Apa konten dari RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartai yang membuat regulasi ini dibutuhkan untuk menekan korupsi dan pencucian uang? Apa solusi yang bisa diambil pemerintah jika DPR tak berkenan membahasnya?
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
Saat rapat dengar pendapat umum antara Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Komisi III DPR, Rabu (29/3/2023), isu tentang Rancangan Undang-Undang Pembatasan Uang Kartal kembali mengemuka. Memori publik tentang regulasi yang dirancang sejak tahun 2013 itu kembali muncul.
Dalam rapat pekan lalu itu, Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto menyampaikan, ia pernah ditanya Presiden Joko Widodo tentang sikapnya terhadap dua RUU, yaitu RUU Pembatasan Uang Kartal dan RUU Perampasan Aset. Politikus PDI-P itu menyebut, jika RUU Pembatasan Uang Kartal disahkan, anggota DPR bisa menangis semua.
”Masa dia (anggota DPR) bagi duit harus pakai e-wallet, Pak. E-wallet-nya cuma Rp 20 juta lagi. Enggak isa, Pak, nanti mereka enggak jadi lagi. Saya terang-terangan ini. Mungkin Perampasan Aset bisa, tetapi harus bicara dengan para ketum partai dulu. Kalau di sini enggak bisa,” kata Bambang.
Berdasarkan hasil penelusuran di situs Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM, naskah akademik RUU Pembatasan Transaksi Tunai sudah ada sejak tahun 2013. Saat itu, ketua kelompok kerja penyusunan naskah akademik tersebut adalah mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Yunus Husein. Draf RUU Pembatasan Transaksi Tunai juga sudah ada.
Namun, nasib RUU itu tidak jelas. Sejak 2017, draf RUU itu hanya masuk dalam daftar panjang Program Legislasi Nasional (Prolegnas) lima tahunan. RUU Pembatasan Transaksi Penggunaan Uang Kartal kembali masuk Prolegnas 2020-2024, tetapi sejauh ini masuk Prolegnas prioritas tahunan. Alhasil, RUU inisiatif pemerintah itu hingga kini belum bisa dibahas.
Sebagai sosok yang berada di balik lahirnya naskah akademik RUU Pembatasan Uang Kartal, Yunus Husein, saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (2/4/2023), mengingatkan, pengaturan pembatasan transaksi tunai harus segera diterapkan karena banyak manfaatnya, di antaranya untuk meningkatkan efisiensi transaksi keuangan yang makin cepat, canggih, dan aman. Selain itu, meningkatkan peran perbankan dalam perekonomian serta memperbaiki sistem untuk mencegah dan memberantas korupsi. Pembatasan transaksi tunai sudah dilakukan di berbagai negara dan dinilai cukup efektif sebagai upaya pencegahan korupsi sejak di hulu.
”Sebenarnya, kalau RUU Pembatasan Uang Tunai disahkan terlebih dahulu, itu dapat dijadikan sebagai upaya pencegahan korupsi di tingkat hulu. Sementara RUU Perampasan Aset sudah di hilir, ya, karena aset dirampas setelah ada tindak pidana,” katanya.
Batas Rp 100 juta
Dalam naskah akademik, subyek yang diatur dalam transaksi penarikan, penerimaan, penyetoran, dan pembayaran dengan menggunakan uang tunai ialah perseorangan, perusahaan berbadan hukum ataupun tak berbadan hukum serta lembaga lainnya. Jenis transaksi yang dibatasi lebih dari Rp 100 juta yang dilakukan dalam satu kali transaksi.
Dalam Pasal 3 Ayat (2) RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal versi tahun 2013 disebutkan, setiap orang dengan penyedia jasa keuangan, barang, dan jasa yang melakukan transaksi di atas Rp 100 juta yang dilakukan dalam satu kali transaksi dalam waktu satu hari kerja wajib melalui mekanisme pembayaran nontunai.
Adapun jenis transaksi yang dikecualikan adalah transaksi yang dilakukan penyedia jasa keuangan dengan pemerintah dan bank sentral, transaksi antarpenyedia jasa keuangan dalam rangka kegiatan usaha masing-masing, transaksi untuk pembayaran gaji atau pensiun, transaksi untuk pembayaran pajak dan kewajiban lain kepada negara, transaksi untuk melaksanakan putusan pengadilan, transaksi kegiatan pengolahan uang, transaksi biaya pengobatan, transaksi pada saat terjadi bencana alam, transaksi dalam rangka operasi penegak hukum, dan transaksi lain yang ditetapkan oleh kepala PPATK.
”Ini sangat bermanfaat bagi perekonomian karena menghemat biaya pencetakan uang, transaksi juga lebih cepat, aman, dan efisien. Ini juga bisa mencegah suap secara tunai karena uang tunai merupakan aset tanpa nama yang banyak dipakai menyuap,” kata Yunus.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Lalola Easter, menyebut, Indonesia seharusnya mencontoh negara-negara tetangga yang sudah terlebih dahulu menerapkan pembatasan transaksi uang tunai. Malaysia membatasi uang tunai dengan maksimal RM 50.000 (setara Rp 169 juta) dan Filipina 4 juta peso (1 PHP setara Rp 275). Pembatasan transaksi tunai adalah wujud komitmen negara-negara itu memberantas korupsi, pencucian uang, dan pendanaan terorisme.
Di Indonesia, menurut dia, praktik pembatasan transaksi uang kartal sudah berjalan melalui prinsip know your customer yang berlaku bagi penyelenggara jasa keuangan dan diatur dalam Pasal 18 Ayat (3) Huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Pasal itu menyebut penyelenggara jasa keuangan perlu mendalami transaksi dari pelanggaran dengan nilai di atas Rp 100 juta atau mata uang yang setara dengan nilai tersebut.
Selain itu, ada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2016 tentang Pembawaan Uang Tunai dan atau Instrumen Pembayaran Lain ke Dalam atau ke Luar Daerah Pabean Indonesia. Pasal 2 Ayat (1) PP No 99/2016 menyebutkan, setiap orang yang membawa uang tunai dan atau instrumen pembayaran lain paling sedikit Rp 100 juta atau yang nilainya setara dengan itu wajib memberitahukan kepada pejabat bea dan cukai.
”Meskipun demikian, RUU Pembatasan Transaksi Tunai dapat memperkuat regulasi yang sudah ada karena bisa mengatur lebih menyeluruh. Dengan demikian, modus kejahatan finansial untuk mengaburkan dan menghilangkan jejak dengan transaksi tunai dapat diminimalkan,” kata Lalola.
Dia juga menyebut, di Indonesia, praktik suap-menyuap sering terjadi dalam bentuk serah-terima uang tunai. Dari data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diolah ICW, setidaknya ada 791 perkara suap-menyuap yang ditangani sejak 2004 hingga 2021. Pola transaksi secara tunai kerap terjadi dalam tindak pidana pencucian uang. Tujuannya untuk mengaburkan dan menghapus jejak transaksi dan aliran dana ilegal.
Terobosan hukum
Di tengah sinyal sulitnya RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal untuk diterima DPR, terobosan coba diusulkan sejumlah pihak.
Direktur Eksekutif Kemitraan Laode M Syarif, misalnya, menyebutkan, apabila RUU Pembatasan Uang Kartal sulit disahkan, pemerintah bisa membuat terobosan seperti mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Di luar itu, pembatasan uang tunai juga bisa dilakukan melalui pembuatan peraturan pemerintah (PP) atau peraturan presiden (perpres). Namun, jika formatnya PP atau Perpres, subyek hukumnya terbatas hanya pejabat negara.
Menanggapi usulan itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD saat dihubungi, Minggu, menyebut, usulan terobosan itu memang pernah dibahas, tetapi belum menjadi keputusan sidang kabinet. Apalagi, PP atau perpres hanya bisa membatasi pembayaran tunai dari sisi pemerintah. Regulasi itu tidak bisa menutup pintu dari sisi swasta. Namun, pemerintah akan terus mempelajari mana opsi yang terbaik.
”Baik RUU Perampasan Aset maupun RUU Pembatasan Uang Kartal sama-sama penting. Kami akan ajukan keduanya. Namun, ini harus melalui proses legislasi, artinya harus dengan persetujuan DPR, tak cukup hanya dari pemerintah,” katanya.