Pendekatan Kemanusiaan agar Tak Ada Lagi ”Family Tree” Terorisme
Saat ini Densus 88 lebih mengedepankan pendekatan kemanusiaan terhadap keluarga yang ditinggalkan oleh para narapidana terorisme. Salah satu upaya untuk menghentikan fenomena ”family tree” terorisme.
Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri yang lekat dengan langkah-langkah penegakan hukum terhadap teroris berupaya menampilkan wajah baru. Setelah sekitar 18 tahun satuan itu dibentuk, mulai disadari dibutuhkan pola baru dalam menangani keluarga dari para narapidana terorisme. Mereka menyebutnya dengan ”operasi kemanusiaan”.
Selama belasan tahun, Densus 88 seolah tak pernah berhenti menangkap para terduga teroris. Setelah mereka ditangkap, ternyata masalah belum selesai. Mayoritas dari mereka meninggalkan istri dan anaknya. Masalah menjadi kian kompleks ketika istri dan anak terduga terorisme tidak diperhatikan dengan baik, maka mereka bisa menjadi ”bom waktu” yang bisa meledak kapan pun dan di mana pun.
Lambat laun, konsekuensi dari penangkapan itu mulai disadari. Densus 88 mulai mengubah pendekatan kepada keluarga para narapidana terorisme. Jika dulu Densus 88 hanya fokus di penangkapan, saat ini Densus 88 lebih mengedepankan pendekatan kemanusiaan terhadap keluarga yang ditinggalkan oleh para narapidana terorisme. Salah satu upaya untuk menghentikan fenomena pohon keluarga (family tree]) terorisme.
Untuk mendalami hal tersebut, Kompas mewawancarai Direktur Identifikasi dan Sosial Densus 88 Antitetor Polri Brigadir Jenderal (Pol) Arif Makhfudiharto, akhir pekan lalu, di Jakarta. Berikut kutipannya.
Bagaimana Densus 88 melihat fenomena anak-anak yang ditinggalkan oleh orangtuanya yang terlibat tindak pidana terorisme?
Anak ini, kan, sebagai korban. Mereka tidak punya pilihan karena dididik bapak atau ibunya. Ketika bapak atau ibunya ikut jaringan (terorisme), bagaimana? Jadi, kami melihatnya, anak ini adalah aset bangsa. Kalau kita salah didik, bahaya. Mereka bisa terkontaminasi ajaran yang lain-lain. Mereka tidak akan menemukan jati diri yang asli. Padahal, mereka semua berprestasi. Coba kalau salah mengasuh, anak cerdas begini akhirnya melawan pemerintah, melawan negara. Mengerikan.
Seberapa mengkhawatirkan dampaknya jika persoalan anak-anak dari narapidana terorisme ini tidak tertangani dengan baik?
Sangat mengkhawatirkan. Saya beri perumpamaan. Anak dicetak menjadi pemain bola dari kecil, pasti akan menjadi pemain bola yang hebat, seperti Messi (Lionel Messi, pesepak bola Argentina). Meskipun Messi punya cacat pertumbuhan, tetapi ketika Messi dilatih dari kecil dan diberi asupan gizi, dia bisa menjadi pemain bola yang hebat. Ini yang saya bayangkan. Ketika anak ini ”dicetak”, diracuni dengan hal yang jelek, tentunya dia akan menjadi seperti itu.
Lalu, bagaimana upaya Densus 88 memutus rantai tersebut sehingga anak tidak semakin terjerumus?
Sejak awal, kami sudah berhubungan dan bersentuhan dengan keluarga mereka, mulai dari (anggota keluarganya yang diduga terlibat tindak pidana terorisme) sebelum ditangkap, hingga ditangkap. Ketika ayahnya ditangkap, misalnya, kami baru menebang bagian atasnya saja. Rumputnya, kan, masih ada. Bagaimana nasib istri dan anaknya?
Dari situlah, istri dan anak bergantung pada kami. Hubungan emosional lama-lama terjalin. Itu sebuah konsekuensi yang harus kami tempuh. Kami tidak bisa fokus pada penegakan hukum saja. Kalau penegakan hukum saja, seperti yang dulu lagi, lalu akan timbul kemarahan. Akhirnya, konsekuensinya apa? Polisi umum ditembaki, ditarget oleh teroris. Karena apa? Dia mencari Densus tidak bisa.
Akhirnya, sedikit demi sedikit kami mengubah pola penanganan kami. Kami masuk dengan cara kemanusiaan dulu. Kami tempatkan anak-anak mereka ke pondok pesantren yang moderat. Mereka dididik dan dihaluskan dengan ilmu agama. Mereka juga didampingi oleh para guru agama di pesantren. Tak hanya itu, istri-istri juga diberikan keterampilan agar tetap bisa mencari rezeki selama ditinggalkan suaminya.
Ini adalah operasi kemanusiaan. Dengan operasi kemanusiaan, mereka kemudian juga akan memakai nurani. Manusia selalu punya nurani. Kami ubah dari situ dulu. Ketika frekuensinya sudah sama, barulah kami mulai ubah pelan-pelan.
Mengapa Densus 88 memilih melakukan operasi kemanusiaan ini? Bukankah tugas pokok Densus 88 lebih pada penegakan hukum?
Kami hanya berharap tidak ada lagi family tree dari teroris. Dulu, kan, family tree. Karena apa? Dendam tidak pernah berhenti. Mereka merasa dizalimi, trauma karena pernah ditodong senjata atau sempat melihat adanya penembakan. Rasa benci itu ada.
Karena itu, saya selalu ingatkan kepada kepala satuan tugas wilayah (kasatgaswil), jadikan anak teroris ini bisa menjadi polisi ketika dia berkeinginan menjadi polisi, karena kami tidak bisa terus ada di Densus. Suatu saat, (masa kerja) kami selesai kok. Tetapi, mereka ini, kan, masa depan.
Apakah sejauh ini pendekatan operasi kemanusiaan ini terbukti berhasil?
Visi kami itu, kan, zero residivis. Kalaupun nanti ada teroris, itu bukan dari mereka (eks terpidana terorisme). Karena itu, ketika mereka di dalam penjara, kesempatan tersebut kami kelola dengan baik. Jika mereka sakit, kami rawat dan komunikasikan dengan keluarga. Dengan begitu, ada penyembuhan secara mental ketika keluarga datang.
Selain mengintervensi mereka yang di dalam (penjara), kami juga mengintervensi keluarganya yang ada di luar (penjara). Mumpung (anggota keluarga yang terjerat kasus tindak pidana terorisme) ada di dalam penjara, kami selalu berusaha memberikan perhatian terbaik bagi keluarganya yang ada di luar penjara.
Sebab, harapan kami, zero attack, artinya tidak ada letupan. Mau tidak mau, kan, konsekuensinya yang paling gampang kami memonitor, ya, orang-orang yang di lingkungan tersangka dan tersangka itu sendiri.
Harus kami lakukan dengan pendekatan kemanusiaan. Namun, pendekatan itu harus diikuti stakeholder lain. Jangan hanya kami. Jadi harus ada kesadaran bersama, baik kementerian/lembaga, pemerintah daerah, maupun masyarakat. Semua harus kami ajak bersama menangani persoalan ini.
Akhirnya, kan, saya juga kasih penyadaran kepada semua kasatgaswil. Kalau nangkep (orang yang terduga terlibat tindak pidana terorisme), konsekuensinya adalah deradikalisasi, disengagement. Kalau tidak mau melakukan semua itu, tidak usah nangkep.