Pencurian Ikan Masih Marak di Laut Natuna Utara
Selain pencurian ikan oleh kapal ikan asing, IOJI menemukan tumpahan minyak yang mencemari perairan Laut Natuna Utara sampai Laut Jawa dan Selat Makassar.
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia Ocean Justice Initiative atau IOJI mendeteksi kegiatan penangkapan ikan secara ilegal oleh kapal ikan asing dan pencemaran laut di wilayah perairan dan yurisdiksi Indonesia sepanjang Januari-Maret 2023. Meski beberapa masalah tersebut telah ditangani instansi terkait, terungkap adanya tantangan di lapangan, antara lain keterbatasan anggaran maupun sarana dan prasarana.
Dalam diskusi daring bertajuk ”Ancaman Keamanan Laut di Wilayah Perairan & Yurisdiksi Indonesia, Hasil Deteksi Januari sampai dengan Maret 2023” yang diselenggarakan IOJI, Senin (17/4/2023), IOJI melaporkan adanya kegiatan penangkapan ikan secara ilegal terjadi di Laut Natuna Utara.
Melalui pengumpulan data oleh teknologi perangkat lunak yang dikembangkan sebuah organisasi independen asal Amerika Serikat, SkyTruth, tercatat 6 kapal ikan asal Vietnam yang diduga kuat menangkap ikan secara ilegal di wilayah yang disengketakan antara Indonesia dan Vietnam di Laut Natuna Utara.
”Problemnya adalah meski Presiden Jokowi dan Presiden Vietnam sudah menyepakati (wilayah) yang seharusnya sudah jelas pagarnya, kehadiran kapal-kapal ikan dari Vietnam harusnya bisa berkurang. Tapi, nyatanya, di Januari dan Februari 2023, kapal ikan Vietnam masih marak sekali,” kata Co-founder IOJI Andreas Aditya Salim dalam paparannya.
Andreas merujuk pada kesepakatan antara Indonesia dan Vietnam dalam pertemuan bilateral Presiden Jokowi dengan Presiden Republik Sosialis Vietnam Nguyễn Xuân Phúc, di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Desember 2022. Dalam pertemuan itu, kedua negara menyelesaikan perundingan mengenai garis batas Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) kedua negara berdasarkan UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) 1982.
Baca Juga: Presiden Jokowi: Indonesia-Vietnam Selesaikan Perundingan ZEE
Terkait masuknya kapal ikan Vietnam tersebut, kata Andreas, Kementerian Kelautan dan perikanan (KKP) telah berhasil menangkap mereka. Namun, dengan adanya kejadian tersebut, diharapkan terjalin koordinasi yang lebih intensif di antara berbagai instansi terkait.
Sebab, kapal-kapal Vietnam selalu menggunakan alat tangkap pukat harimau yang merusak lingkungan. Selain itu, alat tangkap tersebut telah dilarang penggunaannya di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) berdasarkan Peraturan menteri KKP Nomor 18 Tahun 2021.
”Sebenarnya di mana titik koordinat batas ZEE antara Indonesia dan Vietnam?” ujar Andreas.
Laporan IOJI selanjutnya terkait isu pencemaran laut.
Berdasarkan data dari SkyTruth, tampak adanya tumpahan minyak di perairan Laut Natuna Utara sampai Laut Jawa serta sedikit di Selat Makassar. Zat polutan itu bisa tumpah ke laut ketika terjadi kegiatan pemindahan barang atau muatan dari kapal ke kapal (ship to ship transhipment) entah disengaja atau tidak.
Zat polutan tersebut juga bisa tumpah ke laut dari kapal yang melintas, entah disengaja atau tidak.
Dari data yang diperoleh, terdeteksi terjadi pencemaran laut dari kapal yang melintas, yakni Kapal Alessa, sebuah kapal tanker berbendera Indonesia milik PT Mitra Sinar Maritim. Pada 7 Maret 2023, kapal yang melintasi sebelah timur Pulau Simeulue tersebut menumpahkan minyak. Hal itu terlihat dari citra satelit berupa garis panjang berwarna hitam yang mana bersesuaian dengan waktu dan lintasan kapal tersebut.
Tumpahan minyak juga terdeteksi pada 16 Maret 2023 di sebelah timur perairan Johor, Malaysia, atau sekitar 50-60 kilometer sebelah utara Pulau Bintan, Kepulauan Riau. Karena arus laut mengarah ke selatan, terdapat potensi tumpahan minyak tersebut akan terbawa sampai ke pantai utara Pulau Bintan.
Baca Juga: Kapal Ikan Asing Kian Tak Terbendung di Natuna
Kejadian lainnya adalah terjadinya tumpahan aspal dari kapal tanker MT Aashi yang mengalami kebocoran lambung kapal sehingga karam di pantai barat Pulau Nias.
Kapal berbendera Gabon tersebut dimiliki Aashi Shipping INC yang beralamat di Liberia. Kapal tersebut berangkat dari Pelabuhan Khor Fakkan, Uni Emirat Arab, menuju Padang, Sumatera Barat.
Andreas menyebutkan, alamat perusahaan pemilik kapal tersebut diduga merupakan palsu yang selama ini juga digunakan oleh beberapa perusahaan cangkang dari berbagai negara.
Negosiasi
Terkait dengan penangkapan ikan secara ilegal oleh nelayan asing, Direktur Pengawasan Pengelolaan Sumber Daya Kelautan Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Halid K Jusuf mengatakan, dari operasi yang dilakukan KKP sejak Januari-Maret 2023, terdapat 878 unit kapal yang diperiksa. Jumlah itu terdiri dari 873 kapal Indonesia dan 5 kapal asing.
Adapun kapal perikanan yang berhasil ditangkap petugas dari KKP karena melanggar aturan penangkapan ikan secara ilegal terdapat 25 kapal Indonesia, 2 kapal asal Malaysia dan 1 kapal asal Vietnam.
”Kami saat ini memiliki 30 kapal pengawas dan akan bertambah 14 kapal pengawas lagi di 2023,” kata Halid.
Terkait dengan penanganan kasus tumpahan aspal dari kapal tanker MT Aashi, KKP telah melakukan pengumpulan keterangan di lapangan dan klarifikasi dari pihak yang terkait. KKP juga telah mendapatkan surat letter of undertaking (LoU) dari pemilik kapal yang kemudian ditindaklanjuti dengan verifikasi di lapangan dengan melibatkan tim ahli. Kemudian, KKP telah melakukan negosiasi tahap pertama dengan pihak pemilik kapal tersebut pada 6 April 2023.
Menurut Halid, pihak pemilik kapal sudah berkomitmen untuk membayar ganti rugi terhadap ekosistem sumber daya kelautan yang rusak, akan melakukan restorasi, serta membayar ganti rugi kepada masyarakat yang terdampak secara langsung maupun tidak langsung. Jika komitmen tersebut tidak dilaksanakan, KKP akan membawa kasus tersebut ke ranah pidana.
Kepala Subdirektorat Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Eko Novi Setiawan, mengatakan, pihaknya juga telah melakukan verifikasi di lapangan yang membuktikan adanya pencemaran akibat tumpahan aspal dari kapal MT Aashi. Selain itu, pihaknya juga sudah menerima aduan dari 5 kelompok masyarakat yang dirugikan atas kejadian tersebut.
Baca Juga: Tumpahan Aspal Mentah Cemari Perairan Nias Utara
”Setelah Lebaran, kami akan melakukan negosiasi yang pertama. Sejauh ini perusahaan masih kooperatif. Jadi, jalur yang ditempuh sekarang ada penyelesaian di luar pengadilan,” kata Eko.
Keterbatasan
Dalam forum tersebut, Panglima Komando Armada I Laksamana Muda Erwin S Aldedharma mengatakan, sejauh ini, pihaknya sudah mengatur pola operasi sedemikian rupa sesuai dengan apa yang dimiliki, termasuk terkait dengan temuan IOJI tersebut. Khusus di Laut Natuna Utara, di sana dilakukan operasi gabungan terpadu.
Meski demikian, untuk melaksanakan kegiatan atau operasi semacam itu, ia mengaku belum mendapatkan dukungan yang ideal. Salah satunya adalah bahan bakar yang terbatas, sementara area yang harus diawasi sangat luas. Demikian pula sarana prasarana yang dimiliki masih terbatas, semisal di beberapa wilayah tertentu, kapal TNI AL belum bisa menjangkau hingga jauh ke lautan.
”Pada prinsipnya, kami siap membantu melaksanakan kegiatan-kegiatan yang diharapkan sebagaimana tadi disampaikan bahwa penanganannya harus cepat dan terkoordinasi. Namun, kami melihat situasi dan kondisi yang ada. Situasi sekarang memang tidak ideal, masih banyak prioritas lain yang harus dipenuhi,” ujar Erwin.
Sementara Deputi Bidang Operasi dan Latihan Badan Keamanan Laut (Bakamla) Laksamana Muda Bambang Irawan mengatakan, dari indeks keamanan laut yang disusun Bakamla pada 2022, Indonesia menempati peringkat ke-53 atau kondisi keamanan laut Indonesia cukup terkendali.
Meski demikian, diperlukan terobosan agar keamanan laut meningkat dan hal itu menyangkut kuantitas waktu pengawasan, jumlah dan jangkauan pengawasan, serta kuantitas stasiun pengawasan.
”Saya kira memang Natuna ini akan menjadi laut yang banyak menggoda karena wilayah Natuna ini menjadi komoditas luar biasa sehingga banyak kegiatan asing maupun dalam negeri yang terpusat di Laut Natuna Utara,” kata Bambang.
Meski demikian, ia mengakui adanya kendala anggaran yang tidak bisa ditoleransi. Jika pada 2022 untuk patroli nasional atau hari patroli bersama berjumlah 60 hari, maka pada 2023 akan ditingkatkan secara bertahap menjadi 75 hari. Untuk 2023, sasaran kegiatan patroli bersama adalah meliputi Selat Malaka, Selat Singapura, Laut Natuna Utara, Perairan Kalimantan Utara, Selat Makassar, serta Laut Arafura.