Pengamat: Tarik Ulur ”Reshuffle” Dipengaruhi Faktor Politik dan Optimalisasi Kinerja Kabinet
Tahun-tahun terakhir masa pemerintahan akan jadi pertaruhan kredibilitas bagi setiap pihak di Kabinet Indonesia Maju yang diamanahi jalankan roda pemerintahan. Jika terjadi tata ulang, harus utamakan percepatan kinerja.
Oleh
MAWAR KUSUMA WULAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menjelang akhir masa jabatannya, Presiden Joko Widodo dinilai perlu fokus mengoptimalisasi kinerja Kabinet Indonesia Maju untuk menuntaskan janji politik. Untuk itu, Presiden Jokowi dan kabinetnya harus bekerja ekstra luar biasa untuk menghasilkan percepatan. Keinginan untuk memberikan kinerja terbaik di masa akhir jabatan yang tersisa 23 bulan ini pula yang dinilai menjadi salah satu faktor tarik ulur rencana reshuffle atau perombakan kabinet.
Pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, menegaskan bahwa semua presiden, termasuk Jokowi, ingin punya legacy atau warisan yang baik. ”Kebijakan Jokowi dalam kurang dua tahun terakhir harus dipenuhi oleh kebijakan-kebijakan yang baik yang bisa menjadi peninggalan yang baik. Oleh karena itu, Presiden berusaha untuk menjadikan dirinya sebagai Presiden yang sukses husnul khotimah,” ujar Ujang ketika dihubungi pada Jumat (20/1/2023).
Agar tidak dianggap sebagai Presiden yang gagal, kabinet harus diisi oleh orang-orang yang mau bekerja dan harus ada percepatan. ”Bukan hanya cepat, tapi ada percepatan dan tepat karena sisa kurang dua tahun lagi. Kabinet yang lari tidak harus dipecut baru jalan. Tapi, memang harus jalan sendiri, lari sendiri, sesuai visi misi Jokowi,” ujarnya.
Jika perombakan kabinet kembali terjadi, menurut Ujang, kocok ulang kabinet harus lebih pada tata ulang kinerja kabinet agar menunjang upaya percepatan-percepatan kinerja. ”Kabinet yang memiliki percepatan kuantum. Tidak hanya cepat karena waktu sudah mepet mau habis. Butuh lompatan-lompatan tinggi agar kinerja menjadi yang terbaik,” ucapnya.
Ujang menegaskan bahwa kinerja anggota kabinet telah memiliki standar dan ukuran. ”Jangan pencitraan dengan kampanye untuk kepentingan dirinya untuk capres/cawapres, tapi bisa bertanggung jawab dengan kepentingan negara yang terlihat dengan kinerja yang baik. Itu hanya bisa dilakukan oleh menteri yang berjiwa negarawan,” ujarnya.
Tahun-tahun terakhir masa pemerintahan akan menjadi pertaruhan kredibilitas dan pertaruhan harga diri sebagai pihak yang diamanahi untuk menjalankan roda pemerintahan. Menurut Ujang, keinginan Presiden Jokowi untuk memberikan kinerja terbaik ini pula yang menjadi salah satu faktor penyebab tarik ulur rencana reshuffle.
Tahun-tahun terakhir masa pemerintahan akan menjadi pertaruhan kredibilitas dan pertaruhan harga diri sebagai pihak yang diamanahi menjalankan roda pemerintahan.
Selain itu, perombakan kabinet tidak jadi dilakukan pada Desember-Januari, dimungkinkan karena adanya pendekatan dari Ketua Umum Nasdem Surya Paloh Nasdem yang hingga kini berkomitmen menjaga pemerintahan Jokowi hingga 2024. Nasdem juga telah memerintahkan partainya dengan sangat keras utuk mendukung kebijakan Presiden Jokowi.
Sebelumnya, isu perombakan kabinet muncul karena Nasdem dinilai berdiri di dua kaki setelah mengusung mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sebagai calon presiden. ”Reshuffle hak prerogatif Presiden, naik turun, muncul tenggelam, batasannya ada pada hak prerogatif Presiden itu. Kapan pun, Presiden bisa melakukan rotasi atau reshuffle. Tarik ulur reshuffle juga tergantung Jokowi, entah karena faktor kinerja atau faktor politik,” ujarnya.
Dalam kurun 23 bulan ke depan, pengajar Politik FISIP Universitas Airlangga dan Penasihat Senior Lab 45, Haryadi, menilai, Presiden ingin menuntaskan nawacita atau sembilan prioritas pembangunan lima tahun. ”Secara normatif, nawacita itu harus sudah di-delivery tuntas pada akhir masa jabatan beliau, 20 Oktober 2024 mendatang. Pasti bukan perkara mudah karena praktis Indonesia dan bahkan dunia kehilangan konsentrasi kerja selama 2020-2021 akibat pandemi Covid-19,” ujarnya.
Kehilangan waktu kerja inilah, lanjutnya, yang mendorong Presiden untuk bekerja ”tidak biasa”, tetapi harus ”ekstra luar biasa” guna menebus waktu yang hilang. Namun, sayangnya, tidak semua menteri dan badan pemerintahan yang menjadi pembantu Presiden memiliki kapasitas memadai dan kelincahan kerja.
Menurut Haryadi, bahkan tak sedikit warga negara yang jengkel mengetahui manuver beberapa menteri dan kepala badan yang seolah bekerja, tetapi sejatinya tidak bekerja. Sebagian bahkan lebih banyak melakukan manuver di luar tugas pokoknya.
Hal ini mengganggu dan mereduksi upaya Presiden untuk bekerja ”ekstra luar biasa”. ”Berpangkal seperti ini, wajar bila banyak pihak berharap Presiden me-reshuffle para pembantunya yang tak becus dan tak memiliki komitmen menuntaskan terwujudnya nawacita,” kata Haryadi.
Namun, Presiden tetap harus mempertimbangan keseimbangan ekonomi-politik sehingga tidak segera melakukan reposisi kabinet. ”Sekalipun kebutuhan teknokratis untuk itu sudah amat mendesak. Terkecuali ada di antara pembantu Presiden yang terindikasi terlibat tindak pidana, maka reshuffle niscaya terjadi. Atau, ada kebutuhan Presiden untuk membuat keseimbangan ekonomi-politik baru sebelum Pemilu 2024,” ucap Haryadi.
Haryadi juga menegaskan bahwa Presiden Jokowi bukan tipe pemimpin yang memikirkan capaian terkait dengan legacy. Kinerja awal tahun Presiden Jokowi yang melahirkan keputusan penting, seperti pengakuan dan penyesalan pemerintah atas pelanggaran HAM berat masa lalu, dinilai lebih terkait dengan keinginan untuk bekerja baik.
”Soal legacy, Presiden terkesan tidak pernah memikirkan itu. Presiden lebih terobsesi untuk selalu kerja baik dan berdampak signifikan bagi kebaikan warga negara dan kemanusiaan. Itu saja. Tak lebih dan tak kurang. Bahwa kerja baiknya diapresiasi sebagai legacy, itu diserahkan pada penilaian rakyat banyak,” ujarnya.
Apapun penilaian rakyat, Presiden Jokowi dinilai tetap akan bekerja dengan turun blusukan ke bawah untuk mendengar langsung aspirasi warga negara. ”Itu habit dan ideologis, tak ada kaitan atau kebutuhan elektoral,” kata Haryadi.