Hampir Separuh Indikator Kinerja Pemerintah Pusat Tak Capai Target
Menteri PAN dan RB Abdullah Azwar Anas menilai tidak tercapainya sejumlah indikator kinerja pemerintah pusat disebabkan kementerian dan lembaga belum seluruhnya berorientasi pada hasil.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 37 dari 77 indikator kinerja pemerintah pusat pada tahun anggaran 2022 tidak mencapai target. Hal ini diakibatkan sasaran strategis dari kementerian dan lembaga pemerintahan belum berorientasi pada hasil. Karena itu, perubahan paradigma pemerintah diperlukan untuk meningkatkan capaian.
Hal itu tertuang dalam Laporan Kinerja Pemerintah Pusat (LKjPP) yang akan disampaikan kepada Presiden Joko Widodo. Laporan itu disusun oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan dan RB) yang telah ditinjau oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
”Berdasarkan data realisasi kinerja, ada 37 indikator kinerja tidak tercapai, 5 indikator sesuai target, dan 18 indikator melampaui target, sedangkan 17 indikator lainnya belum teridentifikasi dalam laporan,” ujar Deputi Bidang Reformasi Birokrasi, Akuntabilitas Aparatur, dan Pengawasan Kemenpan dan RB Erwan Agus Purwanto dalam acara penyerahan LKjPP ke Kementerian Keuangan, di Jakarta, Selasa (4/4/2023).
Acara itu turut dihadiri Menpan dan RB Abdullah Azwar Anas, Kepala BPKP Muhammad Yusuf Ateh, Direktur Jenderal Perbendaharaan Kemenkeu Astera Primanto Bhakti, dan pejabat kementerian atau lembaga lainnya. Kemenkeu akan menindaklanjuti LKjPP untuk diserahkan kepada Presiden Joko Widodo. LKjPP ini akan dipadukan dengan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) sebagai bahan evaluasi pemerintah.
Erwan memaparkan, 77 indikator kinerja itu berdampingan dengan 29 sasaran strategis, dan 7 prioritas nasional. Ketiganya merupakan bagian dari Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2022. Meskipun demikian, masih ada delapan sasaran strategis yang belum ditemukan data kinerjanya.
Hal ini di antaranya perlindungan sosial seluruh penduduk, aset produktif rumah tangga miskin dan rentan, penyediaan infrastruktur layanan dasar, berkurangnya kerugian akibat bencana dan bahaya iklim. Selain itu, capaian penurunan emisi, penegakan hukum nasional, dan stabilitas keamanan nasional. Sebanyak dua dari 83 kementerian atau lembaga juga disebut terlambat dalam mengumpulkan laporan kinerja. Hal ini, di antaranya, Ombudsman RI dan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Masalah ini sudah disampaikan berkali-kali oleh Kemenpan dan RB. Karena itu, para perwakilan pemerintahan yang hadir mohon disampaikan pada kementerian atau lembaganya masing-masing.
Menurut Azwar Anas, ketidaktercapaian indikator kinerja pemerintah disebabkan oleh kementerian dan lembaga yang belum seluruhnya berorientasi pada hasil. Hal ini ditambah sistem pengukuran kinerja dan pengumpulan data juga belum mampu menyediakan informasi yang valid, relevan, dan tepat waktu.
”Masalah ini sudah disampaikan berkali-kali oleh Kemenpan dan RB. Karena itu, para perwakilan pemerintahan yang hadir mohon disampaikan pada kementerian atau lembaganya masing-masing,” kata Azwar Anas.
Dia menilai, kebutuhan implementasi nilai-nilai kinerja yang sesuai sasaran kian mendesak. Untuk itu, pihaknya akan menindaklanjuti laporan itu ke kementerian dan lembaga terkait serta mendorong perubahan paradigma di kalangan pemerintahan.
Paradigma yang dimaksud adalah pola pikir yang berorientasi input atau fokus ke penggunaan dana, menjadi berorientasi hasil, yakni fokus pada jumlah kinerja untuk mencapai target tertentu.
Saat memaparkan hasil tinjauannya, Yusuf menuturkan, masih banyak hal yang perlu diperbaiki dalam pembuatan laporan. LKjPP dianggap belum lengkap dalam menyajikan informasi capaian kinerja terkait sasaran ekonomi makro dan pembangunan nasional sesuai RKP 2022. ”Masih banyak hal yang perlu diperbaiki. Karena itu, laporan menjadi sulit untuk dikaitkan dengan anggaran belanja yang telah dikeluarkan,” ungkap Kepala BPKP itu.
Yusuf menambahkan, pihaknya juga menemukan sejumlah masalah yang mendesak dibenahi. Hal ini, di antaranya, kualitas belanja pemerintah belum efektif dan optimal, dan kualitas tata kelola internal belum ideal.
Selain itu, pengawasan yang dilakukan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) belum berdampak signifikan terhadap capaian pembangunan nasional. Masalah ini, kata Yusuf, ditemukan berdasarkan penelusuran lapangan oleh BPKP.