Pilih Hakim ”Ad Hoc” HAM, MA Perlu Hindari Potensi Konflik Kepentingan
MA tengah menyeleksi 33 calon hakim ”ad hoc” pengadilan HAM. Sebagian dari calon hakim itu dinilai belum bisa membedakan tindak pidana biasa dengan pelanggaran HAM berat.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Agung diminta lebih selektif memilih calon hakim ad hoc pengadilan hak asasi manusia yang berkualitas dan berintegritas. Potensi konflik kepentingan juga perlu dipertimbangan MA dalam memilih para calon pengadil kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM berat. Tugas pertama yang dilakukan para hakim ad hoc HAM itu adalah mengadili kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Paniai, Papua.
Saat ini, Mahkamah Agung tengah melakukan seleksi calon hakim ad hoc pengadilan HAM. Sebanyak 33 calon hakim ad hoc HAM yang akan menyidangkan perkara dugaan pelanggaran HAM berat Paniai, Papua, mengikuti seleksi wawancara akhir di Badan Litbang Diklat Hukum dan Peradilan MA, Bogor, Jawa Barat, Rabu (20/7/2022). Mereka mengikuti sesi wawancara di enam ruangan panel terpisah. Tim panitia seleksi (pansel) bertanya tentang pengetahuan teknis persidangan dan hukum acara, integritas kemandirian dan komunikasi, serta pengetahuan tentang pelanggaran HAM berat dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Salah seorang peserta seleksi, Yaya Supriadi, adalah purnawirawan TNI. Saat wawancara, dia mengaku sering menjadi tim hukum anggota TNI dalam berbagai persidangan. Salah satunya adalah penasihat hukum Tim Mawar atau tim kecil dari kesatuan Komando Pasukan Khusus Grup IV TNI AD yang dituding menjadi dalang dalam operasi penculikan aktivis prodemokrasi tahun 1998. Kasus penculikan tersebut menyeret 11 anggota Tim Mawar ke Pengadilan Mahkamah Militer Tinggi II pada bulan April 1999.
Saat seleksi wawancara, Roichatul Aswidah yang merupakan peneliti senior Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) menanyakan apakah penanganan kasus pelanggaran HAM di Indonesia sudah maksimal. Yaya menjawab bahwa penanganan kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Indonesia belum maksimal. Yaya menilai proses hukum dari kasus pelanggaran HAM berat baru sebatas memenuhi sorotan dari luar negeri. Namun, para pelaku cenderung kebal hukum (impunitas). Proses hukum yang sudah berjalan, seperti pengadilan HAM untuk kasus Tanjung Priok, Timor Timur, dan Abepura, juga belum menyentuh para pelaku atau aktor utama kejahatan.
”Lalu, langkah apa yang akan Bapak lakukan jika menjadi hakim ad hoc HAM untuk mencegah hal itu terjadi?” tanya Roichatul.
Yaya menjawab, jika terpilih menjadi hakim ad hoc HAM, dia akan menangani perkara sesuai dengan aturan yang berlaku. Dia tidak akan membiarkan ada intervensi apa pun dari pihak luar, terutama dari institusi terdakwa.
”Lalu, kalau Bapak yang menjadi hakim, Bapak kan purnawirawan, lalu ada intervensi bagaimana?” cecar Roichatul lagi.
”Perlu keberanian agar tidak ada intervensi, teror, atau intimidasi,” jawab Yaya.
Kepala Divisi Pengawasan Impunitas Kontras Tioria Pretty Stephanie menuturkan, berdasarkan pemantauan langsung yang dilakukan lembaganya, masih banyak calon hakim yang kurang memiliki pengetahuan HAM dan hukum humaniter internasional secara memadai. Sejumlah calon bahkan tidak bisa membedakan tindak pidana biasa dengan pelanggaran HAM berat. Hal itu dinilai fatal karena berkaitan dengan pengetahuan dasar terkait kasus-kasus pelanggaran HAM.
”Ada juga yang tidak tahu mengapa dalam penyelesaian hukum kasus HAM berat, berkas perkara bolak-balik dari Komnas HAM ke Kejaksaan Agung. Masalahnya di mana, banyak yang tidak tahu. Ini menunjukkan pengetahuan HAM mereka buruk,” ujar Pretty.
Calon hakim lainnya, Herlinda, bahkan sempat tidak bisa menjawab pertanyaan dari anggota tim pansel, I Dewa Gede Palguna. Mantan hakim konstitusi itu sampai harus mengulang pertanyaan beberapa kali untuk menjelaskan. Namun, Herlinda tetap tidak bisa menjawab pertanyaan tersebut. ”Maaf, saya nge-blank, Pak,” kata Herlinda.
Masih banyak calon hakim yang kurang memiliki pengetahuan HAM dan hukum humaniter internasional secara memadai. Sejumlah calon bahkan tidak bisa membedakan tindak pidana biasa dengan pelanggaran HAM berat.
Pretty berharap MA tidak meloloskan calon hakim yang berasal dari pensiunan TNI/Polri. Alasannya, calon hakim yang dengan latar belakang tersebut akan rawan konflik kepentingan. Apalagi, calon hakim tersebut akan menyidangkan perkara kasus dugaan HAM berat Paniai, Papua. Tersangka tunggal yang sudah ditetapkan oleh Kejaksaan Agung, yaitu IS, adalah purnawirawan TNI.
”Kami tidak menyarankan memilih dari purnawirawan TNI karena akan ada konflik kepentingan,” kata Pretty.
Selain itu, Kontras juga masih menemukan sejumlah hakim yang berorientasi pencari pekerjaan (job seeker). Hal itu diketahui dari rekam jejak hakim tersebut. Ada calon hakim yang beberapa kali melamar sebagai hakim ad hoc tindak pidana korupsi, calon hakim agung kamar tata usaha negara, pengadilan agama, hingga komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
”Kami sudah sampaikan kepada MA terkait dengan temuan dugaan seleksi ini menjadi ajang job seeker dari sosok yang beberapa kali mendaftar jabatan publik,” kata Pretty.
Sementara itu, Kepala Biro Hukum dan Humas MA Sobandi mengatakan, setelah seleksi wawancara, MA akan merapatkan hasilnya sebelum diumumkan kepada publik. Menurut rencana, akan dipilih enam hakim ad hoc HAM untuk pengadilan tingkat pertama dan enam hakim ad hoc HAM di tingkat banding.