Pengesahan UU TPKS dan KUHP Jadi Momentum Revisi Menyeluruh UU ITE
Sejumlah elemen masyarakat mendorong agar revisi UU ITE dilakukan holistik. UU ini perlu disinkronisasi dengan KUHP yang baru dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Oleh
Ayu Nurfaizah
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual atau UU TPKS dan Undang-Undang KUHP diharapkan menjadi momentum merevisi secara menyeluruh Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE. Sinkronisasi dengan dua UU ini dinilai bisa menjadi landasan yang kuat untuk merevisi pasal-pasal karet pada UU ITE.
Saat ini pembahasan mengenai revisi UU ITE kembali bergulir di DPR setelah lama terbengkalai. Pemerintah mengusulkan setidaknya tujuh perubahan materi muatan UU ITE, di antaranya terkait kesusilaan, penghinaaan, pemerasan dan atau pengancaman, kabar bohong atau informasi menyesatkan, serta perundungan daring (Kompas.id, 13/2/2023).
Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Ika Ningtyas, Selasa (28/2/2023) malam, menuturkan, revisi pasal-pasal karet di UU ITE perlu mengikuti perkembangan dua UU yang baru disahkan.
Dalam hal ini, Pasal 27 Ayat 1 UU ITE tentang Penyebaran Konten Bermuatan Asusila perlu disesuaikan dengan pengaturan di UU TPKS, khususnya Pasal 14 mengenai Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik. Sementara itu, Pasal 27 Ayat 3 dan Pasal 28 Ayat 2 UU ITE mengenai Ujaran Kebencian perlu disesuaikan dengan Pasal 433, 434, 436, 437, dan Pasal 438 UU KUHP terbaru.
”Pasal 24 Ayat 2, Pasal 27 Ayat 3, dan Pasal 28 Ayat 2 tentang Ujaran Kebencian dan Pencemaran Nama Baik sering digunakan oleh aparat untuk mengkriminalisasi jurnalis. Pasal-pasal yang juga diatur dalam KUHP ini perlu dihapus supaya tidak terjadi duplikasi,” kata Ika dalam diskusi Serba-serbi Hak Asasi yang diselenggarakan oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat.
Ika mengatakan, selama empat tahun terakhir setidaknya ada empat jurnalis yang diputus bersalah oleh pengadilan menggunakan pasal-pasal karet di UU ITE. Karya-karya jurnalistik mereka yang mengkritik pejabat atau kebijakan publik dianggap mencemarkan nama baik dan menyebarkan kebencian. Seharusnya sengketa pemberitaan mekanismenya perlu diselesaikan melalui Dewan Pers.
”Pasal-pasal karet UU ITE yang belum dicabut ini menjadikan posisi jurnalis semakin rentan karena mudah dikriminalisasi. Seperti kasus di Kalimantan Selatan, seorang jurnalis dilaporkan dengan pasal ujaran kebencian ketika memberitakan kasus agraria. Kasus serupa juga dialami salah satu jurnalis di Sulawesi Selatan yang mengkritik kebijakan dan pejabat publik karena dugaan korupsi,” katanya.
Padahal, karya jurnalistik telah melalui serangkaian metode, seperti berpijak pada fakta dan verifikasi di lapangan. Maka dari itu, Ika menekankan, kerja-kerja jurnalistik perlu dipahami sebagai pemantauan kebijakan publik dari potensi penyalahgunaan kewenangan dan kekuasaan.
Pengajar hukum pidana Universitas Gadjah Mada, Sri Wiyanti Eddyono, mengatakan, revisi UU ITE juga perlu memperhatikan perspektif korban kekerasan seksual. Dalam hal ini Pasal 27 UU ITE perlu memperjelas definisi produksi konten seksual karena pada beberapa kasus, interpretasi hakim tidak melihat posisi korban kekerasan seksual dalam konten tersebut.
Dia juga menekankan pentingnya perlindungan korban penipuan atas penyebaran konten seksual yang tidak konsensual. ”Di satu sisi, UU ITE dirasa penting untuk transaksi informasi, tetapi juga perlu diperhatikan penggunaannya dalam kasus-kasus spesifik yang diatur dalam UU TPKS, seperti kekerasan seksual berbasis daring,” katanya.
Revisi menyeluruh
Ika menilai, revisi UU ITE ini perlu dilakukan secara menyeluruh. Tidak hanya memperbaiki pasal-pasal pidana, tetapi juga mendorong revisi UU ITE untuk kemajuan hak asasi manusia (HAM), seperti pada Pasal 40 Ayat 2b yang mengatur pemutusan akses atas dokumen informasi elektronik. Dalam hal ini pemerintah memiliki kewenangan yang cukup besar secara sepihak untuk menentukan dokumen yang dimaksud penting. Akibatnya, tidak ada mekanisme transparan dan pelibatan publik untuk memeriksa dokumen dan informasi yang dianggap melanggar UU ini.
”AJI mengajukan uji materi pasal ini pada 2021 kepada Mahkamah Konstitusi untuk melengkapi atau mereformulasi ayat ini supaya memiliki mekanisme independen dan tidak mudah disalahgunakan. Seperti kasus yang terjadi pada suarapapua.com ketika website-nya diblokir dan tidak ada penjelasan mengenai pemutusan tersebut,” kata Ika.
Ika berharap revisi UU ITE ini menjadi momen bersama yang dapat dipantau perkembangannya oleh publik mengingat kriminalisasi yang didasarkan pada UU ITE tidak hanya menyasar jurnalis, tetapi juga menyasar masyarakat sipil.