Cegah Pelanggaran Etik Berulang, Pimpinan KPU Mesti Membina Jajarannya
Pimpinan KPU harus memberikan pembinaan agar pelanggaran etik oleh penyelenggara pemilu tidak terulang lagi.
JAKARTA, KOMPAS — Pimpinan Komisi Pemilihan Umum diminta untuk turut bertanggung jawab dengan memberikan pembinaan terhadap penyelenggara pemilu yang terbukti melanggar etik. Tanpa pembinaan, pelanggaran etik berpotensi kembali terulang, terlebih mayoritas pelanggar etik mendapatkan sanksi yang cenderung ringan.
Sebelumnya, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menetapkan enam dari sepuluh jajaran penyelenggara pemilu yang diadukan terbukti melanggar kode etik. Tiga di antaranya anggota KPU Kepulauan Sangihe, yakni Elsye Philby Sinadia, Tommy Mamuaya, serta Iklam Patonaung, dijatuhi sanksi peringatan keras. Dua lainnya, yakni Sekretaris KPU Sulawesi Utara Lucky Firnandy Majanto serta Kepala Bagian Teknis Penyelenggaraan, Partisipasi Masyarakat, Hukum, dan Sumber Daya Manusia KPU Sulut Carles Y Worotitijan, dijatuhi sanksi peringatan. Sanksi terberat berupa pemberhentian tetap dari jabatan dijatuhkan kepada Kepala Subbagian Teknis dan Hubungan Partisipasi Masyarakat KPU Sangihe Jelly Kantu.
Sementara empat teradu lainnya lainnya dinilai tak terbukti melanggar etik dan diputuskan agar nama baik mereka direhabilitasi. Mereka adalah anggota KPU, Idham Holik, dan tiga anggota KPU Sulut, yakni Meidy Yafeth Tinangon, Salman Saelangi, dan Lanny Ointu.
Meski sanksinya hanya peringatan, pimpinan KPU di tingkatan masing-masing harus memberikan pembinaan agar pelanggar etik tidak lagi mengulangi kesalahan yang sama sehingga sanksi yang diberikan memberikan efek jera. Terlebih, sebagian besar penyelenggara mendapatkan sanksi yang cenderung ringan.
Enam orang jajaran penyelenggara pemilu dinyatakan terbukti melanggar kode etik lantaran mereka menindaklanjuti perubahan data hasil verifikasi faktual Partai Gelora dan Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) tanpa mengacu prosedur dan mekanisme berlaku. Saat itu ada 33 anggota Gelora dan 76 anggota PKN yang belum masuk Sipol (Kompas, 4/4/2023).
Putusan DKPP itu menuai kritik dari kalangan masyarakat sipil karena dinilai terlalu rendah. Terkait hal itu, Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) 2008-2011 sekaligus anggota DKPP 2012-2017, Nur Hidayat Sardini, mengatakan, munculnya pihak-pihak yang tidak puas terhadap putusan DKPP karena besarnya harapan publik agar penyelenggara yang melanggar etik diberikan sanksi berat.
Namun, sanksi selalu dijatuhkan berdasarkan fakta di persidangan. Jika dalam persidangan pengadu memberikan bukti namun teradu mampu memberikan alibi yang meyakinkan, majelis pemeriksa akan memberikan sanksi sesuai pelanggaran yang terbukti.
Baca juga: DKPP Dinilai Tak Berupaya Mencari Dalang Manipulasi Hasil Verifikasi Parpol
Ia pun meyakini bahwa prinsip-prinsip peradilan untuk memeriksa perkara ini sudah melalui proses panjang, ada verifikasi administrasi, verifikasi materiil, dua kali sidang, dan semua pihak juga sudah didengarkan. Kroscek antarpihak sudah dilakukan dalam perkara ini. Dengan demikian, secara normatif putusan DKPP sudah tepat, kecuali jika ditemukan hal lain dan diperkarakan lagi.
Sekalipun hanya satu teradu yang mendapatkan sanksi terberat, Nur Hidayat mengingatkan bahwa lima teradu lain juga terbukti melanggar etik. Meski sanksinya hanya peringatan, pimpinan KPU di tingkatan masing-masing harus memberikan pembinaan agar para pelanggar etik tidak lagi mengulangi kesalahan yang sama sehingga sanksi yang diberikan memberikan efek jera. Terlebih, sebagian besar penyelenggara mendapatkan sanksi yang cenderung ringan.
”Ada adagium tidak ada staf yang salah, yang salah adalah pimpinannya, paling tidak dua posisi di atasnya,” tuturnya saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (4/4/2023) malam.
Tinjau prosedur pembuktian
Pengajar politik Universitas Sam Ratulangi, Ferry Daud Liando, mengatakan, putusan DKPP yang menimbulkan reaksi publik menunjukkan bahwa prosedur pembuktian peradilan etik harus ditinjau. Mekanisme pembuktian dengan mengadopsi sistem peradilan pidana yang selama ini digunakan ternyata tidak efektif sehingga putusannya berpotensi tidak melahirkan efek jera.
Menurut dia, sejak DKPP terbentuk, ada prosedur yang tidak yang tidak clear yang digunakan DKPP dari proses pembuktian hingga putusan. Untuk menguji apakah penyelenggara yang diadukan melanggar etik atau tidak, prosedur yang ditempuh adalah prosedur pengujian pidana. Prosedur ini sangat ditentukan oleh ketersediaan alat bukti yang cukup untuk meyakinkan hakim.
Namun, dalam peradilan etik, yang dapat membantu keyakinan hakim seharusnya adalah apakah wajar atau tidak wajar serta pantas atau tidak pantas. Dengan demikian, alat bukti yang tidak cukup bukan suatu alasan bagi hakim dalam membuat putusan.
”Putusan DKPP terkait dugaan pelanggaran sejumlah komisioner pada tahapan verifikasi parpol bisa jadi dipengaruhi oleh kurangnya keterangan mengenai alat bukti yang dimiliki hakim sampai keluarnya putusan,” ujarnya.
Oleh karena itu, kata Ferry, proses pidana etik lebih baik hanya sebatas menilai apakah tindakan penyelenggara pemilu wajar atau tidak, serta pantas atau tidak. Penilaian tidak perlu harus dilengkapi alat bukti yang akurat dan lengkap. Majelis pemeriksa cukup menghadirkan ahli yang menguasai Undang-Undang Pemilu untuk menjelaskan pada majelis apakah tindakan yang dilakukan teradu melanggar norma hukum pemilu atau tidak.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, mengatakan, putusan DKPP telah membuktikan terjadinya manipulasi data hasil verifikasi faktual partai politik calon peserta Pemilu 2024. Kecurangan itu dilakukan oleh jajaran KPU di Sangihe dan sekretariat KPU Sulawesi Utara.
Namun, sanksi yang diberikan kepada penyelenggara pemilu yang terbukti melanggar etik tergolong ringan. Padahal, tindakan mereka yang mengubah proses pemilu tanpa proses administrasi yang sah secara hukum termasuk pelanggaran serius. Sanki terberat justru diberikan kepada pelaku yang mengubah data, sedangkan komisioner yang menjadi bagian dari tindakan manipulatif itu justru diberikan sanksi lebih ringan.
”Putusan ini menunjukkan bahwa DKPP sedang menurunkan standar penegakan etik dalam proses penyelenggaran pemilu di Indonesia,” ujarnya.
Fadli yang juga kuasa hukum dari pengadu menyayangkan cara DKPP dalam membangun pertimbangan putusan. Putusan yang dibuat seolah-olah ingin membangun argumen bahwa pekerjaan yang dilakukan oleh sekretariat KPU Kepulauan Sangihe di luar tanggung jawab komisioner. Padahal, tindakan mengubah hasil verifikasi faktual parpol tersebut diketahui oleh komisioner KPU Kepulauan Sangihe.
Bahkan, sanksi yang terberat justru diberikan kepada sekretariat, sedangkan komisioner KPU Kepulauan Sangihe yang tanggung jawabnya lebih besar justru diberikan sanksi lebih ringan. Bukti di persidangan juga menunjukkan bahwa komisioner turut menjadi bagian dari manipulasi data hasil verifikasi faktual.
DKPP, katanya, juga terkesan memutus mata rantai dan melokalisir kesalahan hanya pada pelaku yang mengubah data. Bukti dan petunjuk yang menunjukkan tindakan dilakukan atas perintah komisioner cenderung diabaikan. Padahal, mayoritas anggota majelis DKPP merupakan penyelenggara dan mantan penyelenggara pemilu yang paham terhadap tugas dan tanggung jawab komisioner KPU.
”Siapa yang bisa percaya ada aparatur sipil negara KPU melakukan perubahan data tanpa berkoordinasi dengan komisioner. Kan tugas sekretariat membantu kerja-kerja dari komisioner. Itu sangat tidak masuk akal,” ujar Fadli.
Ia menilai, DKPP telah melewatkan momentum untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap lembaga penyelenggara pemilu. Lembaga penegak etik tersebut justru tidak menggunakan otoritas dan kewenangannya secara maksimal dalam memperbaiki kualitas pemilu.
Fadli pun khawatir tindakan DKPP ini semakin membuat proses penyelenggara pemilu tidak dipercaya publik. Sebab, dua penyelenggara pemilu lain juga tengah menjadi sorotan publik. KPU dinilai penuh kontroversi akibat pimpinannya dua kali terbukti melanggar etik dan jajaran di daerah melakukan manipulasi hasil verifikasi faktual. Sementara Bawaslu cenderung tidak memiliki sikap yang tegas dalam menindak dugaan pelanggaran pemilu.
”Ketika KPU dan Bawaslu sedang mendapat sorotan, DKPP malah ikut-ikutan dengan menurunkan standar penegakan etik dan tidak menunjukkan sensitivitas terhadap pelanggaran etik penyelenggara,” kata Fadli.
Direktur Lingkar Madani (LIMA) Ray Rangkuti juga menilai putusan DKPP atas perkara 10-PKE-DKPP/1/2023 tidak adil. Sebab, perkara yang terbukti di persidangan merupakan pelanggaran berat, tetapi sanksi yang dijatuhkan kepada anggota KPU Kepulauan Sangihe hanya peringatan keras. Adapun ASN yang diberhentikan merupakan pihak yang memiliki posisi paling lemah di antara sembilan teradu lainnya.
”Rasanya putusan ini seperti daripada-daripada, daripada tidak ada yang sama sekali disanksi keras, maka dibuatlah putusan berat pemberhentian kepada pejabat dengan posisi terlemah,” katanya.
Baca juga: Data Hasil Verifikasi Faktual Parpol Diduga Dimanipulasi
Ray menilai, putusan DKPP dalam dugaan manipulasi verifikasi parpol menunjukkan sisi lemah sayap ketiga penyelenggara pemilu. KPU sebagai sayap pertama telah memperlihatkan kinerja yang tidak sesuai harapan, sedangkan Bawaslu sebagai sayap kedua lemah dalam pengawasan. Adapun sayap ketiga, yakni DKPP, memperlihatkan putusan yang tidak tegas dan di luar nalar. ”Dengan situasi seperti ini, sulit menyebut penyelenggara pemilu kita sedang baik-baik saja. Sulit juga membayangkan pemilu akan berjalan baik-baik saja di masa depan,” katanya.
Koordinator Komunitas Pemilu Bersih, Jeirry Sumampow, menilai DKPP seperti tidak kompeten dan bisa dipercaya sebagai lembaga penegak kehormatan penyelenggara pemilu. DKPP justru menjadi pembela pelaku kejahatan etik dalam tubuh penyelenggara pemilu. ”Dengan putusan seperti ini, DKPP sudah menggadaikan wibawa dan kehormatannya sampai titik terendah,” ujarnya.
Putusan terhadap penyelenggara pemilu yang terbukti melanggar etik dalam verifikasi faktual akan memberikan dampak serius terhadap proses dan tahapan pemilu selanjutnya. Publik akan kehilangan kepercayaan terhadap penyelenggara pemilu dan tidak percaya bahwa Pemilu 2024 akan berlangsung secara jujur dan adil. ”Ke depan, publik tidak bisa berharap lagi bahwa putusan DKPP bisa memperbaiki kinerja penyelenggaraan pemilu,” tutur Jeirry.
Menanggapi berbagai penilai dari sejumlah kelompok masyarakat sipil tersebut, Ketua DKPP Heddy Lugito mempersilakan para pihak mengomentari putusannya. ”Itu hak mereka. Kami tidak merasa tidak elok untuk menanggapi,” tuturnya.