Setelah bertemu dan beraudiensi dengan korban 12 peristiwa pelanggaran HAM berat, Tim PPHAM sudah menyelesaikan rekomendasi akhir. Tim berencana menyerahkan rekomendasi kepada Menko Polhukam pada Kamis ini.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setelah bekerja selama lebih kurang tiga bulan, Tim Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat akan menyerahkan berkas rekomendasi kepada pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD. Secara umum, rekomendasi akan berisi permintaan pengakuan negara atas peristiwa pelanggaran HAM berat di masa lalu dan rehabilitasi korban berupa bantuan sosial.
Ketua Pelaksana Tim Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran HAM Berat (PPHAM) Makarim Wibisono dihubungi dari Jakarta, Rabu (28/12/2022), mengatakan, setelah bertemu dan beraudiensi dengan korban 12 peristiwa pelanggaran HAM berat, rekomendasi akhir juga sudah selesai disusun. Tim tinggal mengecek ulang kesalahan tik pada laporan.
Adapun pada Selasa (27/12/2022), Tim PPHAM sempat beraudiensi dengan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dan ulama NU di Surabaya, Jawa Timur. Mereka membahas peristiwa 1965-1966 serta konflik NU dan Partai Komunis Indonesia. NU menerima model penyelesaian nonyudisial sejauh tidak mengorek luka lama (Kompas, 28/12/2022).
Tiga bulan terakhir anggota Tim PPHAM telah membagi tugas untuk menemui korban 12 peristiwa pelanggaran HAM berat. Selain peristiwa 1965-1966, juga, antara lain, peristiwa penembakan misterius 1982-1984, Rumah Geudong pada era Daerah Operasi Militer Aceh 1989-1998, Talangsari 1989, Trisakti 1998, Semanggi I dan II, kerusuhan Mei 1998, Simpang KAA 1999, pembunuhan dukun santet di Banyuwangi 1999, Wasior 2001, Wamena 2003, dan Jambo Keupok Aceh 2003.
Menurut Makarim, jika sesuai jadwal dan tidak ada perubahan, rekomendasi akan diserahkan kepada Menko Polhukam pada Kamis (29/12/2022). Sebab, masa tugas Tim PPHAM akan berakhir pada 31 Desember 2022.
Kompas mendapat informasi salah satu poin penting dari rekomendasi Tim PPHAM adalah permintaan dari korban untuk pengakuan dari negara atas peristiwa tersebut. Korban sudah sekian lama merasakan penderitaan dan diskriminasi akibat pelanggaran HAM berat masa lalu, tetapi belum pernah ada pengakuan dari negara. Selain itu, poin lain dalam rekomendasi juga memberi pendidikan atau penanaman nilai-nilai universal HAM kepada instrumen pertahanan dan keamanan negara, yaitu TNI dan Polri.
Saat dikonfirmasi soal isi rekomendasi, Makarim tidak membenarkan dan membantahnya. Dia mengatakan hal itu sudah masuk substansi rekomendasi yang harus terlebih dahulu disampaikan kepada Presiden.
”Nanti jika sudah dibaca Presiden, pasti kami sampaikan rekomendasi-rekomendasinya. Yang jelas, isinya sama dengan yang ada di Keppres 17/2022 (tentang Pembentukan Tim PPHAM),” katanya.
Makarim menyebut, secara umum, Tim PPHAM bertugas memberi saran penyelesaian nonyudisial kasus pelanggaran HAM berat yang ditetapkan Komnas HAM sampai dengan tahun 2020.
Tim juga akan merekomendasikan pemulihan bagi korban dan keluarga. Tak kalah penting, tim juga akan merekomendasikan upaya pencegahan agar pelanggaran HAM berat tak terulang.
”Dengan upaya pengungkapan dan penyelesaian nonyudisial, Tim PPHAM akan merekomendasikan pemulihan korban dan agar peristiwa tidak terulang kembali. Pengungkapan kasus pelanggaran HAM berat itu dengan cara mengungkap latar belakang, sebab akibat, faktor pemicu, identifikasi korban, dan dampak yang ditimbulkan,” katanya.
Langkah maju
Staf Kajian dan Advokasi di Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara Christian Rahmat berpandangan, jika benar ada rekomendasi pengakuan negara dari Tim PPHAM, itu merupakan sebuah langkah maju. Namun, hal itu akan sangat bergantung pada niat baik pemerintah menindaklanjuti rekomendasi itu. Jika negara tidak mau mengakui kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu, hal itu tak akan berdampak pada pengungkapan kebenaran dan upaya rekonsiliasi korban.
Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar menambahkan, keseluruhan proses yang dilakukan Tim PPHAM termasuk rekomendasi yang dihasilkan tidak boleh menyimpang dari prinsip-prinsip dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu. Prinsip-prinsip itu meliputi keadilan transisional, negara hukum, HAM, dan reparasi korban.
Tim juga harus menegaskan bahwa penyelesaian nonyudisial tidak akan menggantikan langkah-langkah yudisial yang berlangsung di Komnas HAM meskipun realitanya, sampai saat ini, penyidikan kasus pelanggaran HAM berat masih mandek di Kejaksaan Agung. Adapun proses hukum di pengadilan juga belum mampu memberi keadilan bagi korban. Terbaru, vonis kasus Paniai justru membebaskan terdakwa tunggal dalam peristiwa itu.
Menurut dia, penyelesaian nonyudisial sifatnya hanya melengkapi mekanisme penyelesaian secara hukum di pengadilan. Hasil rekomendasi dari Tim PPHAM seharusnya bisa mendesak negara untuk memberikan pengakuan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM di masa lalu. Setelah itu, baru bisa bergerak ke langkah reparasi atau pemulihan yang bisa dilakukan oleh negara. Hal itu bisa dilakukan dalam bentuk permintaan maaf atau penyesalan resmi negara karena telah membiarkan peristiwa pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Setelah itu, kata dia, baru bisa berbicara tentang pemulihan hak korban secara fisik, bantuan sosial, jaminan kesehatan, beasiswa, ataupun rekomendasi lainnya untuk korban dan keluarganya.