Konstelasi Partai Politik Sangat Dinamis
Delapan parpol parlemen kompak menyatakan menolak wacana pemberlakuan sistem pemilu proporsional tertutup. Mereka menegaskan penolakan ini sebagai komitmen menjaga demokrasi Indonesia.
- Delapan parpol parlemen, baik anggota koalisi pendukung pemerintah maupun non-anggota koalisi, menolak sistem pemilu proporsional tertutup.
- Hal ini dinilai analis politik menunjukkan konstelasi antarparpol di Indonesia sangat dinamis.
- Parpol yang diuntungkan dengan sistem proporsional tertutup ialah parpol besar dan memiliki tokoh nasional.
JAKARTA, KOMPAS — Sikap delapan partai politik parlemen yang kompakmenyuarakan penolakan wacana pemberlakuan sistem pemilu proporsional tertutup pada Pemilu 2024 menandakan relasi parpol amat dinamis. Bersatunya delapan parpol anggota koalisi pendukung pemerintah ataupun parpol nonkoalisidinilai analis politik menunjukkan mereka punya kepentingan yang sama karena merasa sistem proporsional tertutup tak menguntungkan.
Pada Minggu (8/1/2023),pucuk pimpinan tujuh parpol parlemen hadir di Hotel Dharmawangsa, Jakarta, membahas penolakan sistem pemilu proporsional tertutup. Tujuh parpol itu ialah Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa, Nasdem, Demokrat, Partai Amanat Nasional, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Persatuan Pembangunan. Adapun pucuk pimpinan Gerindra tidak hadir, tetapi menyatakan sepakat dengan poin penolakansistem proporsional tertutup.
Dari sembilan parpol parlemen, PDI Perjuangan memiliki sikap berbeda. PDI-Pmenyatakan mendudung sistem proporsional tertutup.
Adapun wacana penerapan kembali sistem pemilu proporsional daftartertutup muncul seiring dengan adanya uji materi Pasal 168 Ayat (2) UU No 7/2017 tentang Pemilu. MK menjadwalkan sidang lanjutan dengan agenda mendengarkan keterangan DPR, Presiden, dan pihak terkait pada 17 Januari 2023.
Menjaga demokrasi
Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto menyebutkan, pertemuan antardelapan partai ini akan rutin dilakukan untuk mengawal hingga wacana sistem proporsional tertutup bisa dihentikan dan tidak diberlakukan. Sistem proporsional terbuka dinilai lebih baik karena merupakan perwujudan demokrasi di mana rakyat mengetahui calon pemimpin yang akan dipilihnya.
”Kami menolak sistem ini (proporsional tertutup) sebagai komitmen menjaga demokrasi Indonesia” katanya.
Pemberlakuan sistem proporsional tertutup dinilainya bisa menyebabkan kemunduran demokrasi Indonesia. Sistem proporsional terbuka juga dinilai efektif karena sudah dipakai dalam tiga kali pemilu, dan juga sesuai dengan amanatputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU 6/2008.Para petinggi parpol juga meminta KPU fokus menyelenggarakan tugasnya dengan tetap netral dan independen sesuai hukum yang berlaku.
Baca juga: Hasto Kristiyanto: Pertemuan Delapan Parpol Bagian Tradisi Demokrasi
Pemberlakuan sistem proporsional daftar tertutup juga dinilai tidak tepat karena pemerintah sudah menetapkan anggaran untuk Pemilu 2024, dan KPUsudah menetapkan tahapan penyelenggaraan pemilu sesuai kesepakatan bersama.Airlangga juga mengingatkan, Pemilu 2024 perlu diselanggarakan secara sehat agar adanya stabilitas politik, keamanan, dan, ekonomi.
Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar sepakat dengan pernyataan Airlangga. PKB meminta agar KPU konsisten dengan dengan agenda dan jadwal pemilu yang telah ditetapkan sebelumnya. ”Rencana, tahapan, dan anggarannya sudah ada. Lebih baik semua berjalan seperti agenda nasional yang sudah ditetapkan,” katanya.
Baca juga: Delapan Parpol Parlemen Kompak Tolak Perubahan Sistem Pemilu
Sementara itu, Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyonomengatakan, sedari awal, partainya tegas menolak pemberlakuan sistem tertutupkarena merupakan wujud pelemahan demokrasi.
Presiden Partai Keadilan Sejahtera Ahmad Syaikhu juga menegaskan, implementasi sistem tertutup merupakan sebuah kemunduran bagi penyelenggaraan pemilu dan demokrasi. Ia mengajak setiap pihak mengakhiri keraguan terhadap sistem yang digunakan hari ini, dan memintapenyelenggara pemilu bisa melaksanakan pesta demokrasi ini dengan independen dan adil.
Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan menyebut sistem proporsional terbuka sudah teruji di tiga pemilu sebelumnya. Pemberlakuan sistem baru juga dapat merusak fokuspartai yang kini sedang dalam tahap menyaring calon anggota legislatif yang hendak diusung.”Kami menolak keras ada sistem tertutup. Kita harusnya sesuai jadwal saja. Caleg sudah mulai disusun. Bayangkan kalau itu harus mundur lagi,” tuturnya.
Saat dihubungi, Wakil Ketua Umum Gerindra Sufmi Dasco Ahmad menegaskan, meski wakil partainya tak hadir dipertemuan ini, Gerindra sepakat dengan poin penolakan yang disampaikan tujuh partai lain. Gerindra menganggap rakyatlah yang memiliki kuasa memilih wakilnya, bukan partai. Adapun ketidakhadiranGerindra karena beberapa petinggi sudah punya agenda lain.
Di tempat terpisah,Sekretaris Jenderal DPP PDI-P Hasto Kristiyanto menghormati pertemuan delapan pemimpin parpolyang dilangsungkan di Hotel Dharmawangsa. Dia menyebutnya sebagai bagian dalam tradisi demokrasi di Indonesia.
Terkaitdukungan PDI-P terhadap sistem proporsional tertutup, Hasto menegaskan bahwa hal itu telah diputuskan di dalam kongres yang didasarkan pada kajian yang matang mengenai sistem proporsional tertutup. Adapun terkait upaya uji materi di MK, Hasto menyatakan, PDI-P tidak memiliki keadaan untuk memenuhi syarat melakukan uji materi di MK. Oleh karena itu, ia memastikan PDI-P akan menghormati apa pun putusan MK.
”Yang perlu disadari bersama, judicial review yang merupakan ranah MK itu untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Itu yang diuji, bukan untuk menguji opini, melainkan menguji undang-undang terhadap konstitusi kita,” tuturnya.
Konstelasi parpol dinamis
Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Jakarta Arya Fernandes mengatakan, konstelasi antarparpol di Indonesia sangat dinamis. Di satu kesempatan, parpol bisa berbeda misalnya dalam memilih koalisi. Namun, dalam hal lain, seperti perihal sistem pemilu, mayoritas satu suara untuk menolak kembalinya sistem proporsional tertutup.
”Kalau berdampak pada hidup matinya partai, semua parpol bisa bertemu karena menyangkut eksistensi masa depan partai, kebutuhan partai untuk bertahan di parlemen, dan meraih suara sebanyak-banyaknya,” ujarnya di Jakarta, Minggu (8/1/2023).
Sebelumnya, delapan parpol parlemen, kecuali PDI-P, menyatakan sikapnya untuk menolak sistem proporsional tertutup. Selain membuat pernyataan bersama, pimpinan kedelapan parpol bertemu untuk menyatakan penolakan mereka terhadap sistem pemilu tersebut.
Arya menuturkan, bersatunya delapan parpol menunjukkan ada kepentingan yang sama dalam bertahan hidup. Parpol-parpol tersebut menyadari bahwa secara elektoral, sistem proporsional tertutup tidak menguntungkan perolehan suara mereka. Maka, jika diterapkan, bisa berdampak pada penurunan suara parpol-parpol tersebut.
Selain itu, parpol juga menyadari bahwa dalam sistem proporsional tertutup, kerja-kerja parpol menjadi lebih berat. Parpol menjadi tumpuan utama dalam melakukan sosialisasi, membangun citra, dan membangun infrastruktur partai untuk pemenangan. Padahal, selama ini, kerja-kerja partai tersebut sangat bergantung pada kader atau calon anggota legislatif yang akan bertarung di pemilu.
Terlebih, lanjut Arya, sisa waktu sekitar satu tahun menjelang pemungutan suara 14 Februari 2024, hampir semua parpol sudah mempersiapkan pemenangan. Jika terjadi perubahan sistemis, terutama metode pemberian suara, parpol tidak cukup waktu untuk beradaptasi. ”Kondisi ini bisa memaksa parpol mengubah strategi sehingga membuat penolakan sistem proporsional tertutup semakin kencang,” katanya.
Sementara bagi PDI-P, Arya menilai, akan diuntungkan jika kembali ke sistem proporsional tertutup. Sebagai partai kader, usaha yang dibutuhkan untuk meraih suara di sistem proporsional tertutup lebih mudah dibandingkan partai massa. Sebab, mereka tidak menggantungkan suara hanya dari tokoh ataupun calon anggota legislatif dalam mendapatkan suara.
Melihat hasil di Pemilu 1999 saat menggunakan sistem proporsional tertutup, PDI-P menjadi partai pemenang pemilu dengan perolehan suara 33,74 persen. Pada Pemilu 2019, pemilih PDI-P yang mencoblos tanda gambar juga mencapai 27 persen atau sekitar 7,2 juta dari total 17 juta suara. ”Ini membuat PDI-P percaya diri bahwa sistem proporsional tertutup akan memberikan benefit,” ujar Arya.
Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia Djayadi Hanan mengatakan, parpol yang diuntungkan dengan sistem proporsional tertutup adalah parpol besar dan memiliki tokoh nasional karena bisa memopulerkan parpol ke pemilih. Sebab, saat ini, pengaruh tokoh parpol cukup tinggi dalam menentukan preferensi pemilih.
Sebaliknya, parpol kecil yang tidak memiliki tokoh besar akan lebih sulit berkompetisi. Mereka tidak bisa hanya bermodalkan tokoh lokal sebagaimana cukup efektif digunakan di sistem proporsional terbuka karena mampu menarik pemilih di daerah pemilihan. Jika nama tokoh lokal tidak ada di kertas suara, tak ada yang bisa diasosiasikan untuk memopulerkan parpol.
”Kalau kembali ke proporsional tertutup, perolehan suaranya bisa tergambar dari hasil survei elektabilitas parpol karena perilaku pemilih berdasarkan popularitas parpol,” tutur Djayadi.