Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu akan membacakan putusan dugaan pelanggaran etik terkait manipulasi hasil verifikasi faktual parpol. DKPP diminta berani memecat anggota KPU yang terbukti curang.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu atau DKPP akan memutus perkara etik dugaan manipulasi berita acara hasil verifikasi faktual partai politik calon peserta Pemilu 2024. Sejumlah elemen masyarakat sipil dan juga pelapor berharap DKPP tidak segan dan berani untuk memecat anggota KPU yang terbukti curang guna memulihkan integritas KPU sebagai penyelenggara pemilu.
Menurut rencana, DKPP akan memberikan putusan dugaan pelanggaran etik terkait dugaan manipulasi hasil verifikasi faktual, Senin (3/4/2023). Sebelumnya, kasus dugaan pelanggaran kode etik di tahapan verifikasi faktual partai politik diadukan anggota KPU Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, Jack Stephen Seba, pada 21 Desember 2022. Lewat kuasa hukumnya, ia mengadukan anggota KPU, Idham Holik, dan sembilan orang lainnya, terdiri dari anggota KPU Sangihe, anggota KPU Sulawesi Utara, serta sekretariat di KPU Sangihe dan KPU Sulawesi Utara, yang diduga melanggar kode etik.
Anggota KPU periode 2001-2007, Ramlan Surbakti, Minggu (2/4/2023), mengatakan, pengubahan status partai politik peserta pemilu dari tidak memenuhi syarat (TMS) menjadi memenuhi syarat (MS) merupakan tindakan curang. Hal ini mencoreng integritas KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu dan melukai kepercayaan masyarakat.
”Putusan DKPP besok akan mempertaruhkan kepercayaan publik. DKPP harus berani memecat anggota KPU yang terbukti berlaku curang. Kalau ada bagian dari penyelenggara (pemilu) yang cacat, lebih baik dipotong (dipecat),” ujarnya dalam diskusi publik bertajuk Jelang Putusan DKPP: Tegakkan Integritas Pemilu, Pecat yang Curang, secara daring.
Ramlan menilai, kejujuran merupakan aspek penting yang harus dipegang teguh seluruh anggota KPU, baik di KPU maupun di KPU provinsi serta kabupaten/kota. Perilaku curang oleh KPU, misalnya, dapat menghilangkan integritas lembaga penyelenggara pemilu itu. Hal ini dapat berantai dan memengaruhi seluruh proses penyelenggaraan pemilu yang berlangsung.
Oleh karena itu, proses penyelenggaraan pemilu perlu diaudit secara menyeluruh. Karena praktik manipulasi atau tindakan curang dapat terlihat dan terbongkar. Apalagi dalam perkara dugaan kecurangan itu, terdapat arahan dari atasan untuk KPU daerah mengubah penetapan hasil verifikasi partai politik. Ini dapat diperiksa melalui rekaman berita acara persidangan KPU daerah.
Penyelenggara pemilu bertugas untuk mengelola suara masyarakat. Suara ini akan dikonversi menjadi kursi-kursi legislatif maupun eksekutif sesuai porsinya masing-masing. Kalau kecurangan saja sudah berlangsung sejak tahap awal, penyimpangan lainnya juga berpotensi terjadi pada masa mendatang.
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini, menuturkan, integritas penyelenggara pemilu akan ditentukan oleh putusan DKPP sebagai lembaga penegak etik. Kalau penyelenggaranya berintegritas, pemilu dapat berlangsung secara demokratis. ”Kalau kecurangan saja sudah berlangsung sejak tahap awal, penyimpangan lainnya juga berpotensi terjadi di masa mendatang. Apalagi, para penyelenggara pemilu bertugas untuk mengelola suara masyarakat,” ujarnya.
Dia menekankan, kecurangan yang dilakukan oleh anggota KPU telah mencederai nama baik penyelenggara pemilu. Hal ini dapat memicu delegitimasi publik atas seluruh proses pemilu. Karena itu, ketegasan dan keberanian DKPP dalam putusannya dinantikan untuk memulihkan kembali integritas KPU.
Lebih jauh, seusai putusan dari DKPP dibacakan, Titi berharap elemen penyelenggara pemilu dapat bekerja kompak dan profesional. Hal ini dibutuhkan untuk menciptakan pemilu yang berlandaskan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. ”Selain itu, DKPP tidak perlu memuaskan seluruh pihak dalam putusannya mendatang. Mereka bertugas menegakkan etik para penyelenggara pemilu. Dalam hal ini, putusan itu juga diharapkan mampu memberi keyakinan pada penyelenggara pemilu bahwa mereka dilindungi selagi berada di jalur yang benar,” tambah Titi.
Menurut anggota KPU 2017-2022, Evi Novida Ginting, celah persoalan terletak pada teknologi informasi yang digunakan KPU. Fungsi dari teknologi ini awalnya untuk membantu pekerjaan KPU dalam mengawal dan mengawasi proses penyelenggaraan pemilu. Namun, tetap ada pihak yang menyalahgunakannya. Penyalahgunaan ini rawan terjadi di KPU daerah. Ia mencontohkan kejadian tukar-menukar hasil dalam verifikasi faktual partai politik. Karena itu, dibutuhkan pengawalan dan kontrol ketat dari KPU mengenai standar prosedur penyelenggara pemilu baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
”Setiap kemungkinan kecurangan itu ada. Oleh karena itu, standar prosedur perlu diatur sedemikian rupa untuk ditaati dan dipatuhi seluruh pihak,” ungkap Evi.
Dalam perkara dugaan kecurangan, anggota KPU Daerah Kepulauan Sangihe Jeck Stephen Seba juga memaparkan dugaan manipulasi data yang sedang terjadi. Dalam hal ini merupakan pengubahan berita acara yang sebelumnya telah ditetapkan oleh KPU daerah. Dokumen yang sudah ditetapkan pada 7 November 2022, kemudian diubah pada 22 November 2022. Namun, pengubahan itu mencantumkan 7 November 2022 sehingga bertindihan dengan berita acara yang sudah ada.
Anggota KPU RI Idham Holik saat dihubungi mengatakan, pihaknya akan mematuhi putusan dari DKPP. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Dalam peraturan itu, KPU sebagai penyelenggara pemilu memiliki kewajiban untuk melaksanakan putusan DKPP. ”Kami belum tahu keputusannya seperti apa. Namun, yang jelas kami akan patuh apa pun putusan DKPP,” tuturnya.
Sementara itu, Ketua DKPP Heddy Lugito belum bisa berkomentar lebih banyak terkait perkara yang sedang ditangani. Oleh karena itu, dia meminta publik untuk menunggu hasil sidang putusan besok.