OJK Perkuat Kapasitas untuk Jalankan Kewenangan Penyidik Tunggal
OJK diingatkan, kewenangan sebagai penyidik tunggal di sektor jasa keuangan bisa memunculkan sejumlah implikasi serius. Kewenangan itu diamanatkan oleh UU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.
Oleh
MAWAR KUSUMA WULAN
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Otoritas Jasa Keuangan atau OJK bakal memperkuat kapasitas internalnya untuk bisa menjalankan fungsi penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan. Kewenangan tersebut diamanatkan pada OJK pasca-pengesahan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.
”Tentu dalam penguatan terus ya, ini kan memang apa yang ada sekarang harus diperkuat dan koordinasi yang baik dengan Kapolri juga harus terus ditingkatkan dan dibangun,” ujar Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar ketika ditanya terkait penguatan infrastruktur pengawasan dari OJK seusai rapat internal bersama Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (12/1/2023).
Dalam Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan yang disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang oleh DPR, Desember lalu, khususnya Pasal 49 Ayat (5), menyebutkan, penyidikan atas tindak pidana di sektor jasa keuangan hanya dapat dilakukan oleh penyidik OJK.
Penyidik OJK terdiri dari pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil tertentu, dan pegawai tertentu yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
”Kalau di dalam UU itu, penyidik adalah kepolisian, PPNS (penyidik pegawai negeri sipil), dan dari yang tertentu yang dimaknai dari OJK, itu sebagai satu kesatuan untuk koordinasinya dilakukan di dalam OJK oleh pihak yang akan ditetapkan nanti di dalam undang-undang,” tambah Mahendra.
Mahendra menegaskan bahwa perkuatan di lingkup internal OJK terus dilakukan, terutama untuk meningkatkan kemampuan para penyidik.
”Dan tentu kemampuan juga untuk membangun proses kapasitas untuk meningkatkan efektivitas dalam penyidikan secara cepat dan enforcement-nya secara lebih terkoordinasi karena ini berada di dalam satu institusi,” katanya.
Peneliti Pusat Studi Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Samarinda, Herdiansyah Hamzah, mengingatkan, ada beberapa implikasi serius yang bisa muncul dari kewenangan baru OJK itu.
Kewenangan sebagai penyidik tunggal memunculkan potensi konflik, pilih-pilih kasus, dan abuse of power yang sangat besar.
Problem utama lain yang bakal muncul adalah tidak adanya desain pengawasan yang memadai untuk mengontrol kewenangan penyidik tunggal tersebut. ”Meminjam istilah Mauro Cappelletti, who will watch the watcher (siapa yang akan mengawasi pengawas)? Ini yang membuka ruang abuse of power, cherry picking kasus, serta potensi conflict of interest,” ujar Herdiansyah.
Karena itu, penting bagi pembentuk undang-undang untuk mengevaluasi kewenangan penyidik tunggal itu. ”Revisi penting untuk dilakukan, khususnya mengenai penyidik tunggal itu,” katanya.
Revisi UU ini tetap diperlukan walaupun unsur penyidik OJK nantinya terdiri dari penyidik kepolisian, PPNS, dan pegawai tertentu. ”Frasa atau ketentuan ’penyidik tunggal’ itu yang akan berimplikasi serius terhadap penanganan perkara kejahatan sektor keuangan,” kata Herdiansyah.