Pendataan Korban Pelanggaran HAM Berat Masih Terkendala
Dalam ringkasan eksekutif rekomendasi Tim PPHAM yang diperoleh Kompas, Senin (16/1/2023) disebutkan, selama bekerja tiga bulan, tim kesulitan mencari dan memverifikasi data korban sehingga pendataan terkendala.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu (PPHAM) menyebutkan adanya kendala terkait pencarian dan verifikasi data korban 12 peristiwa pelanggaran HAM berat. Sejak 2015, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia telah mengeluarkan surat rekomendasi kepada 6.000 korban pelanggaran HAM berat. Jumlah korban diperkirakan melebihi itu.
Dalam ringkasan eksekutif rekomendasi Tim PPHAM yang diperoleh Kompas, Senin (16/1/2023), disebutkan, selama bekerja tiga bulan, tim kesulitan mencari dan memverifikasi data korban. Tantangan yang dihadapi di antaranya adalah tidak tersedianya data yang komprehensif mengenai korban, data yang ada terdistorsi, lembaga yang memiliki data pembanding tertutup, kurangnya kepercayaan korban terhadap negara, dan sensitivitas di kalangan korban karena tidak adanya pendampingan negara yang memadai.
Padahal, untuk menjalankan salah satu rekomendasi Tim PPHAM, yaitu memilihkan hak korban baik hak konstitusional maupun hak-hak sebagai warga negara, dibutuhkan data yang akurat. Oleh karena itu, tim juga meminta kepada pemerintah untuk mendata ulang korban.
Dikonfirmasi mengenai itu, Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro, Senin (16/1/2023), di Jakarta, menuturkan, pada 2015, sejumlah korban pelanggaran Ham berat meminta bantuan pelayanan medis kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). LPSK membutuhkan kejelasan status korban dan meminta surat rekomendasi dari Komnas HAM. Alhasil, Komnas HAM memproses permohonan surat keterangan korban pelanggaran HAM berat.
”Sudah lebih dari 6.000 surat yang dikeluarkan. Tidak semuanya mengajukan bantuan medis, tetapi juga untuk keperluan administrasi,” tuturnya.
”Sudah lebih dari 6.000 surat yang dikeluarkan. Tidak semuanya mengajukan bantuan medis, tetapi juga untuk keperluan administrasi”
Namun, menurut dia, 6.000 lebih surat yang telah dikeluarkan oleh Komnas HAM itu belum mencakup data riil korban pelanggaran HAM berat. Dia meyakini jumlah seluruh korban 12 peristiwa pelanggaran Ham berat lebih dari 6.000. Korban paling banyak terutama Peristiwa 1965-1966 dan Peristiwa Kerusuhan Mei 1998.
”Kami sudah bertemu dengan Presiden dan jajaran menteri di istana hari ini. Komnas HAM mendukung langkah yang dilakukan pemerintah sesuai kewenangan yang kami miliki. Namun, sepertinya secara teknis pihak pemerintah sedang mempersiapkannya,” katanya.
Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Hasto Atmojo Suroyo menambahkan, sejauh ini LPSK sudah memberikan perlindungan dan pelayanan terhadap 4.322 korban pelanggaran HAM berat masa lalu. Rinciannya, 4.062 orang merupakan korban langsung dan 260 sisanya adalah keluarga korban. Adapun jumlah terbanyak adalah korban atau keluarga korban peristiwa 1965-1966 dengan total 4.187 orang, disusul peristiwa Rumoh Geudong 1989 sebanyak 46 orang, (Kompas.id, 13 Januari 2023).
”LPSK melayani korban pelanggaran HAM berat yang mendapatkan rekomendasi dari Komnas HAM. Kami meyakini korban yang riilnya jumlahnya lebih dari itu,” ungkapnya.
Kendala yang ditemui di lapangan di antaranya adalah sensitivitas dari keluarga korban. Untuk korban Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985 misalnya, mereka enggan disebut sebagai korban karena sering distigma sebagai keluarga penjahat. Mereka tidak mau diekspos namanya karena sensitivitas itu.
Hasto mendukung rekomendasi dari Tim PPHAM untuk melakukan pendataan ulang jumlah riil korban pelanggaran HAM berat. Ini supaya program pemulihan yang dijanjikan oleh pemerintah tepat sasaran. LPSK juga mengaku siap jika diberi kewenangan oleh pemerintah untuk menjalankan pemulihan terhadap hak-hak korban pelanggaran HAM berat. Sebab, sejak 2012, mereka sudah melayani hal itu. Mulai dari rehabilitasi medis, psikologis, dan psikososial, menjadi pelayanan yang diberikan oleh LPSK.
”Lebih baik memperkuat fungsi LPSK untuk melayani korban. Jangan sampai ada lembaga baru yang malah tumpang tindih kewenangannya,” ucapnya.
Pendataan di Aceh
”Tujuan dari KKR Aceh berbeda dengan hasil penyelidikan Komnas HAM yang seharusnya ditindaklanjuti secara yudisial. Oleh karena itu, dia berkeyakinan, kinerja dari Tim PPHAM justru bertentangan dengan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM"
Syahrul dari LBH Banda Aceh mengatakan, khusus untuk tiga peristiwa pelanggaran HAM Berat yang terjadi di Aceh, yaitu Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989, Peristiwa Simpang KKA Aceh 1999, dan Peristiwa Jambo Keupok Aceh, pendataan korban sudah dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh. KKR Aceh dibentuk sebagai tindak lanjut dari nota kesepahaman (MoU) Helsinki, Finlandia, pada 2005. Pendataan korban oleh KKR Aceh dilakukan dari tingkat desa sehingga datanya bisa dipertanggungjawabkan akurasinya.
Namun, tujuan dari KKR Aceh adalah untuk merekonsilisasi korban. Menurut dia, tujuan dari KKR Aceh berbeda dengan hasil penyelidikan Komnas HAM yang seharusnya ditindaklanjuti secara yudisial. Oleh karena itu, dia berkeyakinan, kinerja dari Tim PPHAM justru bertentangan dengan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Penyelidikan oleh Komnas HAM dilakukan untuk kebutuhan proyustisia. Tanpa ada komitmen untuk mengadili pelaku dalam pengadilan HAM, impunitas atau kekebalan hukum akan terus berlanjut di Indonesia.
”Proses pemulihan korban dan mengadili pelaku adalah dua hal yang berbeda. Pemulihan korban tanpa menunggu putusan pengadilan adalah niat baik mengingat korban telah lama menunggu. Namun, jangan sampai itu digunakan untuk menyelesaikan kasus karena akan menjadi preseden buruk dalam penyelesaian kasus HAM berat di Indonesia. Seolah-olah negara bebas untuk melanggar HAM warga negara, setelah itu tinggal bayar,” kata Syahrul. (DEA)