Pers Dituntut Menjaga Nalar Publik di Tahun Politik
Pemilu serentak 2024 menjadi momentum yang sangat penting bagi publik untuk mendapat informasi berkualitas. Media arus utama harus kembali menunjukkan jati dirinya sebagai pembuat informasi yang bisa diandalkan.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tahun politik, pers dituntut menjalankan peran meningkatkan pemahaman intelektual masyarakat terhadap isu-isu kepemiluan. Pers tidak hanya menjalankan fungsi sebagai ”anjing penjaga” atau watchdog, tetapi juga memberikan pendidikan kepada publik sekaligus menyajikan informasi berkualitas agar warga negara bisa membuat pilihan rasional terbaik.
Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu di seminar ”Pers dan Pemilu Serentak 2024” di Jakarta, Kamis (26/1/2023), menuturkan, potensi keriuhan dalam penyelenggaraan Pemilu 2024 adalah sebuah keniscayaan. Menjelang Pemilu 2024, media akan menjalankan fungsinya sebagai pengawas tahapan pemilu, baik yang diatur peraturan perundang-undangan maupun yang ada di luar regulasi.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Selain itu, pers juga memiliki mandat meningkatkan pemahaman intelektual publik dalam isu-isu kepemiluan. ”Pers bukan hanya menjadi watchdog, tetapi juga harus menghadirkan dialog-dialog yang bisa membuat publik memberi penilaian mana yang benar dan yang salah,” kata Ninik.
Dewan Pers akan mengawal agar media bersikap profesional saat penyelenggaraan Pemilu 2024. Jurnalis dituntut memiliki integritas dan kredibilitas. Ruang-ruang redaksi diharapkan mampu menunjukkan independensi sehingga tidak terkontaminasi kepentingan ekonomi, politik, dan kepentingan konglomerasi media. Dengan menjaga hal-hal itu, diharapkan masyarakat akan memperoleh informasi yang kredibel dari lembaga pers.
Pemimpin Redaksi Kompas Sutta Dharmasaputra menekankan, pemilu serentak tahun 2024 menjadi momentum yang sangat penting bagi publik untuk mendapat informasi berkualitas. Selama ini, jurnalisme telah memproduksi informasi dengan metodologi yang baik dan teruji.
Di momentum yang penting itu, saatnya pers membuktikan kesucian profesinya. Media arus utama harus kembali menunjukkan jati dirinya sebagai pembuat informasi yang bisa diandalkan ketimbang media sosial.
”Selama ini pers bisa menjalankan tugasnya sebagai pembuat informasi dengan metodologi yang baik. Ini harus dipertahankan. Negara dan aktor-aktor politik juga harus memercayai kerja-kerja wartawan karena pers yang bebas berjalan berdampingan dengan demokrasi,” katanya.
Selain itu, Deputi Bidang Kesatuan Bangsa Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Janedjri M Gaffar berharap pers memiliki kesadaran dalam memainkan perannya yang strategis untuk membendung pembelahan sosial, seperti yang terjadi pada Pemilu 2019.
Pers dituntut memiliki kemampuan dan kesadaran dalam memainkan peran strategis itu. Dia mencontohkan, pers diminta selektif memilih narasumber yang kompeten dan bertanggung jawab, memilih judul dan sudut pandang pemberitaan yang konstruktif sehingga tidak terjebak pada praktik dan fenomena clickbait.
Bendung disinformasi
Janedjri mengingatkan peran pers sangat strategis sebagai salah satu pilar demokrasi. Pers berperan strategis dalam membendung hoaks dan disinformasi yang marak di media sosial menjelang pemilu serentak tahun 2024. Oleh karena itu, pers dituntut menjadi institusi yang berstandar etik dan akurasi yang tinggi.
Budaya verifikasi, check and recheck, harus dipegang teguh. Dengan demikian, berita yang dihasilkan pers dapat mengarahkan masyarakat pada pilihan rasional dan obyektif. Pers harus menjadi referensi utama agar pilihan rakyat pada Pemilu 2024. Pilihan masyarakat tentunya harus didasarkan pada pertimbangan kepentingan keutuhan, kesatuan, dan kemajuan bangsa. Bukan didasarkan pada kebencian kelompok atau sentimen pribadi.
Senada dengan itu, Ninik Rahayu juga mengingatkan, pers untuk tidak menyampaikan disinformasi, misinformasi, dan malinformasi. ”Jika disinformasi, misinformasi, dan malinformasi pemilu disebarkan, ini akan berdampak buruk bagi masyarakat,” katanya.
Bagi penyelenggara pemilu, disinformasi bisa memberi dampak yang buruk. Anggota Komisi Pemilihan, Mochamad Afifuddin, mencontohkan, di Pemilu 2019, salah satu disinformasi yang pernah menyerang KPU adalah kabar palsu tentang keberadaan tujuh kontainer surat suara yang sudah dicoblos di Tanjung Priok, Jakarta.
Jajaran KPU dan Badan Pengawas Pemilu saat itu langsung mengecek ke lokasi. Hasilnya, tidak ditemukan fakta seperti kabar yang tersebar secara viral di media sosial. Namun, bagi sebagian orang, kabar itu dipercayai kebenarannya, hingga penyelenggara pemilu dianggap curang.
Sementara itu, anggota Bawaslu, Lolly Suhenty, mengungkapkan, terkait dengan pengawasan terhadap pemberitaan dan penyiaran, sudah ada gugus tugas yang terdiri dari KPU, Komisi Penyiaran Indonesia, dan Dewan Pers. Gugus tugas akan bergerak ketika ada dugaan pelanggaran kampanye, iklan, pemberitaan di lembaga penyiaran ataupun media cetak dan daring. Mekanisme pengaduan itu dinilai selama ini berjalan cukup efektif. Dugaan pelanggaran akan lebih dulu ditangani Dewan Pers. Jika Dewan Pers tak mengakui produk yang diadukan sebagai produk jurnalistik, itu akan dilimpahkan secara pidana ke kepolisian.