Kompolnas Minta Irjen Napoleon dan Brigjen Prasetijo Segera Disidang Etik
Kompolnas telah berkomunikasi dengan Polri terkait waktu penyelenggaraan sidang Komisi Kode Etik Profesi Polri bagi Irjen Napoleon dan Brigjen (Pol) Prasetijo. Kompolnas berharap agar sidang etik segera dilaksanakan.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Kepolisian Nasional berharap agar Polri segera melakukan sidang etik terhadap Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte dan Brigadir Jenderal (Pol) Prasetijo Utomo karena perkara mereka telah berkekuatan hukum tetap. Jika dibiarkan berlarut-larut, dikhawatirkan Polri akan dianggap berlaku diskriminatif terhadap anggotanya.
Dalam kasus suap penghapusan red notice Joko Tjandra, Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte dihukum 4 tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Napoleon melakukan upaya hukum lanjutan hingga kasasi. Namun, Mahkamah Agung menolak kasasinya.
Demikian pula dalam kasus terkait Joko Tjandra, Brigadir Jenderal (Pol) Prasetijo Utomo dihukum 3 tahun 6 bulan penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Hukuman bagi Prasetijo dipangkas oleh Mahkamah Agung menjadi 2 tahun 6 bulan penjara setelah permohonan peninjauan kembali yang diajukan olehnya dikabulkan MA.
Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Poengky Indarti, ketika dihubungi, Rabu (1/3/2023), mengatakan, Kompolnas telah berkomunikasi dengan Polri terkait waktu penyelenggaraan sidang Komisi Kode Etik Profesi (KKEP) Polri bagi Napoleon dan Prasetijo. Ini mengingat kasus yang mereka hadapi telah berkekuatan hukum tetap. Kepada Kompolnas, kata Poengky, Divisi Profesi dan Pengamanan Polri menyatakan, mereka masih mempersiapkannya.
Berdasarkan hal itu, kata Poengky, Kompolnas saat ini masih menunggu dan berharap agar sidang etik terhadap kedua perwira tinggi tersebut akan segera dilaksanakan. Sebab, jika tidak, hal itu akan dianggap sebagai diskriminasi perlakuan bagi personel Polri yang lain.
”Negara masih dibebani dengan membayar gaji mereka. Padahal, tindak pidana yang mereka lakukan telah terbukti mencoreng nama baik institusi kepolisian,” kata Poengky.
Sejauh ini, menurut Poengky, Kompolnas tidak melihat adanya hambatan tertentu untuk menyelenggarakan sidang etik bagi Napoleon dan Prasetijo. Kompolnas melihat, sejak kasus Napoleon dan Prasetijo yang terjadi pada 2020-2021, institusi Polri menghadapi berbagai masalah internal yang menyangkut pesonelnya secara bertubi-tubi, antara lain kasus Ferdy Sambo, Tragedi Kanjuruhan, serta kasus yang kini dijalani Irjen Teddy Minahasa. Sementara sumber daya manusia untuk melakukan pemeriksaan etik itu terbatas.
Secara terpisah, pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies, Bambang Rukminto, berpandangan, Peraturan Kepolisian Negara RI Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Polri memang tidak mengatur kapan sidang etik harus digelar, semisal sebelum putusan pidana dijatuhkan atau setelah putusan pidana dijatuhkan. Namun, jika merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Negara RI, terdapat pasal yang menyatakan bahwa pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) bagi anggota kepolisian yang melakukan tindak pidana itu dilakukan setelah putusan berkekuatan hukum tetap.
Selain itu, Pasal 111 Perpol No 7/2022 mengatur bahwa bagi anggota kepolisian yang diancam dengan saksi PTDH, masih diberikan kesempatan untuk mengajukan pengunduran diri dari dinas Polri sebelum pelaksanaan sidang KKEP. Untuk bisa mengajukan, yang bersangkutan harus sudah berdinas minimal 20 tahun, memiliki prestasi, serta tidak melakukan tindak pidana dengan ancaman penjara paling lama 5 tahun.
”Ini kemudian menimbulkan kerancuan. Tetapi, yang sering kali terjadi adalah menunggu mereka mengajukan pensiun sendiri,” kata Bambang.
Terkait sidang etik, lanjut Bambang, publik telah melihat para terdakwa dalam kasus perintangan penyidikan atas meninggalnya Nofriansyah Yosua Hutabarat telah menjalani sidang etik terlebih dahulu sebelum menjalani persidangan pidana di pengadilan umum. Sementara publik juga melihat, Richard Eliezer Pudihang Lumiu baru menjalani sidang etik setelah putusannya berkekuatan hukum tetap.
Dari contoh itu, Bambang menilai pelaksanaan sidang etik memang cenderung permisif. Jika berpegang pada peraturan, seharusnya rujukannya adalah PP No 1/2003 yang kedudukannya lebih tinggi dibandingkan Perpol No 7/2023. Namun, sikap permisif itu membuat seolah selalu ada celah untuk tidak serta-merta melaksanakannya.
”Makanya saya menentang pengaktifan kembali Richard Eliezer karena ini akanmembuat internal Polri jadi makin permisif. Orang mau masuk Polri sajamembutuhkan SKCK (surat keterangan catatan kepolisian), sementara setelah di dalam malah jadi permisif seperti itu,” ujar Bambang.
Hal senada diungkapkan Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso. Menurut Sugeng, secara formil seharusnya tidak ada hambatan bagi Polri untuk menyelenggarakan sidang etik bagi Napoleon dan Prasetijo. Sebab, putusan terhadap keduanya sudah berkekuatan hukum tetap.
Sebaliknya, menurut Sugeng, jika sidang ditunda-tunda dan dibiarkan berlarut-larut, hal itu akan menimbulkan dugaan di masyarakat bahwa Polri melindungi anggotanya. ”Oleh karena itu, IPW mendesak Polri agar segera membentuk KKEP Polri untuk memeriksa dugaan pelanggaran etik terhadap Irjen Napoleon dan Brigjen (Pol) Prasetijo setelah putusan pengadilan atas pidana korupsi mereka telah berkekuatan hukum tetap,” kata Sugeng.
Terkait hal itu, Kompas mencoba melakukan konfirmasi terhadap Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Irjen Syahardiantono mengenai rencana pelaksanaan sidang etik terhadap Napoleon dan Prasetijo, tetapi tidak dijawab. Demikian pula Kepala Divisi Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo tidak menjawab pertanyaan yang sama.