Bukti Lemah dan Faktor Kegagalan Pengadilan Kasus Paniai
Tidak terbuktinya unsur-unsur pelanggaran HAM berat pada sejumlah perkara pelanggaran HAM berat itu sangat terkait dengan kekuatan bukti. Ke depan, Kejagung dan Komnas HAM perlu berkoordinasi untuk perkuat bukti.
Vonis bebas terdakwa tunggal perkara pelanggaran hak asasi manusia berat Paniai di Papua menambah panjang daftar perkara pelanggaran HAM berat yang gagal menjerat terdakwanya dengan hukuman. Muncul wacana agar prosedur hukum dalam pengadilan HAM diperbaiki melalui hukum acara agar terdakwa yang diajukan ke pengadilan bisa benar-benar dijerat hukum.
Namun, apa sebenarnya persoalan mendasar yang harus diperbaiki dengan belajar dari vonis kasus Paniai itu?
Setelah delapan tahun menanti, sidang kasus pelanggaran HAM berat Paniai akhirnya disidangkan di Pengadilan HAM ad hoc pada Pengadilan Negeri Makassar pada 21 September 2022. Sidang digelar untuk mengadili terdakwa tunggal, yaitu Mayor Infanteri (Purn) Isak Sattu (IS) dalam peristiwa di Paniai pada 8 Desember 2014 itu. Peristiwa itu menewaskan empat orang dan mengakibatkan 10 orang luka-luka.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim yang diketuai oleh Sutisna Sawati, dan hakim anggota Abdul Rahman Karim, Siti Noor Laila, Robert Pasaribu, serta Sofi Rahma Dewi itu, menyebut bahwa tidak semua unsur dalam kejahatan terhadap kemanusiaan yang didakwaan terbukti. Dalam perkara ini, Isak didakwa sejumlah pasal Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yakni Pasal 42 Ayat (1) Huruf a dan huruf b tentang rantai komando militer, Pasal 7 huruf b tentang kejahatan terhadap kemanusiaan, Pasal 9 huruf a tentang pembunuhan, dan Pasal 37 tentang sanksi pidana terkait dengan Pasal 9.
Dari empat pasal yang didakwakan, unsur kejahatan terhadap kemanusiaan, yaitu suatu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik, yang diketahui serangan itu ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, terpenuhi.
Meskipun demikian, tak terbukti pada unsur rantai komando atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer yang mengetahui atau atas dasar keadaan itu seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran HAM yang berat.
Baca juga: Prospek Penyelesaian HAM di Tahun Terakhir Jokowi
Tak terbukti pula pada unsur komandan militer atau seseorang tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan itu atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
Dalam unsur rantai komando, majelis hakim menilai, Isak Sattu yang saat kejadian menjabat sebagai perwira penghubung (pabung) Komando Distrik Militer (Kodim) 1705 Paniai di Kabupaten Paniai. Jabatannya sebagai perwira penghubung tidak memiliki kewenangan untuk mengeluarkan perintah langsung kepada anggota Koramil 1705-02 Enarotali. Danramil 1705-02 Enarotali bertanggung jawab kepada Dandim 1705/Paniai dikoordinasikan oleh Kepala Staf Komando Distrik Militer (Kasdim), bukan oleh perwira penghubung seperti Isak.
”Terdakwa juga tidak dapat dikatakan memiliki kekuasaan dan kewenangan de facto-nya yang begitu besar, dia mampu memerintahkan dan mengendalikan pasukan,” bunyi pertimbangan hakim.
Majelis juga menilai bahwa terdakwa tidak memiliki kualifikasi sebagai komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer dari pasukan atau anggota Koramil 1705-02 Enarotali. Karena salah satu unsur dari Pasal 42 Ayat (1) huruf a dan b Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM tidak terpenuhi, terdakwa dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran HAM berat.
Tidak terbuktinya unsur rantai komando sangat terkait dengan kekuatan bukti-bukti yang dibawa jaksa penuntut umum (JPU) ke pengadilan.
Kekuatan bukti
Terkait dengan tidak terbuktinya unsur-unsur pelanggaran HAM berat itu, peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) Raynov Tumorang berpadangan, tidak terbuktinya unsur rantai komando sangat terkait dengan kekuatan bukti-bukti yang dibawa jaksa penuntut umum (JPU) ke pengadilan. Ketika unsur kejahatan tak terbukti, artinya memang bukti yang dibawa ke pengadilan juga tidak mencukupi.
”Perlu ditelusuri lebih dalam apakah bukti itu tidak ditemukan saat penyelidikan dan penyidikan atau buktinya memang tidak ada sama sekali. Namun, kalau tidak ada sama sekali, mengapa kasus bisa dibawa ke pengadilan?” katanya, Rabu (18/1/2023).
Baca juga: Rekomendasi Terkait Pelanggaran HAM Berat Mulai Dijalankan Dua Bulan Lagi
Dia juga berpandangan bahwa dari sisi hukum acara, dengan tingkat kerumitan pembuktian kasus pelanggaran HAM berat, seharusnya diberi waktu yang leluasa untuk penyidik mengumpulkan bukti untuk maju di persidangan. Namun, seperti diatur Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, penyidik hanya diberi waktu selama 90 hari. Dalam waktu tiga bulan itu, menurut Raynov, waktunya masih kurang memadai untuk menyusun berkas dakwaan, keterangan saksi, dan bukti-bukti.
”Apakah waktu tiga bulan itu cukup untuk mengumpulkan bukti-bukti tindak pidana pelanggaran HAM berat? Kalau tidak cukup, berarti memang perlu ada revisi UU Pengadilan HAM,” lanjutnya.
Bukan prioritas
Anggota Komisi III dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani, menyampaikan, tidak semua permasalahan bisa ditarik pada solusi revisi UU, baik itu untuk memperkuat kewenangan Komnas HAM maupun mengubah hukum acara pengadilan HAM. Menurut dia, saat ini revisi UU Pengadilan HAM tidak menjadi prioritas dari Komisi III karena masih banyak legislasi lain yang belum rampung. Legislasi yang masuk dalam pembahasan prioritas adalah revisi RUU Narkotika, RUU Jabatan Hakim, RUU Kitab Hukum Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan RUU Hukum Perdata.
”Kalau untuk periode saat ini rasa-rasanya tidak memungkinkan untuk merevisi UU Pengadilan HAM. Itu bukan satu-satunya terobosan,” ungkapnya.
Baca juga : Pendataan Korban Pelanggaran HAM Berat Masih Terkendala
Menurut Arsul, lebih baik, Komnas HAM dan Kejagung memperbaiki koordinasi yang bisa difasilitasi oleh Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan. Panel ahli bisa dibuat untuk menjembatani perbedaan pemahaman, misalnya terkait proses penyelidikan dan penyidikan. Panel ahli dari luar bisa menilai secara obyektif apa kendala yang menghambat koordinasi antara Komnas HAM dan Kejagung selalu mentok.
Raynov juga sepakat terkait perbaikan koordinasi antara Komnas HAM selaku penyelidik, dan Kejagung selaku penyidik. Koordinasi penting terutama untuk memperkuat bukti-bukti agar pengadilan kasus pelanggaran HAM berat bisa membuktikan unsur-unsur pelanggaran HAM berat. Jika memang selama ini belum ada kesepahaman terkait itu, perlu dibangun komunikasi dan koordinasi ulang.
Dari sisi kewenangan, menurut dia, tidak ada masalah yang besar antara Komnas HAM dan Kejagung. Komnas HAM bisa meminta izin kepada Kejagung untuk melakukan upaya paksa, penggeledahan, dan pemeriksaan untuk melengkapi bukti penyelidikan. Langkah itu perlu ditinjau ulang apakah sudah pernah dilakukan atau belum oleh Komnas HAM. Jika sudah pernah, apa kendalanya? Apakah tidak mendapatkan izin dari penyidik atau bagaimana.
Menurut Arsul, lebih baik, Komnas HAM dan Kejagung memperbaiki koordinasi yang bisa difasilitasi oleh Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.
Adapun, di tingkat penyidikan, juga perlu dilihat apakah jaksa penuntut umum yang bertugas memang kompeten untuk menyatakan berkas sudah cukup atau belum dibawa ke pengadilan. Seharusnya, jaksa memahami bahwa untuk membawa ke pengadilan unsur-unsur pelanggaran HAM berat yang dirumuskan di UU Pengadilan HAM semuanya harus terpenuhi. Alat bukti yang diperlukan harus dilengkapi untuk memenuhi unsur-unsur itu agar terdakwa tidak bebas dari jerat hukum.
”Kalau melihat di persidangan Paniai, kami bertanya-tanya mengapa seorang perwira penghubung yang didakwa tunggal dalam persidangan ini. Jika memang bukti-bukti yang dimiliki Jaksa Agung tidak kuat mengapa yakin membawa kasus ke pengadilan. Ini membuat kami mempertanyakan kapasitas SDM di kejaksaan,” ungkapnya.
Baca juga: Presiden Akan Kunjungi Korban dan Terbitkan Inpres Penuhi Rekomendasi Tim PPHAM
Perbaikan koordinasi
Secara terpisah, Ketua Komisi Nasional HAM Atnike Nova Sigiro menyampaikan, di hadapan Presiden, dia meminta agar 12 kasus pelanggaran HAM berat yang telah diakui negara dan akan dilakukan penyelesaian non-yudisial, seperti yang direkomendasikan tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (PPHAM), tetap dapat diajukan untuk mekanisme yudisial. Proses hukum untuk kasus itu tetap harus berjalan.
Salah satu strateginya adalah mendorong prosedur penyelidikan dan penyidikan bisa efektif. Komnas HAM meminta difasilitasi oleh Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan untuk mencapai kesepahaman dalam aspek tersebut.
Komnas HAM berharap hasil penyelidikan yang sudah dilakukan tidak lagi terhenti atau bolak-balik dikembalikan ulang. Jika memang diperlukan, mekanisme prosedural untuk memperbaiki fungsi penyelidikan dan penyidikan, hal itu membutuhkan bantuan dari pemerintah untuk memfasilitasi. Komnas HAM pun tidak alergi jika memang masih ada kelemahan atau kekurangan yang perlu diperbaiki di berkas yang sudah diselidiki sebelumnya.
”Lembaga penyelidik, penyidik, dan peradilan, menurut kami, sama-sama memiliki kelemahan masing-masing. Di tingkat penyelidikan dan penyidikan, Komnas HAM seolah belum diakui sepenuhnya oleh Kejagung. Namun, kenapa ada kasus Paniai yang bisa dilimpahkan ke pengadilan? Ini harus dibicarakan ulang bersama Kejagung,” terangnya.
Adapun, dari sisi pengadilan HAM, kata Atnike, hukum acara yang digunakan masih menggunakan KUHAP yang terkadang tidak bisa menjangkau unsur-unsur pelanggaran HAM berat di UU Pengadilan HAM. Akibatnya, pelanggaran HAM berat terkadang dilihat hanya sebatas kejahatan biasa. Hal itu pula, lanjutnya, yang membuat terdakwa dalam kasus-kasus pelanggaran HAM berat kerap dibebaskan oleh pengadilan.
”Pemahaman mengenai pelanggaran HAM berat belum tertuang dalam prosedur hukum acara di persidangan. Ini yang kami minta juga dicarikan solusinya bersama pemerintah dan DPR,” ungkapnya.