Kewenangan OJK sebagai Penyidik Tunggal Jasa Keuangan Buka Celah Penyelewengan
UU PPSK amanatkan OJK jadi satu-satunya lembaga yang bisa menyidik tindak pidana di jasa keuangan. Ombudsman RI memandang, kewenangan itu rawan timbulkan penyelewengan. Sebab, sebagai regulator, OJK juga jadi eksekutor.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
ADRYAN YOGA PARAMADWYA
Anggota DPR bertepuk tangan setelah pengesahan RUU tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK) dalam rapat paripurna di Gedung Parlemen, Jakarta, Kamis (15/12/2022). DPR menggelar Rapat Paripurna DPR RI ke-13 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2022-2023. Dalam rapat ini, DPR mengesahkan RUU tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK), RUU tentang Pengesahan Perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Singapura tentang Ekstradisi Buronan, serta Prolegnas Prioritas 2023.
JAKARTA, KOMPAS — Ombudsman RI memandang pemberian kewenangan kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagai satu-satunya lembaga yang kewenangan menyidik sektor jasa keuangan akan rawan terjadinya tindak pidana korupsi. Agar sistem penegakan hukum bebas dari korupsi, perlu ada lembaga lain yang berperan sebagai penyidik yang tujuannya menjadi pembanding. Dengan demikian, bisa terjadi keseimbangan dan sinergi.
Pasal 49 Ayat (5) Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK) menyebutkan, penyidikan atas tindak pidana di sektor jasa keuangan hanya dapat dilakukan oleh penyidik Otoritas Jasa Keuangan.
Anggota Ombudsman RI (ORI), Indraza Marzuki Rais, mengatakan, kewenangan yang dimonopoli akan berpotensi terjadi penyelewengan. Ia pun mempertanyakan mengapa penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan hanya dapat dilakukan oleh penyidik Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
”Itu apakah ada potensi (korupsi)? Betul, ada potensi. Ada membuat peluang bahwa mereka bisa menyalahgunakan kewenangan karena mereka hanya sendiri. Ditambah lagi OJK itu adalah regulator. Masa regulator jadi eksekutor juga. Fungsinya agak aneh. Dia membuat regulasi nanti dia yang menyidik sendiri, dia yang menindak sendiri,” kata Indraza saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (7/1/2023).
Menurut Indraza, apabila penyidikan hanya dilakukan oleh tunggal, maka ada potensi konflik kepentingan. Ketika ada orang yang bermasalah, maka kewenangan tersebut bisa disalahgunakan. Sebab, aparat penegak hukum lain tidak bisa menyeimbangkan dalam pemeriksaan.
Ia menegaskan, kewenangan OJK sebagai penyidik tunggal pada sektor jasa keuangan bisa menjadi tumpang tindih. Selain OJK, seharusnya aparat penegak hukum seperti kepolisian, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan kejaksaan juga bisa melakukan penyidikan. Indraza mengingatkan, kejahatan yang paling besar dan sangat berbahaya ada di sektor keuangan.
OJK selama ini belum independen sehingga sangat berisiko melepas mereka menjadi penyidik tunggal.
Anggota ORI, Johanes Widijantoro, menambahkan, OJK selama ini belum independen sehingga sangat berisiko melepas mereka menjadi penyidik tunggal. Di sisi lain, kasus-kasus kejahatan sektor keuangan terus terjadi. Fungsi regulator dan pengawasan dalam tubuh OJK mestinya dipisahkan. Selama ini OJK masih terbelenggu dengan keberadaan lembaga-lembaga pengawas sektoral. Penyidikan tindak pidana sektor keuangan idealnya dilakukan secara kolaboratif dengan kepolisian.
Mantan penyidik KPK, Yudi Purnomo, menolak pemberian kewenangan kepada OJK sebagai penyidik tunggal di sektor jasa keuangan seperti yang termuat dalam UU PPSK. Yudi mengatakan, akan sangat rawan terjadi tindak pidana korupsi ketika terjadi kewenangan yang absolut seperti yang diberikan kepada OJK sebagai penyidik tunggal dalam melakukan penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan.
Penyidik KPK, Yudi Purnomo, menunjukkan kartu pegawai KPK saat keluar dari Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (16/9/2021). Jelang pemberhentiannya sebagai pegawai KPK per 30 September 2021 , Yudi mulai membawa pulang barang-barang pribadinya. Yudi merupakan satu dari 57 pegawai KPK yang tidak memenuhi syarat (TMS) berdasarkan hasil tes wawasan kebangsaan. Mereka, per 30 September 2021, diberhentikan sebagai pegawai KPK.
”Hal ini membuat perusahaan, lembaga, atau orang-orang yang berkecimpung di sektor keuangan akan sangat takut kepada penyidik OJK yang dapat berpotensi terjadinya penyalahgunaan wewenang karena tidak ada lembaga atau institusi lain yang bisa menyidik kasus dalam sektor jasa keuangan,” kata Yudi.
Menurut Yudi, dengan lahirnya UU PPSK, OJK menjadi otoritas tunggal yang berfungsi sebagai regulator, pengawas, sekaligus melakukan penyidikan di bidang jasa keuangan. Dengan kewenangan yang sangat besar bertumpu pada satu lembaga, maka berpotensi terjadi penyalahgunaan wewenang dan tindak pidana korupsi seperti suap, pemerasan, hingga gratifikasi.
Keseimbangan
Agar sistem penegakan hukum bebas dari korupsi, menurut Yudi, perlu ada pembanding agar terjadi keseimbangan dan sinergi dalam penegakan hukum. Dalam penegakan hukum korupsi, misalnya, KPK tidak diberikan kewenangan sebagai penyidik tunggal karena kepolisian dan kejaksaan juga bisa menyidik kasus korupsi.
Bahkan, kewenangan KPK dalam penyidikan dibatasi hanya menangani perkara terkait penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang terkait penegak hukum serta penyelenggara negara. KPK juga dibatasi pada kasus dengan kerugian di atas Rp 1 miliar.
”Dengan tiga lembaga yang bisa menyidik kasus korupsi, hasilnya terlihat bahwa kasus-kasus besar bisa ditangani. Bahkan, di antara tiga lembaga juga saling bersinergi dalam bentuk koordinasi supervisi dan bisa terjadi pelimpahan penanganan perkara korupsi,” kata mantan Ketua Wadah Pegawai KPK tersebut.
Oleh karena itu, kata Yudi, seharusnya penyidikan sektor jasa keuangan tetap ada di institusi lain seperti kepolisian dan kejaksaan. Sebab, maraknya kejahatan di sektor keuangan belakangan ini membutuhkan sinergi banyak institusi penegak hukum untuk memberantasnya.
Seharusnya penyidikan sektor jasa keuangan tetap ada di institusi lain seperti kepolisian dan kejaksaan.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, UU PPSK merupakan bentuk keseriusan pemerintah dan DPR dalam melaksanakan reformasi sektor keuangan. ”Reformasi sektor keuangan Indonesia merupakan prasyarat utama untuk membangun perekonomian Indonesia yang dinamis, kokoh, mandiri, sustainable, dan berkeadilan,” kata Sri Mulyani melalui keterangan tertulis.
UU PPKS mengatur lima hal yang sangat krusial bagi reformasi sektor keuangan, yaitu penguatan kelembagaan otoritas sektor keuangan dengan tetap memperhatikan independensi; penguatan tata kelola dan peningkatan kepercayaan publik; mendorong akumulasi dana jangka panjang sektor keuangan untuk kesejahteraan dan dukungan pembiayaan pembangunan yang berkesinambungan; perlindungan konsumen; serta literasi, inklusi dan inovasi sektor keuangan.
Wakil Ketua Komisi XI DPR Dolfie Othniel Frederic Palit (kiri) menyerahkan laporan terkait RUU tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK) kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani (kanan tengah) saat rapat paripurna di Gedung Parlemen, Jakarta, Kamis (15/12/2022). DPR menggelar Rapat Paripurna DPR RI ke-13 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2022-2023. Dalam rapat ini, DPR mengesahkan RUU tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK), RUU tentang Pengesahan Perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Singapura tentang Ekstradisi Buronan, serta Prolegnas Prioritas 2023.
Kompas sudah meminta tanggapan kepada Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Mirza Adityaswara terkait kewenangan OJK sebagai penyidik tunggal dalam tindak pidana di sektor jasa keuangan tersebut, tetapi tidak direspons.