminalisasi terhadap ekspresi di ranah digital memang masih terjadi. Sepanjang Januari-Maret 2023, tercatat ada 30 kasus kriminalisasi dengan jumlah terlapor atau korban sebanyak 49 orang. Sebagian besar pengguna internet yang dilaporkan dengan pasal-pasal karet yang ada di UU ITE berasal dari kalangan konsumen, aktivis, mahasiswa, dan narasumber berita. Sementara pelapor didominasi oleh pihak yang mewakili institusi atau organisasi, pejabat publik, dan perusahaan.
Pengajar Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Fina Itriyati, menambahkan, sikap represif yang terjadi pada Bima patut disayangkan. Tindakan reaksioner terhadap kritik yang disampaikan secara informal itu menujukkan ketidakpercayaan diri pihak yang dikritik. Seseorang yang dapat bertanggung jawab atas tugasnya sewajarnya bakal menampung aspirasi, bahkan menindaklanjutinya dengan langkah perbaikan.
”Dengan tindakan represif yang dilakukan itu ada pihak yang ingin menunjukkan kuasa dan kontrol. Ada penyalahgunaan kekuasaan dengan memanfaatkan berbagai sumber daya untuk mengintimidasi seseorang,” ujar Fina.
Ia juga menyayangkan adanya upaya penjinakan melalui hubungan kekerabatan dengan adanya dugaan intimidasi terhadap keluarga Bima. Itu merupakan cara yang kerap digunakan pada masa Orde Baru untuk membungkam aktivis yang kritis terhadap pemerintah. ”Penjinakan melalui hubungan kekerabatan itu sangat old fashioned. Mungkin di zaman dulu efektif, tetapi sekarang sudah tidak kompatibel di era medsos karena warganet bisa bersuara lebih keras,” kata Fina.
Ia menambahkan, sekalipun dibatasi pihak-pihak yang antikritik, medsos tetap bisa menjadi ruang alternatif kritik publik. Represivitas salah satu pihak tidak bisa membendung suara warganet. Respons masif yang disampaikan warganet pun bisa mendiskreditkan citra seseorang atau lembaga yang represif.
Dalam kasus Bima, menurut Fina, saat ini citra negatif justru berbalik ke arah Pemerintah Provinsi Lampung. Pada kasus Sabil, respons warganet secara tidak langsung telah mendorong pembatalan pemecatannya.
Kendati dalam kasus-kasus individu respons warganet efektif untuk menyuarakan kritik, hal itu tidak bisa menjamin reformasi yang lebih besar. Guna mendorong demokratisasi negara yang lebih baik, tetap dibutuhkan cara-cara formal untuk menghasilkan pemimpin yang lebih baik. ”Reformasi dan demokratisasi yang lebih luas bisa dilakukan melalui pemilu dan menghasilkan pemimpin yang bisa mendorong itu semua,” kata Fina.
Adapun Gubernur Lampung Arinal Djunaidi membantah telah mengintimidasi keluarga Bima Yudho Saputro terkait dengan kritik jalan rusak (Kompas.id, 17/4/2023).
Dialog
Direktur Jenderal HAM Kementerian Hukum dan HAM Dhahana Putra melalui keterangan tertulisnya turut menyayangkan sikap Gubernur Lampung Arina Djunaidi yang memilih jalur hukum dalam merespons sikap Bima di medsos. Meski terkesan eksplosif, konten yang disebarkan Bima terkait kondisi infrastruktur di Lampung masih dapat dikategorikan sebagai bentuk kritik.
”Kritik adalah bagian dari kebebasan berpendapat yang tidak hanya merupakan bagian penting di dalam sebuah pemerintah yang demokratis, tetapi juga elemen kunci di dalam HAM yang dijamin oleh konstitusi kita,” ujarnya.
Kebebasan berpendapat, kata Dhahana, dijamin dalam Pasal 28E Ayat (3) UUD 1945. Tak hanya itu, pemerintah juga telah meratifikasi konvenan hak sipil dan politik (ICCPR) melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2025 yang salah satunya mendorong negara untuk menjamin kebebasan berpendapat. ”Mengingat pentingnya kebebasan berpendapat dan berekspersi di dalam peraturan perundang-undangan kita, kami harap Pak Gubernur Lampung dapat mempertimbangkan kembali langkah hukum yang telah diambil dalam menyikapi Mas Bima,” katanya.
Dhahana menambahkan, persoalan ini telah menyita perhatian publik. Baginya, mengedepankan dialog publik dalam menjelaskan tantangan dan kendala dalam implementasi program pemerintah merupakan langkah yang lebih positif dan konstruktif. Lebih dari itu, cara tersebut juga sejalan dengan semangat HAM. ”Kebebasan berekspresi adalah syarat yang diperlukan untuk mewujudkan prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas yang mana ini sangat penting dalam pemajuan dan perlindungan HAM,” tuturnya.