CSIS: Kekerasan Kolektif Tahun 2022 Turun, Jumlah Korban Justru Naik
CSIS mencatat kekerasan kolektif di Indonesia tahun 2022 turun 8,7 persen dari tahun sebelumnya. Namun, jumlah korban justru naik 54,7 persen.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Centre for Strategic and International Studies atau CSIS Indonesia mencatat, jumlah kekerasan kolektif yang terjadi di Indonesia pada 2022 menurun dibanding tahun sebelumnya. Dibandingkan rata-rata nasional, intensitas peristiwa kekerasan kolektif itu banyak terjadi di wilayah Indonesia Timur, yakni Maluku, Papua, dan Papua Barat.
Dari pengumpulan data dan analisis terhadap pemberitaan media, CSIS mencatat, selama 2022 terjadi 1.114 peristiwa kekerasan kolektif di Indonesia atau menurun 8,7 persen dibanding pada 2021. Meski menurun, jumlah korban peristiwa kekerasan kolektif tercatat meningkat 54,7 persen, yakni menjadi 2.174 korban meninggal ataupun luka-luka.
Ketika ditelaah lebih jauh, peningkatan jumlah korban meninggal ataupun luka tersebut disebabkan oleh insiden tunggal atau satu insiden kekerasan kolektif, tetapi memakan banyak korban. Sementara banyak insiden kekerasan kolektif, tetapi dengan korban nihil atau jumlah korban di bawah 5 orang. Jika dibuat rata-rata, pada 2021 rata-rata korban per insiden adalah 1,11 dan pada 2022 meningkat menjadi 1,3 korban per insiden.
”Walaupun jumlah kekerasan menurun di 2022, jumlah korban meningkat. Hal ini diakibatkan kejadian outliers (kejadian yang berbeda). Maka, perlu untuk memetakan kapan itu akan terjadi. Dan ini pentingnya peringatan dini dan perubahan struktural,” kata peneliti dari Departemen Politik dan perubahan Sosial CSIS Indonesia, Alif Satria, dalam seminar ”Kekerasan Kolektif di Indonesia Tahun 2022: Temuan dan Analisis” yang diselenggarakan secara hibrida, Senin (20/2/2023).
Kekerasan kolektif yang dicatat CSIS adalah kekerasan yang memenuhi unsur penggunaan kekuatan fisik, disengaja, serta dilakukan oleh atau terhadap sekelompok orang. Riset tersebut dilakukan dengan mengumpulkan dan mencatat 93 surat kabar daring di tingkat provinsi.
Dari riset itu juga diketahui, kekerasan kolektif paling banyak terjadi di Jawa Timur, yakni 221 insiden. Namun, jika dilihat dari sisi intensitas kekerasan kolektif, yakni dengan membandingkan jumlah kekerasan kolektif per 1 juta penduduk, provinsi dengan intensitas kekerasan kolektif tinggi berada di Indonesia timur. Itu antara lain Provinsi Maluku dengan 20 insiden kekerasan kolektif, disusul Provinsi Papua dengan 19,9 insiden, dan Provinsi Papua Barat dengan 16,7 insiden per 1 juta penduduk. ”Ketiga provinsi ini mengalami intensitas kekerasan kolektif 4,5 kali rata-rata nasional,” kata Alif.
CSIS juga menemukan kekerasan kolektif paling banyak adalah main hakim sendiri (486 kejadian). Kemudian terbanyak kedua kekerasan kolektif terkait isu kriminal (147 kejadian) dan terakhir adalah isu identitas (93 kejadian). Namun, kekerasan kolektif akibat isu identitas bukan dilandasi identitas keagamaan, melainkan identitas sekolah seperti tawuran pelajar dan konflik antara satu desa dan desa lain.
Intervensi aktor negara
Tak hanya mencatat jumlah kekerasan kolektif yang terjadi, CSIS juga mencatat adanya upaya atau intervensi dari pihak ketiga untuk menghentikan kekerasan kolektif tersebut. Intervensi tercatat bisa datang dari aparat keamanan atau warga. Namun, bisa juga intervensi diilakukan oleh kedua belah pihak.
Menurut Alif, jumlah intervensi dari pihak ketiga terhadap insiden kekerasan kolektif pada 2022 tidak lebih dari 20 persen atau satu per lima dari total kejadian. Hal itu tidak berbeda dari temuan pada 2021. Dengan demikian, bisa disimpulkan tidak ada perkembangan berarti selama dua tahun ini.
Meski persentase intervensi terhadap kejadian kolektif pada 2021 dan 2022 relatif sama, efektivitas dari intervensi tersebut pada 2022 tercatat menurun. Jika pada 2021 terdapat sekitar 74 persen kejadian yang diintervensi itu berhasil, pada 2022 jumlah kejadian yang berhasil diintervensi hanya sekitar 56 persen.
Jika intervensi dilakukan bersama oleh aktor negara bersama aktor nonnegara, memiliki tingkat kesuksesan sampai 100 persen walaupun sayangnya pada 2022 hanya 12 insiden yang diintervensi aparat keamanan dan aktor nonnegara.
Hal yang menarik, lanjut Alif, intervensi yang dilakukan oleh aktor nonnegara justru lebih efektif dibandingkan intervensi yang dilakukan oleh negara, yakni 57,1 persen dibanding 50,5 persen. ”Dan jika intervensi dilakukan bersama oleh aktor negarabersama aktor nonnegara, memiliki tingkat kesuksesan sampai 100persen walaupun sayangnya pada 2022 hanya 12 insiden yangdiintervensi aparat keamanan dan aktor nonnegara," ujarnya.
Secara khusus di Papua, tercatat bahwa daerah yang mengalami insiden kekerasan separatis pada 2022 menyebar menjadi 16 kabupaten/kota dari sebelumnya hanya 8 kabupaten/kota. Namun, mayoritas kekerasan separatis hanya terjadi di empat wilayah, yakni Kabupaten Intan Jaya, Puncak Jaya, Yahukimo, dan Pegunungan Bintang. Temuan lainnya adalah terjadinya peningkatan penargetan terhadap aktor nonnegara, seperti masyarakat dan perusahaan swasta.
Kepala Departemen Hubungan Internasional CSIS Indonesia Lina A Alexandra menambahkan, temuan CSIS tersebut memperlihatkan bahwa potensi terjadinya kekerasan kolektif di Indonesia tetap ada meski dari sisi kuantitas menurun. Hal yang patut diwaspadai ke depan adalah penyelenggaraan Pemilu 2024 yang akan meningkatkan potensi tersebut. Meski demikian, Lina mengakui bahwa karena laporan tersebut didasarkan pada pemberitaan di media massa, bisa jadi terdapat insiden kekerasan kolektif yang tidak dilaporkan.
Dalam tanggapannya, Kepala Subdirektorat Penanganan Konflik Direktorat Kewaspadaan Nasional Kementerian Dalam Negeri Anug Kurniawan berpandangan, kajian yang dilakukan CSIS tersebut juga dilakukan pemerintah. Perbedaannya, menurut Anug, jika CSIS mencatat semua peristiwa kekerasan kolektif, Kemendagri memilahnya dengan beberapa indikator berbeda berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.
Kemendagri mencatat setidaknya terdapat 167 peristiwa kekerasan di berbagai daerah di Indonesia. Jumlah itu terdiri dari 164 insiden yang terkait isu politik, ekonomi, sosial, dan budaya, serta dua peristiwa terkait batas wilayah dan satu peristiwa terkait sengketa sumber daya alam. Temuan tersebut sudah dilaporkan ke Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian pada awal Februari 2023.
”Sebenarnya, kita sama-sama mendeteksi kejadian-kejadian yang ada dimasyarakat. Di samping itu, kami juga mengupayakan langkah-langkah penyelesaian, yang disebut intervensi pemerintah, untuk penanganan konflik tersebut,” kata Anug.
Anug mengatakan, langkah pemerintah terkait konflik adalah pencegahan, penghentian, serta pemulihan pascakonflik. Untuk pencegahan, biasanya dilakukan dengan sosialisasi dan pendekatan terhadap tokoh masyarakat. Jika sudah terjadi konflik, penyelesaian akan dilakukan oleh Polri. Sementara pada tahap pemulihan akan dilakukan rekonsiliasi, rekonstruksi, dan rehabilitasi.
Kemendagri selalu melakukan verifikasi kepada kepala daerah jika ada insiden kekerasan kolektif yang muncul di media sosial. ”Kalau responsnya positif, mereka akan segera melaporkan sesuai yang kami minta. Namun, kenyataannya memang kepala daerah itu khawatir peristiwa itu terkait kinerjanya sebagai kepala daerah. Mereka khawatir terekspose sehingga dianggap kinerjanya menurun, ujar Anug.