Komisi Yudisial dinilai hanya berani memeriksa hal-hal yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap poin lain dalam kode etik, tetapi tidak soal poin profesionalisme. Padahal, di sanalah permasalahan korupsi yudisial.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Yudisial akan mengusulkan penjatuhan sanksi terhadap 14 hakim karena terbukti melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim. Mayoritas hakim tersebut atau sebanyak sembilan orang terbukti tidak professional menurut hasil investigasi dan pemeriksaan KY sepanjang Januari hingga Maret 2023.
Selain tidak profesional, dua hakim terbukti menerima gratifikasi. Tiga hakim lainnya direkomendasikan menerima sanksi karena selingkuh, berkomunikasi dengan pihak beperkara, dan tidak memberi akses kepada pelapor untuk bertemu dengan anak kandung.
Selain 14 hakim tersebut, KY sebenarnya juga merekomendasikan 10 hakim lainnya untuk dikenai sanksi. Namun, sebelum rekomendasi dikirimkan ke Mahkamah Agung, lembaga peradilan tertinggi tersebut sudah menjatuhkan sanksi terlebih dahulu kepada para hakim tersebut.
Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi KY Joko Sasmito dalam konferensi pers, Rabu (12/4/2023), mengatakan, dari 14 orang yang diusulkan dijatuhi sanksi. Pihaknya merekomendasikan empat hakim dihukum berat. Rinciannya, dua hakim untuk diberhentikan dengan tidak hormat dan dua hakim lainnya dijatuhi sanksi nonpalu antara 6 bulan hingga 2 tahun.
Sanksi sedang berupa penundaan kenaikan pangkat selama 1 tahun diusulkan untuk dijatuhkan kepada tiga hakim. Sementara sanksi ringan berupa teguran tertulis diusulkan dijatuhkan kepada tiga hakim dan empat hakim lainnya diganjar pernyataan tidak puas secara tertulis.
Penjatuhan sanksi tersebut didasarkan pada hasil pemeriksaan yang dilakukan pada triwulan pertama tahun 2023. Dalam kurun waktu tersebut, KY telah memanggil 230 orang untuk dimintai keterangan baik dari pihak pelapor, saksi-saksi, maupun hakim terlapor. Menurut Joko, tidak semua pihak yang dipanggil hadir memberikan keterangan. Dari 230 orang, sebanyak 177 orang yang memenuhi panggilan.
Sepanjang tiga bulan ini, KY menerima laporan pengaduan secara langsung sebanyak 566 laporan, sedangkan yang berupa tembusan 360 laporan. Total pengaduan ada 926 laporan. Perkara yang paling banyak diadukan adalah perdata (292 laporan), pidana (160 laporan), korupsi (26 laporan), agama (22 laporan), tata usaha negara (16 laporan), dan sebagainya.
Adapun pengadilan yang paling banyak diadukan ke KY berada di wilayah DKI Jakarta (97 laporan), Jawa Timur (52 laporan), Jawa Barat (51 laporan), Sumatera Utara (43 laporan), dan lainnya.
Peneliti Centra Initiative, Erwin Natosmal Oemar, mengungkapkan, sulit berharap kepada KY setelah MA membatalkan poin 8 dan 10 Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim terkait tindakan berdisiplin tinggi dan tidak profesional hakim. ”MA bersikeras bahwa putusan termasuk independensi hakim. Sementara KY bermain aman saja,” tuturnya.
Oleh karena itu, apabila KY merekomendasikan sanksi terkait hakim yang tidak profesional, hal tersebut diyakini Erwin tak akan terkait dengan poin 10 KEPPH terkait profesionalisme hakim. ”KY cuma berani memeriksa hal-hal yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap poin lain dalam kode etik, tetapi tidak soal poin profesionalisme. Padahal, di sanalah permasalahan judicial corruption,” ujar Erwin.
Menurut dia, publik tak dapat berharap banyak dari KY. ”Itu realitasnya. KY pun main aman dalam kasus-kasus (yang mendapat perhatian) publik di mana ada ekspektasi besar soal dugaan unprofessional conduct,” ungkapnya.
Ia pun mendorong dilakukannya revisi UU KY dan RUU Jabatan Hakim untuk dapat keluar dari situasi yang seperti sekarang ini di mana pengawasan KY seakan tak punya taji.