DPR Tolak Semua Calon Hakim ”Ad Hoc” HAM Tingkat Kasasi
DPR menolak tiga calon hakim ”ad hoc” HAM tingkat kasasi dengan alasan belum berpengalaman untuk menangani kasus pelanggaran HAM berat. Terkait hal itu, MA akan meminta KY segera memulai seleksi ulang.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI, NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat tidak meloloskan tiga calon hakim ad hoc hak asasi manusia untuk tingkat kasasi yang sangat dibutuhkan dalam penanganan perkara kasasi bebas kasus pelanggaran HAM Paniai. Menyusul penolakan DPR tersebut, Mahkamah Agung meminta Komisi Yudisial untuk segera menggelar seleksi ulang guna mencari hakim ad hoc HAM tingkat kasasi yang kredibel dan berintegritas.
Dalam rapat paripurna ke-20 masa persidangan IV tahun sidang 2022-2023 di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (4/4/2023), DPR secara resmi menolak tiga calon hakim ad hoc HAM tingkat kasasi yang diusulkan oleh KY. Ketiga calon tersebut adalah Harnoto, M Fatan Riyadhi, dan Heppy Wajongkere.
DPR hanya menyetujui tiga calon hakim agung yang diusulkan KY bersamaan dengan calon hakim ad hoc HAM. Ketiga calon hakim agung yang disetujui tersebut adalah Lucas Prakoso (perdata), Imron Rosyadi (agama), dan Lulik Tri Cahyaningrum (tata usaha negara/TUN).
”Pimpinan Dewan mengucapkan selamat kepada para calon hakim agung pada Mahkamah Agung tahun 2022/2023 semoga dapat menjalankan tugas dengan penuh integritas dan amanah,” ujar Ketua DPR Puan Maharani seusai DPR menyetujui hasil uji kelayakan dan kepatutan para calon hakim agung.
Surati KY
Juru Bicara MA Suharto, saat dikonfirmasi terkait langkah MA menyusul penolakan tiga calon hakim ad HAM, mengungkapkan, pihaknya akan segera mengajukan surat ke KY untuk melakukan rekrutmen calon hakim agung ataupun hakim ad hoc HAM. Ada kebutuhan untuk segera merekrut hakim ad hoc HAM.
”Berkas kasasi perkara kasasi perkara HAM telah masuk ke MA, tetapi hakim ad hoc HAM-nya belum ada,” ujar Suharto.
Berkas perkara yang dimaksud adalah permohonan kasasi atas putusan bebas yang dijatuhkan oleh Pengadilan HAM di Pengadilan Negeri Makassar terhadap terdakwa tunggal Mayor Infanteri (Purn) Isak Sattu dalam kasus pelanggaran HAM berat Paniai, Papua. Majelis hakim yang diketuai Sutisna Sawati menyatakan, Isak Sattu tidak terbukti melakukan pelanggaran HAM seperti yang didakwakan jaksa sehingga membebaskan terdakwa dari semua dakwaan penuntut umum. Atas putusan ini, jaksa mengajukan kasasi.
Pasal 33 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM mengatur, MA memiliki waktu untuk memeriksa dan memutus perkara kasasi pelanggaran HAM paling lama 90 hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke MA. Pemeriksaan perkara dilakukan majelis hakim yang berjumlah lima orang, terdiri atas dua hakim agung dan tiga hakim ad hoc.
Menurut Suharto, berkas perkara kasasi kasus pelanggaran HAM berat Paniai saat ini sudah masuk MA. ”(Berkas kasasi) dalam tahap telaah dan pemilah, setelah itu diregister,” kata Suharto.
Atas tidak disetujuinya semua calon hakim ad hoc HAM untuk tingkat kasasi oleh DPR, Juru Bicara KY Miko Ginting mengatakan, pihaknya menghormati keputusan tersebut mengingat secara konstitusional persetujuan terhadap calon hakim agung dan hakim ad hoc di MA berada di DPR. KY akan segera menggelar seleksi ulang jika sudah menerima surat permintaan dari MA.
Hanya saja, menurut Miko, ada persoalan terkait seleksi yang perlu dipecahkan bersama-sama, yakni bagaimana agar calon-calon potensial dapat tergerak untuk mendaftar.
”Persoalan paling utama adalah kepastian perkara yang akan ditangani. Hingga saat ini, perkara yang pasti ditangani adalah perkara Paniai, yang itu pun hanya satu berkas perkara. Sementara di sisi lain, masa tugas hakim ad hoc di MA bersifat periodik, untuk masa waktu tertentu. Selama masa jabatan itu, hakim ad hoc di MA tidak diperbolehkan untuk menjalankan pekerjaan lain,” ujarnya.
Terkait permintaan MA untuk segera menggelar seleksi, Miko mengatakan, pihaknya akan memprioritaskan perekrutan calon hakim ad hoc HAM mengingat jangka waktu dalam UU terbatas. Namun, sekali lagi ia mengingatkan bahwa hal tersebut sangat bergantung kepada calon-calon potensial yang bersedia mendaftar. Selain itu, KY juga berkomitmen untuk menjaga kualitas proses seleksi.
Adapun alasan Komisi III DPR menolak tiga calon hakim ad hoc HAM yang diusulkan KY adalah karena belum berpengalaman untuk menangani kasus pelanggaran HAM berat.