Masyarakat Sipil Desak KY Ulang Seleksi Hakim ”Ad Hoc” HAM untuk Kasasi
Komisi Yudisial sudah mengirimkan nama-nama calon hakim agung dan hakim ”ad hoc” HAM ke Dewan Perwakilan Rakyat.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Yudisial meloloskan tiga calon hakim ad hoc hak asasi manusia untuk tingkat kasasi. Namun, sejumlah organisasi masyarakat sipil meminta KY menggelar ulang seleksi hakim ad hoc HAM untuk tingkat kasasi karena sebagian calon dinilai kurang menguasai persoalan pelanggaran HAM berat.
Selama tiga hari, yaitu dari Selasa (31/1/2023) hingga Kamis (2/2/2023), KY menggelar seleksi calon hakim agung dan hakim ad hoc HAM pada Mahkamah Agung. Khusus hakim ad hoc HAM, seleksi diikuti oleh lima calon. KY akhirnya meloloskan tiga orang, yaitu anggota Polri Harnoto, advokat Happy Wajongkere, dan mantan hakim ad hoc tindak pidana korupsi pada Pengadilan Negeri Banda Aceh M Fatan Riyadhi.
Selain itu, KY juga mengumumkan enam calon hakim agung lainnya untuk kamar pidana, perdata, tata usaha negara, tata usaha negara khusus pajak, dan agama. Mereka adalah Annas Mustaqim (hakim tinggi Badan Pengawas Mahkamah Agung) dan Sukri Sulumin (hakim tinggi Pengadilan Samarinda) untuk kamar pidana; Lucas Prakoso (Direktur Pembinaan Tenaga Teknis Peradilan Umum Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum MA) untuk kamar perdata.
Selain itu, Imron Rosyadi (Ketua PT Agama Samarinda) untuk kamar pidana; Lulik Tri Cahyaningrum (Dirjen Badan Peradilan Militer dan TUN MA); dan Triyono Martanto (Wakil Ketua II Pengadilan Pajak) untuk kamar TUN khusus pajak.
Anggota KY Bidang Rekrutmen Hakim, Siti Nurdjanah, dalam jumpa pers Jumat (3/2/2023) mengungkapkan, pihaknya sudah mengirimkan nama-nama calon yang lolos seleksi KY tersebut ke Dewan Perwakilan Rakyat. Selanjutnya DPR melalui Komisi III akan menyetujui atau menolak calon-calon yang diusulkan KY.
Ia menjelaskan, para calon yang lolos sudah memenuhi persyaratan baik hard competency (pengetahuan) maupun soft competency (integritas). Dalam seleksi kali ini, KY memperketat seleksi integritas. ”Tetapi, sekali untuk integritas, benar-benar kita concern. Tapi, kenyataannya yang lulus ini, hasilnya lebih baik.”
Ditanya mengenai lolosnya anggota Polri aktif, Siti mengatakan bahwa yang bersangkutan akan memasuki masa pensiun Maret 2023. ”Kalau lulus (seleksi di DPR) dan dilantik, (ia) sudah bukan anggota polisi. Sudah menjadi warga negara biasa,” ujar Siti.
Pelaksanaan seleksi hakim ad hoc HAM untuk tingkat kasasi/peninjauan kembali ini mendapat sorotan tajam dari sejumlah organisasi masyarakat sipil. Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) meminta KY melakukan seleksi ulang terhadap calon hakim ad hoc HAM karena sejumlah alasan.
Mentari Ahjhanie dari LeIP dalam siaran persnya mengungkapkan, pihaknya belum menemukan calon hakim ad hoc HAM pada MA yang memiliki pengetahuan mumpuni terkait pelanggaran HAM berat, khususnya terkait unsur meluas atau sistematis dalam kejahatan kemanusiaan dan konsep pertanggungjawaban komando. Ini terlihat dari ketidakmampuan para calon memberikan jawaban yang tepat dan baik terkait materi-materi tersebut selama proses wawancara.
Kondisi tersebut, tambahnya, menimbulkan kekhawatiran terkait kualitas hakim ad hoc HAM pada MA terpilih yang nantinya akan mengadili perkara pelanggaran HAM berat, termasuk peristiwa Paniai. Sebab, peradilan kasasi memiliki peran penting dalam menjaga kesatuan hukum dengan merumuskan kaidah-kaidah hukum yang berguna untuk kemajuan pemikiran hukum. Dengan demikian, hakim ad hoc HAM pada MA idealnya memiliki pengetahuan dan kualitas yang baik untuk menjalankan peran tersebut.
”Hakim agung yang tidak berkualitas akan berdampak pada pemberian keadilan kepada korban, para pihak, dan para pencari keadilan. Pengabaian terhadap kualitas calon dengan alasan pragmatis, sama halnya dengan menutup mata terhadap akuntabilitas proses persidangan pelanggaran HAM berat dan pemberian hak atas keadilan bagi para korban,” kata Mentari.
Adapun saat ini ada kasus pelanggaran HAM berat yang menunggu untuk ditangani di tingkat kasasi, yaitu peristiwa Paniai. Pengadilan HAM pada Pengadilan Negeri Makassar membebaskan Mayor Infanteri (Purn) Isak Sattu yang menjadi satu-satunya terdakwa dalam kasus pelanggaran HAM berat di Paniai, Papua. Atas putusan itu, jaksa mengajukan kasasi ke MA.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM mengatur jangka waktu penyelesaian perkara pelanggaran HAM berat di tingkat kasasi. Pasal 33 UU tersebut memberi waktu bagi MA untuk memeriksa dan memutus perkara tersebut dalam waktu paling lama 90 hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke MA.
Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti juga mengatakan, beberapa calon minim pengetahuan tentang pengadilan HAM. Pihaknya berharap calon-calon semacam itu tidak diloloskan. ”Kami mendesak KY agar mempertimbangkan untuk kembali melakukan proses rekrutmen hakim ad hoc HAM untuk mencari kandidat hakim ad hoc HAM yang kredibel,” ujarnya.
Terkait penilaian tersebut, Siti Nurdjanah mengungkapkan, penilaian kelulusan yang dilakukan KY tidak semata-mata hanya ditentukan dari tes wawancara. Apalagi wawancara dilakukan dalam waktu yang terbatas, yakni 90 menit untuk tiap calon. Hasil akhir penilaian kelulusan dilakukan dengan mengakumulasikan nilai dari proses-proses sebelumnya, termasuk rekam jejak yang bersangkutan, yakni integritas calon.
”KY tidak mau kecolongan, tes kompetensi sangat oke, tapi integritas kurang. Begitu jadi hakim di MA, terciduk (KPK). Oleh karena itu, sekali lagi, nilainya tidak hanya dari wawancara, tapi gabungan atau akumulasi dari nilai tes sebelumnya,” ujarnya.
Ditanya mengenai salah satu calon yang tidak lolos pada saat seleksi hakim ad hoc tingkat pertama dan banding, tetapi lolos di KY, Siti mengungkapkan, kegagalan bisa menjadikan seseorang lebih semangat atau memicu untuk belajar lebih giat. Ia meyakinkan, tiga calon yang diloloskan merupakan yang terbaik dari lima calon yang mengikuti seleksi wawancara.