Penambahan Kodam Dinilai Tidak Mengikuti Rencana Strategis
Sejumlah peneliti pertahanan menilai rencana TNI AD untuk menambah Kodam berlangsung mendadak. Namun, Dinas Penerangan TNI AD menyebut yang terjadi bukan penambahan Kodam, tetapi peningkatan status Korem A jadi Kodam.
Oleh
EDNA CAROLINE PATTISINA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana TNI Angkatan Darat untuk mengadakan komando daerah militer atau kodam di setiap provinsi dipertanyakan karena tidak punya alasan yang kuat. Rencana itu juga dinilai mendadak karena tidak tercantum sebagai postur TNI dalam Rencana Strategis Kebutuhan Pokok Minimum.
Hal ini disampaikan Beni Sukadis, peneliti dari Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (Lespressi), dalam diskusi ”Kodam di Tiap Wilayah hingga Intelijen di Bawah Kemenhan: Jalan Mundur Reformasi Sektor Keamanan” yang diadakan KontraS, Senin (20/2/2023). Beni mengatakan, saat ini TNI AD telah menggelar 15 kodam se-Indonesia. Menurut rencana, akan ditambah menjadi 37 kodam dengan cara meningkatkan korem.
”Ini kebijakan yang tiba-tiba, dalam Rencana Strategis MEF (minimum essential force) tahap 3 tidak ada rencana pengembangan atau penambahan kodam,” kata Beni.
Dikonfirmasi soal ini, Kepala Dinas Penerangan TNI AD Brigadir Jenderal Hamim Tohari mengatakan, ia perlu menggarisbawahi bahwa yang terjadi saat ini bukan penambahan kodam atau pembentukan kodam baru dari awal. Yang direncanakan TNI AD adalah peningkatan status korem tipe A yang yang saat ini sudah ada di setiap provinsi menjadi kodam. Ia membantah bahwa rencana ini mendadak dan tanpa rencana karena tidak ada di renstra.
”Rencana ini sudah dipertimbangan cukup lama dan baru diusulkan secara resmi kepada Panglima TNI yang nanti juga akan diusulkan secara berjenjang kepada pemerintah,” kata Hamim.
Pembicara lain dalam diskusi KontraS, peneliti ISEAS Yusof Ishak Institute Singapore, Made Supriatma, juga menyoroti surplus besar-besaran jenderal di tubuh TNI, juga TNI AD. Ia mengatakan, hal ini yang diantaranya membuat organisasi militer menjadi semakin besar untuk mengakomodasi para jenderal. Masalahnya, organisasi yang besar itu berpotensi kuat menurunkan kapabilitas TNI. ”Semakin banyak organisasi wilayah, semakin sulit hadapi hambatan dari luar,” kata Made.
Dia mengingatkan, tahun 1985, TNI sudah dirampingkan. Saat itu rantai komando diperkecil agar bisa mudah menggerakkan pasukan dengan cepat dan tepat. Hari ini, ketika ancaman sangat dinamis dan tidak pasti, justru organisasi diperbesar di kewilayahan yang membuat para prajurit jadi kurang terlatih kemampuan tempurnya. ”Ini aneh dan out of touch dengan realita,” kata Made.
Diandra M Mengko, peneliti dari Badan Riset Inovasi Nasional mempertanyakan justifikasi dan urgensi pembentukan kodam. Ia mengatakan, Kementerian Pertahanan menyatakan, urgensi pembentukan kodam adalah untuk penguatan sistem pertahanan semesta mendorong kerja sama pemerintah daerah dan masyarakat. Bagi Diandra, ini alasan yang membingungkan karena TNI adalah alat negara menghadapi ancaman keamanan yang eksternal.
Namun, hal ini dibantah Brigjen Hamim. Menurut Hamim, apa yang dikatakan Menteri Pertahanan, doktrin pertahanan Sishankamrata mengedepankan kerakyatan dan kesemestaan, sehingga keberadaan Komando Kewilayahan merupakan hal yang penting untuk mengelola komponen pertahanan yang ada di wilayah tersebut, baik komponen utama, komponen pendukung dan komponen cadangan. ”Ancaman kedaulatan bukan hanya kekuatan bersenjata negara lain, tetapi banyak ancaman non-militer juga,” kata Hamim.
Bukan pelemahan
Hamim mengatakan, tidak berarti TNI menurut kapabilitasnya dengan adanya pengembangan korem ini. Ia mengatakan, setiap prajurit, walaupun ditugaskan di komando kewilayahan telah memiliki dasar militer dan naluri tempur yang kuat sehingga tugas operasi militer selain perang (OMSP) ataupun operasi militer perang tetap dapat diselenggarakan.
Menurut Hamim, ancaman terhadap kedaulatan bangsa di masa kini tidak hanya berupa konflik. Ada masalah bencana dan krisis ekonomi yang juga harus dilihat sebagai ancaman. Pengembangan korem tipe A menjadi kodam ini diharapkan akan meningkatkan kemandirian wilayah untuk menghadapi potensi tantangan dan ancaman di tiap-tiap wilayah.
”Akan memiliki satuan-satuan dukungan atau pelayanan masing-masing sehingga tidak harus bersandar pada pusat,” kata Hamim.
Namun, menurut Diandra, kerja sama dengan pemda dalam rangka OMSP hanya terjadi ketika dinamika tidak lagi bisa dihadapi oleh sipil. ”Dalam konteks ini sulit dipahami kenapa harus ada di setiap provinsi,” kata Diandra.
Ia mengatakan. sebenarnya, bisa diterima kalau disebutkan ini upaya restrukturisasi komando teritorial bisa bertambah dan juga berkurang. Akan tetapi, pemerintah perlu secara konsisten mengevaluasi seluruh keberadaan komando teritorial dengan menggunakan indikator yang tetap. Apabila mengacu pada UU TNI, indikator yang digunakan adalah daerah rawan keamanan, daerah perbatasan, daerah rawan konflik, serta pulau terpencil sesuai geografi dan strategi pertahanan.
“Mau menambah, tapi indikator beda-beda. Jadi seperti tidak menunjang militer sebagai alat pertahanan negara,” katanya.
Menurut Diandra, indikator perbantuan ke sipil tidak bisa jadi alasan karena perbantuan itu hanya pada waktu tertentu saja. Menurut dia, seharusnya yang diperkuat adalah instansi sipil, bukan menambah militer. ”Dinamika ancaman kontemporer butuh kekuatan laut dan udara—ini yang lebih harus dikembangkan,” kata Diandra.