Peran kiai di kampung dalam kehidupan masyarakat tidak hanya mengajarkan ilmu keagamaan, tetapi juga ilmu-ilmu lain untuk menunjang kehidupan masyarakat. Tak jarang, kiai juga menjadi penyelesai persoalan di masyarakat.
Muhamad Sochib (40) merupakan pengasuh Pondok Pesantren Tarbiyatul Qur’aniyah yang ada di Desa Tlogorejo, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Di pesantren itu, ada sekitar 70 santri yang berasal dari berbagai daerah di Grobogan dan sekitarnya. Selain di pesantren itu, Sochib juga kerap mengajarkan ilmu agama di pesantren lain dan di sejumlah sekolah mulai dari tingkat raudhatul athfal, madrasah ibtidaiyah, madrasah tsanawiyah, hingga madrasah aliyah di Kecamatan Mranggen, Kabupaten Demak.
Sehari-hari, pria yang merupakan Wakil Sekretaris Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jateng itu juga mengajari tetangganya mengaji dan mendalami ilmu agama. Di samping mengajar mengaji, Sochib juga mendorong para tetangga yang mengaji di tempatnya untuk bersekolah hingga jenjang lebih tinggi. ”Dulu, orang-orang sini cuma sekolah sampai tingkat sekolah menengah atas. Setiap mengajar ngaji, selalu saya tanamkan kepada mereka kalau pendidikan itu kunci utama menuju kesuksesan. Saya bahkan mencontohkan kisah-kisah orang yang bisa mengubah hidup melalui pendidikan,” kata Sochib saat ditemui, Sabtu (4/2/2023), di Desa Tlogorejo.
Pelan-pelan, usaha pria yang sudah 22 tahun mengajar mengaji itu berbuah. Semakin banyak tetangganya yang kemudian mau melajutkan pedidikan ke perguruan tinggi. Bahkan, di rukun tetangga Sochib, ada sembilan orang yang kini telah menempuh pendidikan strata dua.
Selain pesan menempuh pendidikan tinggi, Sochib juga menyampaikan pesan agar tetangganya bisa berwirausaha. Selama ini, kebanyakan tetangga Sochib merupakan petani atau buruh tani. Semenjak mengaji di tempat Sochib dan diberi ilmu tentang kewirausahaan, para tetangganya mulai berbisnis. Pelan-pelan, harkat kehidupan mereka terangkat.
Bagi masyarakat, pesan dari Sochib didengar karena ia dikenal bisa membantu menyelesaikan berbagai persoalan warga. Nur Rosyid (32) sudah belajar menngaji di tempat Sochib sejak 2015. Ia mengaku mendapatkan banyak manfaat, salah satunya bisa mengendalikan diri saat menghadapi kendala dalam bisnisnya. ”Kalau dulu, emosi saya sangat labil. Kalau sedang ada cobaan dalam bisnis, saya cepat putus asa dan merasa menjadi yang paling menderita sedunia. Sejak ikut mengaji di Kiai Sochib, saya jadi lebih tenang dan tawakal dalam menghadapi masalah. Tak jarang juga, saya mendapatkan solusi setelah menceritakan persoalan saya ke beliau,” ujar Rosyid.
Selain menularkan ilmu agama dan membantu mengatasi persoalan sosial, kiai di kampung juga sebagian berelasi erat dengan tradiri dan kebudayaan. Di tepian Sungai Opak, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, KH Jadul Maula mengasuh Pondok Pesantren Budaya Kali Opak yang berdiri sejak 2006.
Melalui kegiatan di pondok pesantrennya, Jadul mengajak para santri memahami nilai keagamaan, seperti tauhid, fikih, dan tasawuf, dengan pendekatan kebudayaan. Pasalnya, menurut dia, praktik kebudayaan yang berlangsung selama ini juga mengandung nilai-nilai tersebut. Misalnya, ia contohkan, pada pertunjukan wayang diajarkan juga soal ke-esa-an Tuhan.
Oleh karena itu, nama-nama program yang diadakan juga agak bernuansa pewayangan. Setidaknya ada dua program yang mengusung nama tokoh wayang, yaitu Ngaji Dewa Ruci dan Ngaji Bimo Seni. Pada program Ngaji Dewa Ruci, pembahasannya berkenaan kitab pesantren beserta kaitannya dengan nilai hidup dari kearifan lokal masyarakat Nusantara.
Lalu, dalam program Ngaji Bimo Seni, Jadul akan mengundang berbagai seniman guna membicarakan tentang karya mereka di pondok tersebut. Beberapa nama seniman kondang yang pernah diundang antara lain pelukis Nasirun, dalang Slamet Gundono, dan pemusik Memet Chaerul Slamet. Saat mengisi kajian, para seniman bertindak seolah bertindak sebagai kiainya. Ternyata, dalam proses kreatif yang diceritakan, seniman-seniman tersebut justru merasakan pengalaman religiusnya masing-masing.
Tidak sebatas mengkaji, Jadul juga mendorong para santrinya turut serta berkarya. Adapun karya yang dihasilkan bergantung dari minat para santri. Memang, para santri dikenal memiliki latar belakang bermacam-macam terentang dari sastra, musik, tari, pedalangan, perfilman, dan lain-lain.
Kepemimpinan karismatik
Siregar, Setiawan, dan Setio dalam Religious Leader and Charismatic Leadership in Indonesia: The Role of Kyai ini Pesantren in Java (2013), menuturkan, kiai kampung sering identik dengan atribusi sebagai pemimpin karismatik. Kiai biasanya dimaknai sebagai seseorang yang biasanya lebih tua, bijak, dan dihormati. Tidak ada badan tertentu yang mengotorisasi kiai ataupun melepaskan ”gelar” kiai. Alasannya, kiai mendapatkan posisinya dan otoritasnya karena orang-orang mendengarkannya.
Soal peranan kiai di masyarakat, Wiwik Setiyani dalam The Exerted Authority of Kiai Kampung in the Social Construction of Local Islam (2020) menuturkan, kiai kampung memiliki pengaruh yang beragam. Terkadang menjadi kiai yang mengajarkan ilmu agama, tetapi di lain waktu menjadi pemimpin ritual tradisional. Bahkan, kiai juga bisa menjadi referensi dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapi komunitas. Relasi kiai dan komunitas tidak terbatas pada aspek keagamaan, tetapi kiai juga menjadi pemimpin komunitas. Tidak hanya itu, dalam politik lokal, kiai juga dipandang sebagai pemimpin karismatik yang punya pengaruh besar pada komunitas.
Soal relasi kiai, pondok pesantren, dan masyarakat, Pengasuh Ponpes Mahasiswa Al-Hikam di Malang, Jawa Timur, Mohammad Nafi, menuturkan, pesantren NU tidak terpisah dengan masyarakat. Bahkan, pesantren-pesantren lama tumbuh secara organik, hingga ada yang namanya ”hilang” atau ”lebur”.
”Misalnhya pesantren Gontor, Tebu Ireng, Sidogiri, Gading, itu nama desa. Ini fakta bagaimana pesantren terintegrasi dengan sekitar. Ia hidup dan berkembang bersama dinamika masyarakat. Jadi antara menerima dan mengisi, itu hal yang bisa terjadi,” katanya.
Terkait dengan tradisi, menurut Nafi, dalam khazanah keilmuan pesantren, tradisi memiliki tempat yang fundamental. Dalam menyikapi tradisi ada tiga kemungkinan, yaitu bertentangan, diambil wadahnya tapi diganti isinya, atau berkesesuaian. Jika bertentangan dengan agama, tentu saja akan ditolak.
Beberapa tradisi dan budaya dilakukan di Ponpes Al-Hikam, misalnya megengan, barikan, haul, dan beberapa tradisi lain. Megengan adalah selamatan sebelum Ramadhan (puasa), barikan adalah selamatan untuk peringatan kemerdekaan RI, dan haul adalah tradisi mendoakan para pendahulu yang sudah meninggal.
”Saat megengan, anak-anak santri datang ke mushala warga untuk turut merayakannya. Setiap orang datang dengan membawa berkat. Lalu nanti berkat itu dibagi-bagi kepada yang datang,” kata Nafi.
Berkat di sini artinya makanan. Berkat tersebut, menurut Nafi, berasal dari kata berkah. Sama dengan megengan, maka berkat juga biasanya ada saat ada hajatan atau ada keluarga meninggal dunia. Dalam selamatan orang meninggal, misalnya, para tetangga akan datang untuk menyatakan bela sungkawa, menghibur keluarga yang ditinggalkan dengan turut mendoakan yang meninggal, lalu pulangnya pihak keluarga memberikan ”berkat” atau makanan kepada yang datang.
Membalas kunjungan para santri, saat acara haul KH Hasyim Muzadi (penggagas Ponpes Al-Hikam), maka warga sekitar pondok pesantren akan berdatangan dan merayakan haul di dalam pondok. Adapun Al-Hikam didirikan tahum 1991, dan saat ini memiliki 300 santri. ”Kami tidak berjarak atau memisahkan diri dengan masyarakat sekitar karena memang kami bagian dari masyarakat. Bahkan, saat merayakan 17-an, santri-santri Al-Hikam turut memeriahkan acara. Sebab, yang tinggal di RT sini rata-rata adalah orang tua,” kata Nafi.
Dengan hubungan baik dengan masyarakat dan tradisi yang dimiliki, menurut Nafi, santri Al-Hikam akan mendapatkan manfaat, yaitu membangun social skill atau kemampuan dalam hubungan sosial.