Petugas Pantarlih Pemilu 2024 menjadi kunci dalam menetapkan daftar pemilih sementara hingga tetap. Di Makassar, dedikasi mereka terbukti saat harus mengecek hingga ke kuburan atau menerobos banjir.
Oleh
RENY SRI AYU ARMAN
·3 menit baca
Sambil memegang map berisi sejumlah berkas, Safitri Sako mengelilingi area pemakaman umum di Pulau Barrang Caddi, Kecamatan Kepulauan Sangakarrang, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (23/2/2023). Dia mengecek lebih dari 10 kuburan di area tersebut demi mendapatkan data calon pemilih yang akurat.
Fitri, panggilan akrabnya, adalah satu dari lima anggota Pemutakhiran Data Pemilih (Pantarlih) Pemilu 2024 di Kelurahan Barrang Caddi. Dari 15 kecamatan di Makassar, Sangkarrang adalah satu-satunya yang berada di kepulauan. Kecamatan ini meliputi tujuh pulau, yakni Barrang Caddi, Barrang Lompo, Kodingareng, Langkai, Bone Tambung, Lu’mu-Lu’mu, dan Lanjukkang.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Hari itu, saat mendata calon pemilih di rumah warga, Fitri menemukan beberapa data terkait warga yang sudah meninggal. Namun, dalam data yang menjadi pegangannya, warga tersebut statusnya masih tertulis hidup.
“Untuk memastikan, saya bertanya ke keluarga. Tapi, banyak yang sudah lupa tanggal kematian anggota keluarganya itu. Jadi, saya harus mengecek ke lokasi kuburan, setidaknya mencocokkan nama dan juga tanggal kematian yang ada di nisan,” katanya.
Fitri bersikeras mengecek langsung ke pemakaman untuk menghindari ada warga yang sudah meninggal, tapi nantinya terdaftar sebagai pemilih. Di pulau, kebanyakan warga tak mengurus berkas kematian atau menghapus data keluarga yang meninggal dari Kartu Keluarga. Itulah sebabnya banyak yang tetap terdata sebagai calon pemilih, meski sudah meninggal.
“Masih mending kalau kuburannya ada. Kadang ada yang sudah lama meninggal dan kuburannya sudah hilang. Biasanya kasus seperti ini yang dimakamkan sangat dekat dengan pantai. Kadang kuburan atau nisan hilang karena abrasi, jadi tak ada lagi tanda yang tertinggal,” katanya.
Ketua Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Sangkarrang M Anis mengakui rumitnya masalah seperti ini. Di pulau, acap kali mengurus berkas kematian tak dilakukan anggota keluarga karena harus menyeberang ke pulau lain. Warga biasanya hanya melaporkan lisan perihal kematian anggota keluarganya ke ketua RT atau RW saja.
“Jadi, banyak kasus di mana mereka masih terdata hidup dan masuk data potensial pemilih, tapi sebenarnya sudah meninggal. Kalau petugas tak mengecek kebenarannya, memang akan kacau nanti datanya,” katanya.
Namun, mengecek dan mencocokkan data warga yang sudah meninggal hanya satu dari banyak tantangan menjadi petugas Pantarlih maupun PPK di wilayah kepulauan. Menerjang ombak dengan jolloro (perahu kecil biasanya untuk menangkap ikan) adalah hal lainnya. Rata-rata waktu tempuh dengan kapal dari wilayah daratan Kota Makassar ke pulau-pulau di Sangkarrang antara satu-empat jam dengan kapal kayu.
“Kalau ada form yang kurang, saya harus ke Makassar. Kadang saat pergi masih dapat kapal kayu yang besar. Begitu mau kembali ke pulau, jadwal kapal sudah tidak pas, akhirnya pakai jolloro. Kalau musim ombak besar seperti baru-baru ini, kadang saya menginap dan menunggu cuaca mendingan untuk menyeberang,” kata Fitri.
Tantangan berbeda juga dialami petugas Pantarlih di wilayah daratan. Saat banjir besar merendam Makassar pertengahan Februari lalu, tidak sedikit petugas Pantarlih yang harus menerobos genangan demi menyelesaikan tugas pendataan.
Bisa-bisa ada orang meninggal atau pindah, tapi masih terdaftar sebagai pemilih.
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Makassar Endang Sari menyebutkan, petugas Pantarlih KPU Makassar memang sudah mulai bekerja. Di beberapa lokasi, mereka terpaksa menorobos banjir agar tahapan pendataan bisa berjalan sesuai jadwal.
"Kami berharap warga bisa proaktif untuk menunggu petugas Pantarlih datang dengan menyiapkan dokumen kependudukan, seperti KTP-el dan Kartu Keluarga, untuk selanjutnya dilakukan pencocokkan dan penelitian data pemilih,” katanya.
Di beberapa kawasan, katanya, ada sejumlah kompleks perumahan yang berkarakteristik khusus dan elite yang warganya menolak petugas Pantarlih. “Tapi kondisi tersebut kami komunikasikan dengan pemerintah setempat begitu mendapat laporan,” katanya.
Petugas memang harus berpacu dengan waktu, sesuai tahapan yang sudah disusun. Itulah mengapa petugas Pantarlih tetap bekerja walau harus ke kuburan hingga menerobos banjir.
“Karena ada banyak data yang harus dicocokkan. Waktunya juga hanya sekitar sebulan. Padahal, data Pantarlih penting untuk menetapkan daftar pemilih sementara. Dari situ menjadi data pemilih tetap," ujar Gunawan Mashar, Koordinator Divisi Teknis KPU Kota Makassar.
Oleh karena itu, dia menambahkan, kerja pemutakhiran data ini memang tak main-main. Kalau petugas lapangan tak teliti dan berdedikasi, datanya bisa kacau. "Bisa-bisa ada orang meninggal atau pindah, tapi masih terdaftar sebagai pemilih,” katanya.
Berdasarkan data KPU Kota Makassar, setidaknya ada 1.059.745 data penduduk potensial pemilih pemilu. Data ini yang harus dimutakhirkan oleh petugas Pantarlih. Jumlah data pemilih ini tersebar di 3.998 tempat pemungutan suara (TPS). Rata-rata pemilih per TPS di Makassar adalah 266 orang.