Klarifikasi Video Pembagian Uang, Anggota DPR Sebut Itu Bentuk Zakat
”Dana reses itu, kan, boleh dibagikan ke masyarakat, secara aturan sah. Setiap anggota DPR setahun lima kali reses, setiap reses dapat Rp 400 juta,” kata anggota DPR RI, Said Abdullah.
Oleh
Ayu Nurfaizah
·3 menit baca
Di media sosial beredar video pembagian amplop berisi uang dengan logo partai dan foto anggota DPR RI, Said Abdullah.
Dalam klarifikasinya, Said menyebut uang itu merupakan bentuk zakat harta.
Bawaslu menyampaikan pemberian zakat tidak dilarang. Bawaslu juga menyebut sesuai UU Pemilu, penindakan politik uang hanya bisa dilakukan di masa kampanye.
JAKARTA, KOMPAS — Anggota DPR Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Said Abdullah, mengklarifikasi video pembagian amplop berisi uang dengan fotonya yang viral di media sosial. Said menyangkal bahwa pembagian uang itu sebagai bentuk politik uang jelang Pemilu 2024. Dia menyebut uang itu sebagai bentuk zakat dari uang reses DPR.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Said Abdullah menyampaikan hal itu saat ditemui di Gedung DPR, di Jakarta, Senin (27/3/2023). Menurut Said, uang tersebut merupakan bentuk zakat mal (harta) darinya dan tidak melanggar apa pun dalam ketentuan pemilu. ”Ini zakat saya, kalau tidak memenuhi zakat, keislaman saya gugur. Zakat (harta) ini wajib bagi orang yang mampu, tidak hanya anggota DPR. Memangnya anggota DPR tidak boleh memenuhi zakat?” kata Said.
Video viral tersebut berlokasi di Sumenep, Madura, yang merupakan daerah pemilihan Said. Dalam akun yang diunggah akun Twitter @PartaiSocmed pada Minggu (26/3), uang ratusan ribu yang dibungkus amplop merah dibagikan kepada jemaah masjid. Said menuturkan, uang tersebut didapat dari dana reses DPR sebesar Rp 400 juta.
Ia menyangkal tindakan tersebut merupakan bentuk politik uang. Selain berada di luar periode kampanye, Said juga belum terdaftar menjadi calon legislatif (caleg). Saat ini, peserta pemilu yang sah terdaftar hanya partai politik, sedangkan periode pendaftaran caleg dilakukan pada 1-14 Mei 2023.
”Dana reses itu, kan, boleh dibagikan ke masyarakat, secara aturan sah. Setiap anggota DPR setahun lima kali reses, setiap reses dapat Rp 400 juta. Dana ini mau diapakan kalau tidak diberikan ke masyarakat? Bentuknya juga berbeda-beda disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat, ada yang sembako hingga bantuan masjid,” tutur Said.
Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Rahmat Bagja mengatakan, kasus ini sedang diselidiki oleh Bawaslu Sumenep. Menurut dia, Bawaslu berkomitmen tidak boleh ada politik praktis di masjid atau tempat ibadah. Hal ini bertujuan untuk menjaga kondusivitas menjelang masa kampanye.
”Dugaan ini masih diselidiki. Kalau politik uang, dalam Pasal 280 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 itu diatur selama masa kampanye. Kalau zakat tentunya tidak kita larang, mungkin ke depannya akan diperbaiki, membagikan zakat tidak boleh pakai lambang partai,” tutur Bagja.
Jika terbukti ada kecurangan, Bawaslu akan menerapkan sanksi administratif. Hal ini karena pelanggaran terhadap politik uang hanya bisa ditindak selama masa kampanye.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Titi Anggraini, mengatakan, berdasarkan Pasal 515 dan 523 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, penindakan jual beli uang secara formal hanya diberlakukan pada masa kampanye, masa tenang, dan pemungutan suara.
Hingga saat ini belum ada pengaturan lebih lanjut dalam peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menjelaskan batasan sosialisasi politik yang dilakukan peserta pemilu. Padahal, menurut Tita, sudah sejak lama KPU diharapkan mengatur soal sosialisasi politik, utamanya mengenai akuntabilitas dan aktivitas yang diperbolehkan.
Titi menilai perbuatan bagi-bagi uang menggunakan identitas kepartaian secara spesifik di masa tahapan pemilu memiliki intensi kuat ditujukan untuk memengaruhi pemilih menggunakan uang.
”Semestinya, aktivitas sosial keagamaan jelas perbedaannya dengan aktivitas politik jika dilakukan tanpa tendensi kepentingan elektoral. KPU perlu mengatur dan memperjelasnya saat masa sosialisasi seperti ini, sebelum dimulainya masa kampanye. Hal ini dilakukan agar tidak dimanfaatkan oleh oknum politik untuk melakukan tindakan yang menyimpang secara materiil dari nilai demokrasi,” papar Titi.
Senada dengan Titi, Pengajar Ilmu Politik Universitas Indonesia, Aditya Perdana, mengakui, regulasi di UU Pemilu memang tidak menjelaskan dengan spesifik mengenai definisi sosialisasi dan masa kampanye. Di satu sisi memang parpol memiliki kesempatan untuk menyosialisasikan diri, di sisi lain belum ada caleg yang terdaftar.
Menanggapi video Said yang beredar, Aditya menilai DPR memang memiliki kewenangan menggunakan dana reses yang dimiliki. ”Petahana memiliki ruang yang lebih leluasa. Mereka diuntungkan karena memiliki sumber daya untuk dapat bergerak sebelum masa kampanye,” tuturnya.
Menurut dia, masyarakat bisa menuntut pertanggungjawaban terkait penggunaan dana reses. Dalam hal ini, DPR perlu melaporkan secara berkala penggunaan dana publik.