Lama terbengkalai, pembahasan revisi UU ITE di DPR kembali bergulir. Komisi I DPR menyerap usulan dari sejumlah akademisi yang meminta agar revisi UU ITE tak terbatas pada pasal yang diusulkan pemerintah.
Oleh
Raynard Kristian Bonanio Pardede
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah akademisi meminta agar revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tak hanya terbatas pada pasal-pasal yang diusulkan pemerintah. Momentum revisi perlu dimanfaatkan untuk membuat regulasi yang dapat menjawab sejumlah problem di era digital. Salah satunya kejahatan siber yang kian marak.
Sejumlah akademisi menyampaikan permintaan itu dalam rapat yang membahas revisi UU ITE dengan Komisi I DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (25/1/2023). Pembahasan revisi UU ITE kembali bergulir setelah lama terbengkalai. Permintaan pembahasan revisi sudah dilayangkan Presiden Joko Widodo ke DPR sejak akhir 2021 tetapi baru mulai diproses pada pertengahan November 2022. Sejak itu pun baru kali ini terlihat kembali adanya pembahasan.
Revisi undang-undang merupakan usulan pemerintah. Revisi difokuskan untuk mengubah sejumlah pasal yang meresahkan publik karena kerap digunakan untuk mengekang kebebasan berpendapat. Untuk itu, pemerintah hanya mengusulkan sembilan pasal direvisi plus penambahan pasal.
Namun, pengajar hukum teknologi Universitas Indonesia, Edmon Makarim, salah satu yang hadir dalam rapat dengan Komisi I DPR, mengusulkan, agar revisi UU ITE diperluas. Misalnya, revisi untuk membuat aturan tak lagi fokus pada aturan pemidanaan, tetapi tata kelola dan administrasinya. ”Kita berharap undang-undang ini direvisi menyeluruh, tidak sebatas pada usulan pasal dari pemerintah,” ujarnya.
Selain itu, ia meminta agar revisi UU ITE bisa mendefinisikan penyelenggara sistem elektronik (PSE) dengan lebih tegas agar tidak hanya mencakup operator aplikasi, tetapi pula vendor yang membuat aplikasi itu. Perluasan itu agar pembuat aplikasi bisa dimintai pertanggungjawaban ketika aplikasinya tak berjalan.
Kejahatan siber
Ketua Cyber Law Center Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Sinta Dewi juga mengusulkan perluasan revisi UU ITE. Usulan perluasan revisi terutama untuk menjawab permasalahan seperti perundungan daring (cyber bullying), penguntitan daring (cyber stalking), dan doxing atau perilaku menyebarkan informasi pribadi seseorang ke dunia digital.
”Revisi ini belum menjawab potensi permasalahan dari dunia elektronik seperti hal-hal di atas. Revisi ini harus memperhatikan perkembangan kasus kejahatan siber yang tengah baru dan berkembang,” ujarnya.
Pakar telekomunikasi dan informatika, Onno W Purbo, sepakat dengan hal itu. Ia pun melihat UU ITE yang kini berlaku belum optimal dalam mencegah kejahatan siber. Sebagai contoh, di media sosial marak terjadi penipuan dengan modus berpura-pura menjadi orang lain untuk nantinya meminta korban mentransfer sejumlah dana. Korban yang tertipu biasanya hanya menggunakan tangkapan layar sebagai bukti. Problemnya, ketika hasil tangkapan layar itu dibawa ke kepolisian atau pengadilan, laporan korban justru diragukan.
Tak hanya itu, tanda tangan dan sertifikat digital pun sangat mudah dimanipulasikan karena hanya membutuhkan kode batang agar terlihat otentik atau meyakinkan. ”Hal-hal ini yang perlu diatur secara hukum seperti apa,” jawabnya.
Wakil Ketua Komisi I DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Abdul Kharis Almasyhari menjelaskan, masukan dari para pakar membuat terang problem dalam UU ITE. Meski demikian, pihaknya belum bisa memastikan apakah revisi yang dilakukan akan tetap terbatas sesuai usulan pemerintah atau bisa diperluas ke pasal lain.
”Ini masih awal. Dalam perjalanan nantinya bisa jadi terbatas, bisa juga menyeluruh. Sekarang kita hanya menampung saja dulu saran-saran dari banyak pihak,” ujarnya.