Jangan Korbankan Lagi Rakyat dan Prajurit di Papua
Belum ada kebijakan makro yang menjadi acuan bagi semua pemangku kebijakan terkait Papua. Ketidakjelasan di tataran kebijakan negara menjadikan ketidakjelasan di lapangan sehingga rakyat dan prajurit yang jadi korban.
Oleh
EDNA CAROLINE PATTISINA
·5 menit baca
Peristiwa tewasnya anggota TNI, Prajurit Satu Miftahul Arifin, di Kabupaten Nduga, Papua Pegunungan, 15 April 2023, dalam penyerangan Tim Gabungan Satgas Yonif R 321/Galuh Taruna dan Komando Pasukan Khusus sangat memilukan. Menurut informasi yang diperoleh Kompas, letusan senjata pertama berasal dari pihak kelompok kriminal bersenjata sehingga bisa disimpulkan mereka yang menyerbu TNI.
Tidak saja karena penyerbuan sayap bersenjata Organisasi Papua Merdeka, Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka (TPN-OPM) itu terjadi sehari sebelum HUT Kopassus yang dibanggakan rakyat Indonesia, tetapi juga karena mencerminkan situasi secara umum di Papua. Berdasarkan data Komnas HAM, selama 2022, konflik bersenjata di Papua menelan 63 korban jiwa. Korban tewas terdiri dari 46 warga, 13 anggota TNI/Polri, dan 4 anggota KKB.
Situasi ini tidak terjadi baru-baru saja. Konflik bersenjata di Papua yang eskalasinya naik-turun telah terjadi sejak puluhan tahun, minimal sejak tahun 1969. Selama 54 tahun, terlalu banyak darah rakyat dan aparat yang tumpah. Setiap kali timbul pertanyaan, apa yang salah?
Menyelesaikan masalah sekompleks Papua tidak saja terkait ekonomi politik, tetapi juga keadilan, identitas dan dunia internasional tentunya tidak mudah. Separatisme yang sayap bersenjatanya melancarkan perang gerilya bukan operasi yang mudah dikalahkan. Contoh paling mudah, Belanda kalah melawan Indonesia. Untuk bisa menyelesaikan masalah Papua, tidak hanya butuh hati, bukan pencitraan atau upaya sporadis, melainkan kerja keras membuat strategi dari tingkat nasional hingga turunannya taktis dan teknis di lapangan.
Abainya elite-elite dalam membuat penyelesaian yang komprehensif membuat lagi-lagi rakyat dan prajurit yang jadi korban. Operasi lawan gerilya, bukan operasi yang bisa dilakukan TNI semata. Operasi tersebut membutuhkan orkestrasi yang canggih dari kekuasaan selevel Presiden.
”Kita belum ada kebijakan yang makro,” kata anggota Komisi I DPR, Tubagus Hasanuddin.
Ia mengatakan, pemerintah belum membuat keputusan yang sesuai dengan undang-undang. TNI, misalnya, sesuai UU No 34/2004 tentang TNI bertugas untuk mengatasi separatisme. Namun, pemerintah seharusnya membuat kebijakan tentang separatisme ini yang disetujui DPR. Terkait dengan UU No 5/2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, TNI juga dapat dilibatkan untuk penanggulangan terorisme. Namun, setelah lebih dari tiga tahun dibahas, hingga kini Perpres tentang Pelibatan TNI dalam penanggulangan terorisme belum terbit juga.
Tubagus mengatakan, kebijakan makro itu yang kemudian menjadi acuan bagi semua pemangku kebijakan. Ketidakjelasan di tataran kebijakan negara menjadikan ketidakjelasan di lapangan. Dari sisi anggaran, tidak ada anggaran khusus untuk operasi TNI di Papua.
Padahal, operasi TNI yang banyak dalam bentuk operasi intelijen dan teritorial untuk memenangkan hati masyarakat, membutuhkan anggaran lebih. Hingga saat ini, tidak ada anggaran khusus untuk operasi di Papua. Kerap kali, prajurit mengeluarkan uang sendiri, anggaran latihan dipotong untuk operasi, atau yang parah kalau ada yang korupsi.
Tiadanya kebijakan makro itu juga membuat sisi operasi tempur juga mengambang. Ada beberapa satuan tugas yang karena disebut sebagai operasi penegakan hukum, dipimpin oleh Polri. Padahal, Polri tidak dilatih untuk operasi lawan gerilya. Di sisi lain, operasi penegakan hukum itu membuat anggota TNI gamang karena takut disebut melanggar HAM.
”Situasi di Papua itu situasi perang, dibunuh atau membunuh. Nah, kita perintahnya operasi penegakan hukum ya berarti ada penyelidikan, penyidikan sampai proses hukum,” kata Tubagus.
Latihan
Adanya gap atau celah antara kebijakan, narasi dan realitas di lapangan itu secara taktis menjadi sebab banyak insiden yang menewaskan masyarakat atau aparat. Ketua Persatuan Purnawirawan TNI AD Letnan Jenderal (Purn) Doni Monardo mengatakan, ketika prajurit gamang, operasi jadi sulit berhasil bahkan bisa mengorbankan nyawa prajurit tersebut.
Doni mengatakan, persiapan sangat penting bagi pasukan yang akan ditugaskan di Papua. Latihan pratugas itu, menurut dia, minimal tiga bulan. Idealnya enam bulan. Sebab, para prajurit ini harus menghadapi gerilyawan yang sudah belasan tahun menguasai medan. Sebagai catatan, seorang anggota satuan tugas yang saat ini sedang bertugas di Papua menyebutkan, mereka hanya berlatih sebulan sebelum berangkat ke Papua.
Padahal, menurut Doni, berbagai macam latihan pra-penugasan itu mencakup berbagai hal, tidak saja taktik dan teknis seperti menembak cepat di mana dalam dua detik peluru harus keluar, tetapi juga adaptasi dengan alam. ”Medan operasi di Papua itu di atas 2.000 meter. Kalau tidak terbiasa dalam situasi oksigen yang tipis, kemampuan otak jadi lebih lambat,” katanya.
Selain itu, Doni juga mengingatkan relasi gerilyawan dan masyarakat. ”Gerilyawan itu adanya ’di bawah lidah rakyat’,” kata Doni yang juga terlibat dalam operasi melawan gerilyawan di Aceh.
Oleh karena itu, operasi teritorial dan intelijen sangat diperlukan. Kemampuan mengikut jejak tidak saja perlu bantuan orang lokal atau bahkan orang dari suku lain, seperti Dayak, yang bisa melacak jejak. Demikian juga komunikasi dengan orang-orang lokal karena realitasnya gerilyawan sebenarnya kerap turun gunung untuk berbagai keperluan dengan masyarakat lokal.
”Semua pihak harus sama-sama, kementerian, aparat, jangan ada ego sektoral lagi yang bikin tumpang tindih kewenangan,” kata Doni.
Pernyataan Doni yang melihat taktik dan teknis operasi dari sisi militer terkait kembali terkait dengan strategi makro. Saat ini, struktur operasi keamanan di Papua sangat ruwet tetapi tersegmentasi. Tidak saja ada beberapa satgas daerah rawan yang dikomandani Polri, dua polda, dua kodam, satu kogabwilhan, beberapa satuan teritorial TNI dan Polri. Kerap kali mereka tidak saja tidak berkoordinasi, tetapi juga tidak berbagai informasi intelijen.
Penculikan
Sejak awal, penculikan pilot Susi Air, Philips Mehrtens, telah menjadi salah satu contoh berantakannya dan tidak terorkestrasinya penanganan Papua. Pemerintah selalu hadir dengan wacana ”penangangan bersifat humanis” sehingga tidak saja membingungkan prajurit di lapangan, tetapi juga para perwira tinggi di Mabes TNI.
Di sisi lain, Mabes TNI kerap memberi kesan ingin mengecilkan masalah. Mulai dari Panglima TNI Laksamana Yudo Margono yang sejak awal penyanderaan Philip mengatakan tidak ada penyanderaan, hingga Kepala Pusat Penerangan TNI Laksamana Muda Julius Widjojono yang 22 jam setelah penyerbuan di Nduga mengatakan, belum ada informasi selain gugurnya seorang prajurit TNI karena sulitnya komunikasi. Di sisi lain, juru bicara TPN-OPM, Sebby Sambom, menyebut ada sembilan prajurit TNI tewas yang disertai dengan sembilan senjata yang bisa direbut hanya beberapa jam setelah penyerbuan.
Emir Chairullah, pengajar hubungan international di President University yang mendalami masalah separatis Papua, mengatakan, ada kencenderungan aparat untuk tidak mengakui fakta. Yang terjadi adalah lingkaran konflik dan kekerasan yang terus dibungkus oleh narasi bahwa semua baik-baik saja dan terkendali. Padahal, menurut dia, hal yang pertama untuk menyelesaikan konflik adalah mau mengakui ada masalah di Papua.
”Kita jangan selalu beralasan ada pembangunan di Papua. Pembangunan untuk siapa? Di daerah tengah Papua itu pembangunan bisa gagal dan pendekatan yang dibilang humanis lebih banyak kepentingan PR-ing (public relations) daripada menyelesaikan masalah,” kata Emir.
Emir juga menyebut hampir setiap minggu ada kekerasan di Papua. Ia mengutip data Komnas HAM yang menyebutkan selama tahun 2022 ada 46 kasus kekerasan di Papua. Dia berpesan jangan sampai aparat dan pemerintah hanya sibuk melakukan pengalihan.
Padahal, menurut pengamatannya, pihak OPM semakin meningkat kemampuan operasinya. Di sisi lain, upaya dialog dan negosiasi seperti dalam penculikan Philip juga harusnya lebih diupayakan. Kalau tidak, lingkaran kekerasan akan terus terjadi. ”Jangan korbankan lagi rakyat dan prajurit kita di Papua,” katanya.