Pilih Ketua yang Berani Lawan Upaya Intervensi
Tantangan yang dihadapi Mahkamah Konstitusi ke depan sangat berat. Dibutuhkan sosok Ketua MK yang punya keberanian dan ketegasan memimpin untuk menolak segala potensi intervensi yang ada.
JAKARTA, KOMPAS — Tantangan yang dihadapi oleh Mahkamah Konstitusi ke depan sangat berat. Untuk itu, dibutuhkan sosok Ketua MK yang memiliki kepemimpinan yang berani dan tegas untuk menolak segala potensi intervensi yang masih mengintai lembaga tersebut.
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Negeri Jember Bayu Dwi Anggono saat dihubungi, Senin (13/3/2023), mengungkapkan, apabila dilihat dari Undang-Undang MK, ada dua peran ketua, yaitu yudisial dan nonyudisial. Dalam konteks nonyudisial, hal paling urgen dan dibutuhkan oleh MK sebagai lembaga adalah bagaimana memproteksi dirinya sendiri dari ancaman intervensi dari berbagai pihak, termasuk gagasan evaluasi rutin hakim konstitusi setiap lima tahun dalam revisi UU MK.
Menurut Bayu, ketua dan wakil ketua harus mewakili lembaga menyatakan atau mendeklarasikan prinsip-prinsip yang harus diikuti tatkala perubahan UU MK dilakukan. Selama ini, pihaknya tidak melihat adanya ketegasan dari MK mengenai hal ini. ”MK memang tidak terlibat dalam proses legislasi, tetapi tidak ada salahnya jika sejak awal berani menyatakan bahwa evaluasi tiap 5 tahun itu bertentangan dengan konstitusi,” kata Bayu.
Baca juga: Anwar Usman dan Arief Hidayat Jadi Kandidat Terkuat Ketua MK
Selain itu, ketua MK juga dapat menyampaikan tentang kebutuhan-kebutuhan MK, seperti pentingnya hukum acara dimasukkan dalam revisi UU MK. Dengan demikian, revisi UU MK tidak melulu terkait dengan masa jabatan, usia pensiun, dan semacamnya. ”Pesan-pesan seperti itu menurut saya penting, sekaligus menunjukkan ketegasan pimpinan MK dengan menyampaikan pokok-pokok pikiran, agar tidak terombang-ambing. Apalagi tiap revisi UU MK justru tidak menyentuh pokok persoalan MK sebetulnya,” ujarnya.
Pesan-pesan seperti itu menurut saya penting, sekaligus menunjukkan ketegasan pimpinan MK dengan menyampaikan pokok-pokok pikiran, agar tidak terombang-ambing. Apalagi tiap revisi UU MK justru tidak menyentuh pokok persoalan MK sebetulnya.
Dalam konteks yudisial, ketua memiliki peran sentral dalam pengambilan keputusan meskipun keputusan MK diambil secara kolektif kolegial. Peran sentral itu terjadi ketika suara hakim konstitusi terbelah dengan kekuatan yang seimbang, suara ketua MK sangat menentukan. ”Itu menunjukkan satu kedudukan ketua yang istimewa. Begitu juga dengan wakil ketua, jika ketua berhalangan hadir, wakil akan menggantikannya memimpin persidangan. Maka dialah yang menentukan arah persidangan,” ujarnya.
Dalam kaitannya dengan yudisial, Bayu berharap ketua MK dapat menghadirkan MK sebagai peradilan modern dan tepercaya. Salah satu di antaranya ialah dengan tidak membiarkan berlaurt-larutnya perkara pengujian undang-undang tertunda begitu lama. Sebab, hal itu akan membuat pihak berperkara bertanya-tanya ada persoalan apa sehingga perkaranya tidak kunjung diputus.
”Ketua perlu membuat konvensi di antara para hakim terkait berapa lama penanganan sebuah perkara pengujian undang-undang. Misalnya berapa bulan,” ujanrya.
Kepentingan bangsa
Hingga kini, ada dua hakim MK yang berpeluang kuat menjadi kandidat ketua MK. Mereka adalah Anwar Usman, ketua MK saat ini; dan Arief Hidayat, ketua MK periode 2015-2018. Kedua sosok tersebut memiliki catatan tersendiri di sebagian masyarakat sipil. Anwar sempat disorot karena menjadi adik ipar dari Presiden Joko Widodo yang dikhawatirkan memengaruhi independensinya. Sementara Arief Hidayat pernah dijatuhi sanksi etik ringan berupa teguran lisan (bukan tertulis).
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Herlambang P Wiratraman, mengungkapkan, untuk memulihkan integritas institusi MK, sudah sepatutnya para hakim konstitusi memilih figur yang tak memiliki rekam jejak bermasalah secara etik ataupun konflik kepentingan. Dalam memilih ketua MK, para hakim konstitusi diminta mengedepankan kepentingan yang jauh lebih besar, yaitu kepentingan bangsa.
Menjaga marwah peradilan hari-hari ini jauh lebih penting daripada sekadar kompromi yang justru menebalkan rasa tidak kepercayaan publik.
Di luar dua calon yang sudah mengemuka, Herlambang menilai ada calon lain yang lebih baik. Namun, apabila hakim konstitusi lain tidak berkehendak untuk maju mencalonkan diri sebagai ketua MK, Herlambang menilai bahwa patut diduga level kepedulian atau keberpihakan soal integritas hanya pada level kompromi politik. ”Menjaga marwah peradilan hari-hari ini jauh lebih penting daripada sekadar kompromi yang justru menebalkan rasa tidak kepercayaan publik,” ujarnya.
Sementara itu, peneliti Centra Initiative, Erwin Natosmal Oemar, mengungkapkan, siapa pun nantinya yang menjadi ketua MK, yang bersangkutan harus sadar bahwa lembaga yang dipimpin merupakan institusi peradilan. Ada kemandirian, imparsialitas, dan etika yang harus dijaga. ”Di tengah kesemrawutan politik dan disorientasi negara hukum, lembaga ini harusnya dipimpin oleh orang-orang yang memiliki standar etika yang tinggi,” ujarnya.
Suara Senayan
Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Demokrat, Benny K Harman, mengatakan, MK harus dijaga dan dikawal agar tetap menjadi institusi negara yang independen dan merdeka. Independensi dan kemerdekaan itu penting. Sebab, lembaga yang bertugas sebagai penjaga konstitusi, MK harus bebas dari pengaruh berbagai cabang kekuasaan lain. Baik dari eksekutif, legislatif, partai politik, maupun kekuatan modal.
Terkait dengan calon kuat Ketua MK yang mengarah pada dua nama, yakni Anwar Usman dan Arief Hidayat, Benny mengingatkan bahwa pimpinan lembaga tersebut hendaknya tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan presiden atau pimpinan partai politik tertentu. Sebab, nantinya MK berperan sebagai pemutus akhir berbagai sengketa yang melibatkan kekuasaan presiden, eksekutif, dan legislatif, termasuk Pemilu 2024. Tak hanya itu, sosok yang memiliki rekam jejak yang dapat mencederai institusi pun hendaknya tidak dipilih.
Diberitakan sebelumnya, berdasarkan penelusuran Kompas, Anwar Usman dan Arief Hidayat merupakan dua sosok hakim konstitusi yang menjadi calon kuat ketua MK. Anwar yang telah menjabat sebagai ketua MK sejak 2 April 2018 menggantikan Arief itu menjadi sorotan setelah menikahi adik Presiden Joko Widodo pada 2022. Sebagian kalangan mempertanyakan independensinya sebagai ketua MK terkait statusnya sebagai adik ipar Presiden.
Sementara Arief pernah dua kali dijatuhi sanksi etik oleh Dewan Etik MK. Sanksi yang dimaksud berbentuk teguran lisan.
Kedua nama tersebut seharusnya dengan legowo menolak atau tidak menerima permintaan untuk dicalonkan sebagai ketua MK. (Mereka) harus menunjukkan sikap kenegarawanan, sebagai contoh bagi yang lainnya.
”Kedua nama tersebut seharusnya dengan legowo menolak atau tidak menerima permintaan untuk dicalonkan sebagai ketua MK. (Mereka) harus menunjukkan sikap kenegarawanan, sebagai contoh bagi yang lainnya,” kata Benny. Menurut dia, MK pun saat ini tidak kekurangan sosok yang layak, hakim konstitusi di luar Anwar dan Arief juga mumpuni untuk memimpin lembaga tersebut.
Dihubungi secara terpisah, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani, menambahkan, siapa pun yang terpilih menjadi ketua MK tidak patut dipersoalkan jika proses pemilihannya sudah sesuai dengan ketentuan di Undang-Undang MK. Kesembilan hakim konstitusi diharapkan tidak hanya memiliki kapasitas intelektual yang baik, tetapi juga memiliki sikap kenegarawanan yang menonjol.
Baca juga: MK Didorong Segera Memilih Ketua dan Wakil Ketua yang Baru
Sikap kenegarawanan yang dimaksud adalah sikap hati dalam memeriksa dan mengadili perkara uji materi. Apalagi jika perkara yang diuji memiliki irisan kepentingan dengan kepentingan para hakim konstitusi, baik secara langsung maupun tidak. ”Tidak sepatutnya kemudian ada standar atau sikap ganda antara pertimbangan dan sudut pandang ketika mengadili perkara di MK, antara yang ada irisan kepentingan (dengan para hakim) dan yang tidak ada,” kata Arsul.
Arsul menekankan, sebagai anggota Komisi Hukum DPR, ia berharap standar ganda yang diterapkan dalam kasus uji formil Undang-Undang Cipta Kerja dan Undang-Undang MK tidak terjadi kembali. Ada perbedaan standar dan sudut pandang yang berbeda terkait konsep partisipasi publik yang bermakna saat MK memutus uji formil dua undang-undang tersebut.
Begitu juga ketika MK menolak pengawasan terhadap hakim konstitusi oleh Komisi Yudisial dengan alasan konstruksi Pasal 24 UUD 1945. Akan tetapi, dalam memutuskan penolakan tersebut, MK tidak bertanya kepada MPR sebagai pembuat konstitusi. Oleh karena itu, hal yang tampak terjadi adalah hakim konsitusi melakukan tafsir yang hanya menguntungkan dirinya sendiri.
”Jadi, siapa pun yang menjadi ketua MK, semestinya cermin kenegarawanan itu ditampakkan, antara lain untuk menghindari terlanggarnya asas nemo judexidenous in propria causa, hakim tidak sepatutnya mengadili perkara yang menyangkut dirinya dengan mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri,” ujar Arsul.