Pecah Kongsi dan Isu ”Reshuffle”
Keputusan Nasdem dukung Anies Baswedan sebagai bakal capres membuat hubungan Nasdem dan PDI-P makin tak harmonis. Merembet ke isu ”reshuffle”. Yang perlu diingat kepuasan publik sangat bergantung pada kinerja pemerintah.
Kabar kocok ulang komposisi menteri terus berembus hingga awal tahun 2023 ini. Presiden Joko Widodo disebut bakal mengganti menteri yang berasal dari salah satu partai koalisi karena mereka dianggap sudah tidak sejalan dalam sikap politik. Alasan kinerja diharapkan tidak dikesampingkan karena bagaimanapun ini menyangkut keberhasilan Jokowi mengakhiri masa pemerintahannya sampai 2024 mendatang.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Presiden Joko Widodo setidaknya sudah empat kali melempar sinyal akan merombak kabinetnya, yakni pada 13 Oktober 2022, 23 Desember 2022, 2 Januari 2023, dan 5 Januari 2023. Namun, di setiap kesempatan tersebut, jawaban Jokowi hanya singkat dan tidak membeberkan waktu pasti perombakan akan dilakukan. Terakhir, Jokowi menjawab santai pertanyaan wartawan, ”Besok. Ya besok, bisa Jumat, bisa Senin, bisa Selasa, bisa Rabu.”
Sinyalemen perombakan kabinet (reshuffle) ini tidak lama setelah Nasdem mendeklarasikan mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sebagai bakal calon presiden (capres) pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 mendatang. Keputusan Nasdem ini lantas memicu reaksi dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), partai pengusung sekaligus partai asal Presiden Jokowi.
Hubungan dua partai koalisi, PDI-P dan Nasdem, pun terlihat makin tak harmonis. Ketua DPP PDI-P Djarot Saiful Hidayat, dalam sebuah kesempatan, bahkan secara blak-blakan meminta Jokowi mengganti menteri-menteri dari Partai Nasdem. Selain atas dasar kinerja yang tidak sesuai target, pendeklarasian Anies juga menjadi alasan PDI-P meminta Nasdem meninggalkan koalisi saat ini.
Baca juga: Perombakan Kabinet untuk Efektivitas Pemerintahan
Staf Khusus Presiden, Aminuddin Ma’ruf, dalam acara Satu Meja The Forum bertajuk ”Pecah Kongsi, Menteri Diganti?” yang disiarkan Kompas TV, Rabu (11/1/2023) malam, mengatakan, sebagaimana disampaikan Presiden Jokowi, sebenarnya perombakan kabinet bisa terjadi kapan saja. Semua pihak sepakat bahwa itu adalah hak prerogatif presiden.
”Jadi, kemungkinan (perombakan kabinet) itu bisa kapan saja. Dan memang proses assessment (penilaian) itu selalu dilaksanakan oleh presiden terhadap anak-anak buahnya di kementerian, di menteri terutama. Sebab, suka atau tidak suka, menteri dan wakil menteri itu adalah jabatan politik yang selalu dinamis,” ujar Aminuddin.
Dalam acara yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo itu hadir sebagai narasumber Ketua DPP PDI-P Eriko Sotarduga, Ketua DPP Partai Nasdem Sugeng Suparwoto, dan Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya.
Perombakan kabinet bisa terjadi kapan saja. Semua pihak sepakat bahwa itu adalah hak prerogatif presiden.
Aminuddin mengungkapkan, proses asesmen terhadap para menteri terus berjalan. Semua indikatornya pun sudah jelas. Setidaknya ada dua, yakni pertimbangan kinerja dan pertimbangan politik.
Perspektif lain, alasan perombakan kabinet tidak hanya mengganti menteri, tetapi juga mengisi posisi yang kosong, contoh wakil menteri luar negeri. Apalagi, Indonesia ke depan mempunyai tantangan geopolitik yang begitu dinamis pasca-Presidensi G20. Tak hanya itu, pada tahun ini Indonesia juga menjadi Keketuaan ASEAN.
”Jadi, artinya based on-nya, pertama, kebutuhan untuk meningkatkan konsolidasi pemerintah untuk mewujudkan visi Presiden. Kedua, pertimbangan Presiden untuk mewujudkan kebutuhan tentang legacy beliau selama memimpin sampai 2024,” ucap Aminuddin.
Terlepas dari itu semua, pada prinsipnya, ada atau tidak ada reshuffle, itu merupakan kebijaksanaan Presiden. Pengambilan keputusan dipastikan melalui pertimbangan yang sangat matang, multiperspektif, serta menjunjung moral dan etik pemerintahan. ”Kalaupun ada atau tidak ada reshuffle, itu murni pertimbangan Presiden dengan kebutuhan pemerintahan yang beliau pimpin dan juga kebutuhan bangsa dan negara kita,” katanya.
Evaluasi menteri
Eriko Sotarduga berpandangan, buruknya kinerja sejumlah menteri dari Partai Nasdem patut menjadi penilaian Presiden Jokowi. Pertama, dari kinerja, ia mengkritik Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo yang justru membuka keran impor beras sebesar 200 ton. Jika tidak diantisipasi dengan baik, ini justru akan menyulitkan bangsa Indonesia, seperti inflasi yang tinggi dan kekurangan bahan pangan.
Kinerja Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar juga ikut dikritik. Eriko menyebut, ada tanah Perusahaan Umum (Perum) Perhutani seluas 2,4 juta hektar, tetapi setengahnya justru ditarik ke Kementerian LHK. Tak hanya itu, ada pula persoalan ketidakjelasan batas-batas perkebunan dan batas-batas tambang, yang ini dikhawatirkan dapat menimbulkan masalah di kemudian hari.
Selain soal kinerja, Eriko juga menyinggung persoalan politik. Ia mempertanyakan tujuan Nasdem yang justru mengusung bakal capres yang antitesis dari Jokowi. Jika Nasdem memang serius dengan langkah itu, sebenarnya tidak ada persoalan bagi Nasdem untuk mundur dari kabinet. ”Kami pernah mengalami jadi oposisi. Wajar-wajar saja. Bahkan setelah oposisi, kami menang,” kelakarnya.
Baca juga: Sinyal Perombakan Kabinet, Presiden Menunggu Menteri Nasdem Undur Diri
Namun, sebenarnya, menurut Eriko, ada satu hal lagi yang menjadi penilaian Presiden untuk mengganti menterinya, yakni masalah hukum. ”Saya tidak menyampaikan (ada menteri-menteri dari Nasdem diindikasikan terlibat masalah hukum) seperti itu. Tetapi, kan, penyebabnya, bisa terjadinya reshuffle karena (masalah hukum) itu. Sekali lagi bahwa (perombakan kabinet) ini adalah hak dan kewenangan Pak Jokowi,” ujarnya.
Ia menyadari, tujuan berpolitik adalah untuk mencapai kekuasaan. Namun, harus diingat bahwa ada hal-hal prinsip yang tidak boleh dilanggar dalam dunia politik. Artinya, jika dari awal semua sudah berkomitmen untuk berjalan bersama-sama, komitmen itu harus dijaga sampai akhir. Hal yang paling penting adalah memastikan keberhasilan pemerintahan Presiden Jokowi sampai akhir.
”Jadi, jangan juga memanfaatkan pada saat periodesasi ini kemudian ikut di dalam, tetapi pada akhirnya nanti juga akan berbeda. Kan, disampaikan juga oleh sekjen kami (Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto), kami memang tidak pernah ingin menusuk dari belakang. Nah, hal-hal seperti ini yang perlu kita jaga,” ucap Eriko.
Tujuan berpolitik adalah untuk mencapai kekuasaan. Namun, harus diingat bahwa ada hal-hal prinsip yang tidak boleh dilanggar dalam dunia politik.
Mengawal sampai akhir
Sugeng Suparwoto pun menegaskan bahwa tidak ada niatan sedikit pun dari Nasdem untuk menusuk dari belakang. ”Wong, ini presidennya yang kami calonkan. Bagaimana kami mengkhianatinya?” katanya. Sebagaimana diketahui, Nasdem merupakan partai pertama yang menyatakan dukungan terhadap Jokowi sebagai bakal capres pada Pilpres 2014 dan 2019.
Begitu pula pada Pilpres 2024, Nasdem mempunyai hak moral, etik, dan konstitusi untuk mencalonkan siapa pun pemimpin nasional. Sebab, itu adalah salah satu tugas partai, yakni rekrutmen kepemimpinan. Sebagaimana Nasdem mendukung Anies sebagai bakal capres pada pilpres mendatang, ini merupakan upaya Nasdem melahirkan calon pemimpin.
Adapun jika belakangan dikabarkan Nasdem akan berkoalisi dengan dua partai oposisi, yakni Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), itu menjadi sebuah fakta politik yang tak terhindarkan. Kebetulan, saat ini yang tersisa tinggal dua partai itu. Sebab, setidaknya, partai-partai lain sudah membentuk koalisi, seperti Koalisi Indonesia Bersatu yang merupakan gabungan dari Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Lalu, sudah ada pula Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya yang merupakan gabungan dari Partai Gerindra dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
”Padahal, kami tidak membatasi. Siapa pun bisa berkoalisi dengan Anies Baswedan. Artinya, Nasdem membuka diri dengan partai apa pun,” ujar Sugeng.
Ia menyatakan, Nasdem berkomitmen menyukseskan pemerintahan Jokowi sampai 2024. Karena itu, menteri-menteri dari Nasdem juga tidak pernah berpikir akan mundur dari jabatannya. Namun, semua diserahkan kepada hak prerogatif Presiden.
Jika pun nanti menteri-menteri dari Nasdem akhirnya diganti, Nasdem akan tetap mengawal pemerintahan Jokowi sampai 2024 dengan berbagai konsekuensi yang harus ditanggung. Hal tersebut juga menjadi komitmen Ketua Umum Nasdem Surya Paloh.
”Jadi, tidak ada keberatan apa pun. Mungkin unik, mungkin aneh. Tetapi, inilah etik politik yang sedang kami bangun. Ingat, konstitusi jelas, capres dan cawapres dicalonkan parpol dan gabungan parpol, dan dari awal Nasdem-lah yang mencalonkan Pak Jokowi dan KH Ma’ruf Amin, maka bertanggung jawab juga secara etik dan moral untuk mengantar suksesnya Pak Jokowi meskipun menterinya di-reshuffle,” tutur Sugeng.
Baca juga: Perombakan Kabinet dan Perimbangan Kekuasaan
Modal politik
Yunarto Wijaya mengungkapkan, wacana perombakan ini sebenarnya bermula dari survei yang dirilis Charta Politika pada akhir November 2022. Ditemukan, ada gap antara kepuasan publik terhadap kinerja Presiden dan kinerja kabinet. Gapnya bisa hampir 10 persen. Gap ketidakpuasan itu kemudian berlanjut dengan persetujuan publik terhadap reshuffle.
Hasil survei tersebut kemungkinan dikaitkan dengan momentum pendeklarasian Anies sebagai bakal capres oleh Nasdem. Artinya, tidak bisa dinafikan bahwa unsur politik dari perombakan kabinet ini sangat kuat. Padahal, menurut Yunarto, reshuffle harus tetap diartikan sebagai tata ulang kinerja kabinet.
Presiden memang mempunyai hak untuk melakukan reshuffle. Namun, dengan sisa waktu pemerintahan Jokowi, alangkah baiknya penilaian terhadap para menterinya bisa lebih condong ke bobot kinerja. Sebab, yang harus diingat, kapasitas tertinggi presiden adalah sebagai kepala pemerintahan, bukan kepala koalisi.
”Kalau Presiden hanya menggunakan variabel politik menjadi satu-satunya alasan, kapasitas dalam kepala pemerintahan itu menjadi turun. Bahwa bobotnya ada politik, ada variabel lain, itu tentu saja menjadi hak prerogatif Presiden. Tetapi, jangan sampai hanya pada bobot politik semata. Sebab, arti dari reshuffle bukan tata ulang koalisi,” tutur Yunarto.
Selanjutnya, ia berharap, PDI-P juga tidak hanya melemparkan kritik terhadap Nasdem atas dasar perbedaan sikap politik semata. Seharusnya semua perdebatan itu masuk ke definisi tata ulang kinerja. Alhasil, jika menteri diganti pun, bobotnya lebih pada kualitas dan perbaikan kinerja.
Untuk Nasdem, Yunarto sudah sering mengingatkan, persoalan sebenarnya bukan pada Anies. Namun, yang menimbulkan polemik adalah ketika nanti Nasdem akhirnya berkoalisi dengan dua partai oposisi. Jika itu dilakukan, artinya Nasdem sudah memilih bergabung dengan dua partai yang memiliki cara pandang berbeda tentang negara.
”Saya agak tetap tidak bisa membaca sebuah logika bahwa koalisi itu dilakukan dengan partai oposisi. Lalu, atas dasar apa berkoalisi dengan partai yang jelas-jelas sekarang berbeda, mulai dari urusan IKN (Ibu Kota Negara) berbeda, urusan BBM (bahan bakar minyak) berbeda? Artinya, kan, tidak ada yang selama ini digembar-gemborkan kesamaan platform, visi-misi. Jangan-jangan memang kepentingan politik pragmatis semata,” ucap Yunarto.
Semua ini kembali kepada Presiden Jokowi. Ketika Presiden Jokowi ingin menjadi king maker pada Pemilu 2024 mendatang atau minimal akan softlanding sebagai presiden dua periode, yang bisa menjadi modal utama keberhasilannya bukanlah kepiawaian, melainkan politik balas budi atau bagi-bagi kursi kepada partai-partai. ”Kalau approval rating (kepercayaan publik terhadap pemerintah) tinggi dan itu hanya bisa dilakukan melalui kinerja, itu sudah menjadi modal lebih dari cukup,” katanya.