Hanya delapan dari total 1.364 pengaduan pelanggaran kode etik hakim sepanjang semester I-2022 yang terbukti. Apa penyebabnya?
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·4 menit baca
Ada hal yang menarik dalam laporan kinerja Komisi Yudisial semester pertama tahun 2022.
Seperti dikemukakan oleh Ketua Bidang Pengawasan dan Investigasi Komisi Yudisial Joko Sasmito pada konferensi pers, Senin (25/7/2021), hanya delapan dari total 1.364 pengaduan yang diterima lembaga pengawas eksternal hakim sepanjang Januari hingga Juni 2022. Artinya, tidak sampai 1 persen, atau tepatnya hanya 0,58 persen, pengaduan yang menurut KY benar-benar tergolong pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim (KEPPH).
Begini Komisi Yudisial menerangkan besarnya gap antara pengaduan yang diterima dan yang terbukti. Dari total 1.364 pengaduan itu, yang diterima KY secara langsung sebanyak 721 pengaduan. Sisanya 643 pengaduan merupakan tembusan.
Setelah diperiksa baik kelengkapan syarat administrasi maupun substansi pengaduan, hanya 78 pengaduan yang dinilai memenuhi syarat untuk ditindaklanjuti dengan pemeriksaan. Pemeriksaan ini dilakukan oleh tim penanganan laporan pendahuluan (TPP) dan tim penanganan laporan lanjutan (TPL).
Dari keterangan yang disampaikan, TPP melakukan verifikasi kelengkapan persyaratan pengaduan yang masuk untuk dapat diregister. Inti dari kerja TPP adalah melihat berwenang atau tidaknya menangani laporan pengaduan masyarakat. Apabila laporan bukan termasuk dalam wewenang dan tugas KY, maka TPP dapat mengusulkan laporan kepada lembaga yang berwenang.
”Ada laporan yang masuk, tetapi bukan kewenangan KY. Misalkan yang dilaporkan kejaksaan atau kepolisian dan lain sebagainya. Kalau dugaan pelanggaran etiknya cukup kuat, biasanya KY melaporkan atau merekomendasikan kepada pihak-pihak terkait, misalnya kejaksaan dan kepolisian. Tidak akan diproses di Komisi Yudisial,” ujarnya.
Hal inilah yang membuat sedikitnya pengaduan yang dapat ditindaklanjuti oleh KY. Selain 78 pengaduan yang diterima pada tahun 2022, KY juga menangani pengaduan yang masuk tahun lalu sebanyak 58 laporan. Dengan demikian, total pengaduan yang ditangani pada semester ini 136 pengaduan.
Dari jumlah yang ditangani pun, persentase pengaduan yang akhirnya terbukti dinyatakan melanggar kode etik hanya kecil, 5,9 persen. Dari hasil sidang pleno yang dilakukan pimpinan KY, ditemukan bahwa banyak laporan masuk yang menyangkut masalah teknis yudisial. Misalnya, pelapor mengadukan majelis hakim karena di dalam putusan yang dijatuhkan para hakim tersebut tidak mempertimbangkan barang bukti dan keterangan saksi yang diajukan.
”Setelah dianalisis, apa yang disampaikan pelapor tersebut sudah dipertimbangkan sehingga, menurut KY, ini persoalan teknis yudisial, menyangkut kemandirian hakim. Kalau sudah menyangkut teknis, baik MA maupun KY tidak bisa menilai benar salahnya putusan,” kata Joko.
Keadaan menjadi berbeda ketika ada persoalan teknis yudisial tersebut memang melanggar etik. Contohnya, ada kekeliruan di dalam putusan. Joko mencontohkan hakim salah mengutip keterangan dari para pihak, misalnya keterangan pihak penggugat tertukar atau masuk dalam keterangan tergugat atau sebaliknya.
Selain persoalan teknis yudisial, banyak pengaduan dari masyarakat yang tidak dilengkapi dengan alat bukti yang cukup. Bukti yang diajukan hanya keterangan dari pelapor semata, padahal KY membutuhkan setidaknya dua alat bukti untuk dapat menyatakan sebuah pengaduan masuk kategori pelanggaran etik.
Dari delapan pengaduan yang terbukti melanggar KEPPH, KY merekomendasikan 11 hakim untuk dikenai sanksi. Sanksi tersebut terentang mulai dari sanksi berat untuk 3 orang, sanksi sedang (1 orang), dan sanksi ringan (7 orang).
Dominasi pelanggaran yang dilakukan hakim adalah tidak profesional (6 orang), tidak menjaga martabat hakim (4 orang), dan tidak berperilaku adil (1 orang).
Ditinjau dari segi kewilayahan, DKI Jakarta menjadi wilayah di mana aparat pengadilannya paling banyak dilaporkan ke KY, disusul Jawa Timur, Jawa Barat, Sumatera Utara, Jawa Tengah, dan seterusnya.
Pengawasan internal MA
Badan Pengawasan Mahkamah Agung beberapa waktu lalu juga mengeluarkan laporan tahunan 2021. Sepanjang tahun lalu, Bawas MA telah menjatuhkan hukuman disiplin kepada 284 aparat peradilan yang terdiri dari 132 hakim, 6 hakim ad hoc, 19 panitera, 10 sekretaris, 2 panitera muda, 35 panitera pengganti , 10 juru sita, 11 juru sita pengganti, 20 pejabat struktural, 1 pejabat fungsional, dan 18 anggota staf. Khusus untuk hakim, 25 orang dikenai hukuman disiplin berat, 23 hukuman disiplin sedang, dan 84 lainnya hukuman disiplin ringan.
Selain itu, Bawas MA mengeluarkan surat keterangan apabila ternyata hasil pemeriksaan yang dilakukan tidak ditemukan bukti pelanggaran seperti yang diadukan. Dengan demikian, terlapor dipulihkan nama baik, kedudukan, harkat, dan martabatnya. Sepanjang tahun lalu, pemulihan nama baik sudah diberikan kepada 202 hakim, 25 panitera, 4 sekretaris, 17 panitera muda, 26 panitera pengganti, 8 juru sita, 2 juru sita pengganti, 7 pejabat struktural, 1 anggota staf, dan 5 pegawai honorer.
Tahun lalu, MA dan KY telah menggelar sidang majelis kehormatan terhadap tiga hakim. Mereka adalah FNN, hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Tanjung Pinang yang dijatuhi sanksi berat berupa non-palu selama dua tahun, JW (hakim Pengadilan Negeri Sampang) yang dijatuhi sanksi non-palu dua tahun, dan MJP (hakim PN Pacitan) yang dikenai hukuman non-palu selama dua tahun.
Sementara jumlah pengaduan yang masuk ke Bawas MA sebanyak 3.069 pengaduan dengan rincian, antara lain, 1.860 pengaduan langsung ke Bawas, 211 pengaduan dari instansi (stakeholder MA), dan 998 pengaduan melalui aplikasi Siwas. Dari total pengaduan yang masuk, 2.802 pengaduan sudah selesai diproses.