Kisah Rekonsiliasi Kultural Para Perempuan Penyintas Peristiwa 1965
-
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Rekonsiliasi kultural menjadi pilihan realistis bagi para korban pelanggaran hak asasi manusia berat (HAM) Peristiwa 1965. Sebab, rekonsiliasi struktural oleh negara masih sulit terealisasi karena tingginya resistensi. Upaya organik dari akar rumput itu terbukti justru bisa mendobrak kebuntuan.
Fenomena itulah yang ditangkap oleh Amurwani Dwi Lestariningsih dalam buku "Suara Mereka yang Kembali dan Dikembalikan" di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia, Rabu (5/4/2023). Amurwani awalnya menggarap disertasi tentang studi memori kolektif mantan tahanan politik perempuan G30S-1965 dalam kehidupan masyarakat 1968-2019. Proses mengerjakan disertasi itu tidak mudah terutama untuk mencari para korban Peristiwa 1965 yang umumnya sudah berusia lanjut.
Namun, seolah mendapatkan mukjizat, beberapa kali dia dimudahkan dalam mencari para korban tersebut. Mereka umumnya tidak menggunakan nama asli karena stigmatisasi yang melekat sebagai tahanan politik. Masyarakat sekitar hanya mengenali mereka dengan nama julukan.
Dia dipermudah dengan organisasi korban dan keluarga korban selamat dari Peristiwa 1965 seperti kelompok paduan suara Dialita. Selain itu, juga ada komunitas Kiprah Perempuan di Yogyakarta. Kiprah perempuan dibantu oleh lembaga swadaya masyarat dan mahasiswa dengan memberikan layanan dasar seperti kesehatan kepada korban perempuan tapol 1965.
Amurwani menyebut di Indonesia rekonsiliasi struktural adalah sebuah upaya panjang yang banyak mendapat penolakan dari berbagai pihak. Masih ada kelompok yang tidak mau disudutkan dan menjadi satu-satunya pihak yang disalahkan terhadap Peristiwa 1965. Karena kesulitan itu, muncul rekonsiliasi di akar rumput melalui gerakan kultural. Hal itu ditempuh untuk mengubah memori kolektif masyarakat tentang peristiwa kelam di masa lalu.
"Masih ada ingatan buruk dan stigmatisasi negara dalam hal image (citra) perempuan sebagai tahanan politik 1965. Mereka berupaya mengubah itu melalui gerakan kultural. Ini yang kemudian menggugah saya untuk menelitinya"
"Masih ada ingatan buruk dan stigmatisasi negara dalam hal image (citra) perempuan sebagai tahanan politik 1965. Mereka berupaya mengubah itu melalui gerakan kultural. Ini yang kemudian menggugah saya untuk menelitinya," katanya.
Prasyarat pengungkapan kebenaran
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Hamdi muluk yang ikut membedah buku tersebut mengatakan, sebenarnya rekonsiliasi dalam peristiwa pelanggaran HAM berat membutuhkan prasyarat pengungkapan kebenaran. Namun, hal itu akan sulit dilakukan jika masing-masing pihak mengklaim ingatannya yang paling benar. Ini membuat proses rekonsiliasi struktural cenderung lama dan sulit untuk dilakukan. Akhirnya, memori kolektif justru semakin bersifat kabur karena dikontestasikan dan bercampur dengan konstruksi sosial.
"Ada pihak yang kuat bisa memaksakan bagaimana kejadian itu. Masa lalu diingat disesuaikan dengan kebutuhan sekarang. Sehingga yang benar bisa dibenar-benarkan, dan sifatnya menjadi bias," katanya.
"Disertasi ini menarik karena mulai membahas mengenai memori kolektif yang sifatnya lebih cair dan negosiatif. Ini bagus bagi perkembangan sejarah. Sebab kata penyair Milan Kundera, sejarah adalah pertempuran ingatan melawan lupa"
Hamdi menyebut, apa yang dilakukan oleh tokoh-tokoh yang diteliti Amurwani juga dapat dilihat proses penyembuhan secara alamiah untuk menyegarkan memori kolektif yang traumatik. Penyembuhan itu bersifat katarsis atau menumpahkan pengalaman tragis yang dialami di masa lalu, sehingga mereka bisa beradaptasi di masa depan.
"Disertasi ini menarik karena mulai membahas mengenai memori kolektif yang sifatnya lebih cair dan negosiatif. Ini bagus bagi perkembangan sejarah. Sebab kata penyair Milan Kundera, sejarah adalah pertempuran ingatan melawan lupa," imbuhnya.
Pengajar kajian gender Universitas Indonesia menyebut penelitian dan buku yang diluncurkan Amurwani menunjukkan bahwa sejarah terus berproses dan penelitian tidak pernah berhenti. Dalam konteks merawat ingatan, ini penting untuk mengambil makna sejarahnya, agar tidak hilang. Sekarang kondisi korban 1965 sudah banyak yang meninggal dunia. Kisah-kisah itu perlu dicatatkan untuk diwariskan kepada generasi muda.
"Ingatan kita sangat pendek. Isu-isu mudah tergantikan oleh isu yang baru. Penelitian ini penting dihadirkan untuk memberikan suara kepada mereka yang tidak boleh bicara, dan mereka yang tidak boleh didengar," katanya.
Bagi generasi muda warisan pengetahuan melalui penelitian dan buku itu akan menjadi pelajaran berharga yang dibagikan. Peristiwa kelam yang sangat mengoyak masa lalu perlu dibagikan untuk menjadi pelajaran berharga yang tidak boleh terulang di masa lalu. (DEA)