Pelurusan sejarah dari pelanggaran HAM berat perlu dilakukan negara. Selain ungkap kebenaran, termasuk pelaku yang bertanggung jawab, pelurusan juga jadi pintu rekonsiliasi korban dan pelaku.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelurusan sejarah tak hanya dituntut oleh kelompok masyarakat yang memperoleh stigma dari peristiwa 1965-1966. Sebagian anak dari Pahlawan Revolusi juga menuntut hal serupa sehingga kebenaran terungkap, termasuk pihak yang bertanggung jawab. Dengan demikian, proses rekonsiliasi bisa berjalan.
Diakui Kejaksaan Agung, untuk membawa 12 peristiwa pelanggaran HAM berat, salah satunya peristiwa 1965-1966, itu ke pengadilan tidaklah mudah. Salah satunya, tak mudah bagi penyidik mengumpulkan alat bukti karena 12 peristiwa itu terjadi di masa lalu. Meski demikian, sebagian kalangan memandang, hal itu bisa diatasi jika Undang-Undang Pengadilan HAM direvisi sehingga bisa memecah kebuntuan selama ini.
Rianto Nurhadi, putra ketiga Mayor Jenderal MT Haryono, salah satu Pahlawan Revolusi ini, saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (13/1/2023), mengapresiasi pengakuan dan penyesalan pemerintah atas 12 peristiwa pelanggaran HAM berat yang sudah diselidiki oleh Komnas HAM. Pernyataan dari pemerintah itu dinilainya meneduhkan.
Namun, pernyataan itu tidak cukup. Pengungkapan kebenaran, siapa yang salah dalam peristiwa itu tetap harus diungkap. Apalagi, Indonesia adalah negara hukum sehingga harus diketahui siapa yang bertanggung jawab dalam peristiwa tersebut.
”Sampai sekarang, kami dari keluarga Pahlawan Revolusi masih bertanya-tanya, kenapa orangtua kami jadi korban. Kami masih penasaran apa yang terjadi sebenarnya. Negara memang harus meluruskan sejarah,” katanya.
Proses rekonsiliasi
Pelurusan sejarah itu, menurut dia, menjadi pintu untuk proses rekonsiliasi korban dan pelaku. Apalagi, katanya, negara ini tidak boleh memiliki beban sejarah yang tidak pernah tuntas. ”Demi persatuan dan keutuhan bangsa ke depan, beban sejarah itu harus diputus,” ujarnya.
Pelurusan sejarah juga menjadi salah satu poin rekomendasi Tim Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu secara Non-Yudisial (PPHAM). Dalam rekomendasi itu disebutkan, negara diharapkan menyusun ulang sejarah dan rumusan peristiwa sebagai narasi sejarah versi resmi negara yang berimbang seraya mempertimbangkan hak-hak asasi pihak yang menjadi korban peristiwa.
Saat menyatakan pengakuan dan penyesalan atas 12 peristiwa pelanggaran HAM berat, beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo juga menyatakan bahwa penyelesaian non-yudisial lewat pemulihan hak korban, tak menegasikan penyelesaian yudisial.
Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana mengatakan, apa yang menjadi perintah Presiden akan dilaksanakan Kejaksaan Agung. Pada 2021, Kejagung pun telah membuat Satuan Tugas (Satgas) Pelanggaran HAM Berat. Hasilnya, satu kasus pelanggaran HAM berat, yaitu Peristiwa Paniai, Papua, bisa disidangkan di pengadilan.
”Sampai saat ini, satgas masih bekerja dan memberikan masukan kepada Jaksa Agung tentang perkembangan dan solusi penyelesaian perkara HAM berat,” katanya.
Selama ini ada kendala hukum acara yang membuat perkara pelanggaran HAM berat sulit dibuktikan di pengadilan.
Menurut Ketut, salah satu kendala penyidikan kasus HAM berat adalah karena kasus-kasus tersebut bukan perkara mudah. Selain karena kejadian sudah lama, penyidik kesulitan mengumpulkan alat bukti untuk membangun konstruksi kasusnya. Penyidik tidak mau asal-asalan dalam menyidik dan ingin memastikan bahwa kasus yang disidik layak dan bisa dibuktikan di pengadilan.
Mantan Ketua Pelaksana Tim PPHAM Makarim Wibisono berpandangan, selama ini ada kendala hukum acara yang membuat perkara pelanggaran HAM berat sulit dibuktikan di pengadilan. Untuk itu, perlu ada revisi hukum acara di Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM agar pelaku mudah dijerat dengan bukti-bukti yang ada.
Hukum acara yang dimaksud salah satunya adalah terkait dengan perbedaan bukti-bukti yang harus dikumpulkan Komnas HAM selaku penyelidik, dan Kejagung sebagai penyidik. Perbedaan ini kerap membuat Komnas HAM merasa sudah selesai melaksanakan tugasnya. Ketika berkas dilimpahkan ke Kejagung, berkas perkara itu dinilai tidak memenuhi unsur formil dan materiil. Akibatnya, perkara tidak segera naik ke tahap penyidikan. Kejagung pun ragu jika dipaksakan disidangkan, para terdakwa akan divonis bebas.
”Suasana politik hukum saat pembuatan undang-undang dulu itu, kan, mungkin masih ada anak buah (Presiden) Soeharto yang tidak mau terjerat hukum sehingga hukum acaranya dibuat rumit yang membuat pelakunya sulit dijerat. Menurut saya, UU Pengadilan HAM perlu direvisi untuk mengubah hukum acaranya,” kata Makarim.
Hal itu, salah satunya, tergambarkan pada peristiwa Paniai. Terdakwa tunggal dalam perkara itu, Mayor (Purn) Isak Sattu, divonis bebas oleh majelis hakim. Menurut pertimbangan hakim, terdakwa sebagai perwira penghubung Komando Distrik Militer (Kodim 1705/Paniai) tidak terbukti melakukan kejahatan secara sistematik dan berdampak luas kepada masyarakat. Dia juga dinilai tak memiliki kewenangan secara rantai komando militer dalam peristiwa tersebut.