Ancam Kemanusiaan, Kecerdasan Buatan pada Militer Butuh Aturan Internasional
Konferensi internasional ”Responsible Artificial Intelligence in The Military Domain (REAIM) 2023” digelar di World Forum, Den Haag, Belanda, Rabu (15/2/2023) pagi. Konferensi diikuti perwakilan dari 70 negara.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU dari DEN HAAG, BELANDA
·3 menit baca
DEN HAAG, KOMPAS — Belanda mengajak dunia menyepakati aturan bersama mengenai penggunaan kecerdasan buatan yang bertanggung jawab pada ranah militer. Selain menjadi faktor penting bagi pengembangan angkatan bersenjata berteknologi mutakhir, kecerdasan buatan membawa sejumlah risiko pada masa depan kemanusiaan. Risiko dimaksud di antaranya terkait dengan kekhawatiran akan kurangnya kendali manusia dalam pengambilan keputusan militer dan sulitnya menentukan pihak yang bertanggung jawab atas konsekuensi tewasnya manusia.
Pemerintah Belanda bersama dengan Pemerintah Republik Korea menyelenggarakan konferensi internasional ”Responsible Artificial Intelligence in The Military Domain (REAIM) 2023” di World Forum, Den Haag, Rabu-Kamis (15-16/2/2023). Konferensi internasional pertama tentang penggunaan kecerdasan buatan yang bertanggung jawab pada ranah militer itu diikuti perwakilan dari sekitar 70 negara. Tak hanya dari pemerintah, agenda ini juga melibatkan perusahaan, akademisi, masyarakat sipil, dan lembaga think tank.
Pendekatan multidisiplin dan lintas negara diperlukan lantaran kecerdasan bukan sekadar isu teknologi, melainkan juga geopolitik. Pengembangan teknologi yang semakin pesat itu juga terkait dengan penggunaan senjata yang berpotensi berdampak serius bagi masa depan kemanusiaan, misalnya sistem persenjataan otonom (autonomous weapons systems/AWS) yang dikhawatirkan akan menjadi senjata pemusnah yang bekerja tanpa kendali manusia.
”Sekarang adalah saatnya bagi kita sebagai masyarakat dunia untuk duduk bersama, membuat kesepakatan tentang bagaimana menghadapi risiko dari teknologi ini,” kata Menteri Luar Negeri Belanda Wopke Hoekstra dalam pertemuan dengan jurnalis dari delapan negara di kantornya, Den Haag, Selasa (14/2/2023).
KURNIA YUNITA RAHAYU
Menteri Luar Negeri Belanda Wopke Hoekstra
Hoesktra mengakui, pengembangan kecerdasan buatan pada ranah militer kini dalam tahap awal dan masih akan terus berjalan. Namun, perkembangan situasi perang di Ukraina harus diperhatikan. Persoalan kendali penuh manusia dalam pengambilan keputusan menggunakan teknologi tersebut harus dipastikan sejak jauh-jauh hari. ”Kita harus pastikan bahwa manusia terlibat dalam pengambilan keputusan,” katanya.
Ia menambahkan, kecerdasan buatan bukan tantangan teknologi militer pertama yang pernah ada. Sebelumnya, ada pula ancaman dari teknologi persenjataan yang sangat berbahaya, yakni senjata nuklir, kimia, dan biologis. Meski tidak mudah dan masih menjadi diskusi yang sulit hingga hari ini, dunia menghadapinya dengan membuat kesepakatan untuk mengantisipasi penggunaan senjata tersebut.
Menurut Hoekstra, upaya membangun kesepakatan untuk mengantisipasi dampak kemanusiaan dari kecerdasan buatan juga bukan hal mudah. Ini merupakan pekerjaan yang membutuhkan waktu panjang. Namun, penyelenggaraan REAIM 2023 diharapkan bisa menjadi langkah awal yang mewadahi negara-negara di dunia dalam mencapai kesepahaman ihwal kesempatan, dilema, dan kerentanan yang muncul dari teknologi tersebut.
Konferensi internasional tersebut diharapkan bisa menghasilkan seruan yang dirumuskan dan disepakati bersama. ”Walaupun belum ada kesepakatan tentang isu ini, semua negara diharapkan bisa hadir dan saya akan mendorong perumusan kesepakatan yang ditandatangani semua negara,” kata Hoekstra.
Profesor Etik dan Teknologi dari Delft University of Technology, Jeroen van den Hoven.
Mandat kemanusiaan
Profesor Etik dan Teknologi dari Delft University of Technology, Jeroen van den Hoven, mengatakan, pengembangan teknologi tidak pernah bebas nilai dan selalu bersifat politis. Oleh karena itu, pengembangan teknologi harus senantiasa menyertakan prinsip etik. Setiap inovasi, tidak terkecuali kecerdasan buatan pada ranah militer, seharusnya bisa memenuhi kewajiban moral pada kemanusiaan.
Namun, kecerdasan buatan yang telah dikembangkan saat ini cenderung memperlihatkan masalah-masalah yang justru mengancam kemanusiaan. Misalnya soal akurasi AWS dalam membedakan target, ketidakakuratan bisa mengakibatkan terbunuhnya pihak yang tidak terkait dengan konflik bersenjata. Dalam situasi demikian, sulit pula untuk menentukan pihak yang harus bertanggung jawab atas tewasnya manusia karena sistem kecerdasan buatan.
Penasihat Senior untuk Hukum Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional dari Palang Merah Belanda (The Netherlands Red Cross), Jan Tijmen Ninck Blok, sepakat, penekanan pada mandat kemanusiaan diperlukan untuk membatasi pemaknaan dan metode konflik bersenjata. Hal itu penting untuk melindungi pihak-pihak yang semestinya tidak terdampak dari konflik bersenjata.
”Dalam konteks pengembangan kecerdasan buatan pada ranah militer, penggunaan AWS menjadi kekhawatiran utama kami karena senjata ini bisa bekerja tanpa keputusan tambahan dari manusia,” ujarnya.
KURNIA YUNITA RAHAYU
Kepala Bidang Perdagangan Senjata Organisasi Perdamaian Belanda PAX Frank Slipjer (kiri) dan penasihat senior untuk hukum hak asasi manusia (HAM) internasional dari Palang Merah Belanda (The Netherlands Red Cross), Jan Tijmen Ninck Blok.
Blok menambahkan, rancangan dan pengembangan kecerdasan buatan dalam ranah militer perlu terus dilakukan. Namun, dibutuhkan regulasi yang terkait dengan durasi, skala, dan situasi yang terkait dengan penggunaan teknologi tersebut.
”Tantangan saat ini di antaranya melakukan peninjauan kembali terhadap aturan hukum yang ada terkait senjata-senjata baru untuk memastikan adanya penghormatan terhadap HAM baik dalam pemaknaan maupun metode konflik bersenjata yang diimplementasikan,” katanya.
Kepala Bidang Perdagangan Senjata Organisasi Perdamaian Belanda PAX Frank Slipjer mengatakan, belum adanya aturan internasional yang jelas terkait dengan penggunaan AWS menjadi kekhawatiran luar biasa. Sebab, pengembangan teknologi berlangsung amat pesat dan penyebarannya pun begitu cepat.
”Ada kebutuhan mendesak bagi komunitas internasional untuk bekerja bersama dengan membuat pakta yang tidak hanya berisi soal bagaimana menjaga norma dan etika, tetapi juga keamanan manusia,” ujarnya.