Kompolnas: Putusan Etik Eliezer Tak Bisa Dibandingkan dengan yang Lain
Kompolnas melihat bahwa Komisi Kode Etik Profesi Polri telah mempertimbangkan berbagai hal secara komprehensif.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Kepolisian Nasional atau Kompolnas mendukung dan mengapresiasi proses dan putusan sidang Komisi Kode Etik Profesi Polri terhadap para anggota kepolisian, baik dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat maupun kasus perintangan penyidikan pembunuhan Nofriansyah.
Atas adanya perbedaan putusan antara satu anggota dan yang lain, Kompolnas menekankan, putusan yang satu dengan yang lainnya tidak bisa dibandingkan.
Anggota Kompolnas, Poengky Indarti, pada Minggu (5/3/2023), menyampaikan, dalam kasus pembunuhan berencana beserta kasus perintangan penyidikan pembunuhan Nofriansyah, total terdapat 97 anggota Polri yang diperiksa. Karena banyaknya anggota kepolisian yang diduga terlibat, Kepala Polri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo membentuk tim khusus yang diberi tugas untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terkait kasus pidana serta memeriksa pelanggaran etik.
”Diperlukan pemeriksaan kode etik secepatnya untuk dapat mengungkap kasusnya dan yang diperiksa terlebih dahulu adalah mereka yang diduga sebagai pimpinan yang mengetahui dan memerintahkan kejahatan,” kata Poengky.
Dalam kasus tersebut, Komisi Kode Etik Profesi (KKEP) Polri telah menjatuhkan putusan pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) kepada Ferdy Sambo, Hendra Kurniawan, Agus Nurpatria, Chuck Putranto, Baiquni Wibowo, serta Arif Rachman Arifin. Mereka semua menjalani sidang etik sebelum menjalani persidangan untuk kasus pidana di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Melalui sidang etik pula, KKEP memutuskan untuk mempertahankan Richard Elizer Pudihang Lumiu sebagai anggota kepolisian. Dengan demikian, dari para terdakwa kasus pembunuhan berencana Nofriansyah ataupun perintangan penyidikan, tersisa dua orang yang belum menjalani sidang etik, yakni Irfan Widyanto dan Ricky Rizal.
Poengky mengatakan, sejauh ini Kompolnas mendukung dan mengapresiasi putusan yang telah dijatuhkan KKEP, baik putusan berupa pemecatan terhadap Sambo dan beberapa personel lain maupun putusan mempertahankan Richard sebagai anggota Polri.
Kompolnas melihat bahwa KKEP telah mempertimbangkan berbagai hal secara komprehensif dengan mengacu kepada Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Polri dan Peraturan Polri Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Polri.
Dengan adanya putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, maka sidang etik bagi anggota kepolisian yang belum disidang etik akan segera dilakukan. Ini terutama untuk Irfan. Adapun sidang etik terhadap Ricky kemungkinan akan dilakukan setelah putusannya berkekuatan hukum tetap.
Namun, menurut Poengky, putusan KKEP untuk mempertahankan Richard tidak serta-merta dapat dijadikan pintu masuk bagi anggota kepolisian yang lain untuk mendapatkan perlakuan yang sama. ”Mereka tidak dapat dibandingkan apple to apple dengan Richard. Apalagi, pertimbangan majelis hakim dalam kasus Richard terkait hal-hal yang meringankan yang jelas tidak sama dengan pertimbangan para terdakwa dalam kasus perintangan penyidikan,” tutur Poengky.
Dalam kasus pembunuhan berencana Nofriansyah, terdakwa Sambo, Putri Candrawathi, Ricky Rizal, dan Kuat Ma’ruf mengajukan banding terhadap putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Menurut pejabat Humas PN Jakarta Selatan, Djuyamto, berkas perkara keempat terdakwa tersebut telah diserahkan ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Adapun dalam kasus perintangan penyidikan, Irfan, Baiquni, Chuck, dan Arif tidak mengajukan banding. Dengan demikian, putusan majelis hakim akan segera berkekuatan hukum tetap karena kejaksaan juga tidak akan banding. Dalam kasus tersebut, Irfan dan Arif dihukum 10 bulan penjara, sedangkan Baiquni dan Chuck dihukum 1 tahun penjara.
Secara terpisah, Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Dedi Prasetyo mengatakan, sidang etik terhadap Irfan akan dilaksanakan setelah putusan terhadap yang berangkutan berkekuatan hukum tetap. Pada prinsipnya, sidang etik dilakukan setelah proses pidana selesai.
Terkait dengan kemungkinan Irfan untuk tetap dipertahankan sebagai anggota Polri sebagaimana Richard, Dedi tidak bisa memastikan hal itu.
”Kami belum berani bicara kemungkinan. Tapi, nanti apabila sudah ada keputusan sidang, artinya sudah memiliki kekuatan hukum tetap, baru akan kami sampaikan,” ujar Dedi.
Sementara itu, Kompas mencoba menghubungi tim kuasa hukum Irfan Widyanto, Sangun Ragahdo, perihal rencana sidang etik terhadap Irfan. Namun, pertanyaan yang dikirimkan tidak dijawab.