Presiden Jokowi Kembali Beri Sinyal Perombakan Kabinet
Perombakan kabinet diharapkan bukan sekadar tata ulang koalisi. Tapi lebih besar dari itu, ”reshuffle” sebagai tata ulang dari kinerja pemerintahan.
Oleh
MAWAR KUSUMA WULAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Presiden Joko Widodo kembali melempar sinyal tentang kemungkinan akan adanya perombakan kabinet (reshuffle). Analis politik menyampaikan, secara umum, masyarakat mendukung perombakan kabinet, tetapi hal ini perlu dilakukan untuk kepentingan menata ulang kinerja, bukan menata ulang koalisi.
Sinyal untuk merombak kembali Kabinet Indonesia Maju disampaikan Presiden Jokowi saat ia ditanya wartawan saat memberi keterangan pers seusai meresmikan Stasiun Manggarai Tahap I di Jakarta, Senin (26/12/2022). ”Clue-nya (tangan bentuk O) ya sudah,” ujar Presiden Jokowi menanggapi pertanyaan bertubi-tubi tentang perombakan kabinet.
Ketika pertama kali pertanyaan tentang perombakan kabinet dilontarkan, Presiden beberapa kali hanya menjawab dengan kata ”heee” seperti tidak mendengar isi pertanyaan. Presiden juga sempat mencondongkan badannya ke depan ke arah para wartawan untuk menyimak pertanyaan. Ketika ditanya ulang dengan suara lebih keras tentang reshuffle, Presiden lantas menjawab, ”Ya, denger.”
Pada saat diberondong dengan pertanyaan apakah perombakan kabinet tersebut akan mengganti beberapa menteri, Kepala Negara hanya tersenyum sambil beberapa kali berkata, ”Heee? Heee?”
Sebelumnya, ketika ditanya wartawan apakah perombakan kabinet masih memungkinkan dilakukan, Presiden Jokowi mengatakan reshuffle masih mungkin dilakukan. ”Mungkin,” ujarnya dalam keterangan pers seusai meresmikan Bendungan Ciawi dan Sukamahi di Bogor, Jumat (23/12/2022). Ketika ditanya apakah reshuffle akan dilakukan awal tahun depan, Kepala Negara menjawab, “Ya, nanti.”
Survei yang diselenggarakan Charta Politika pada 6-18 Desember 2022 juga menunjukkan 61,8 persen responden menyatakan setuju apabila Presiden merombak kabinet. Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya, dihubungi Senin (26/12/2022), menyebutkan, masyarakat setuju adanya reshuffe dan Presiden tidak punya beban karena tidak akan maju kembali dalam pemilihan presiden mendatang. ”Catatan kritis buat Presiden, saya berharap Presiden mengartikan reshufflle ini bukan sekadar tata ulang koalisi. Tapi lebih besar dari itu, reshuffle sebagai tata ulang dari kinerja,” katanya.
Menurut Yunarto, yang paling penting bagi masyarakat adalah bagaimana kinerja pemerintahan yang ujung tombaknya adalah para menteri. ”Sisa waktu, katakanlah tidak sampai dua tahun, bisa meninggalkan legacy yang baik, apalagi Presiden sendiri sudah mengatakan tahun 2023 tahun yang lebih berat, tantangannya lebih banyak,” ujarnya.
Artinya, lanjutnya, Presiden harus lebih selektif dan ketat menilai menteri yang bisa bekerja dan tidak bisa bekerja. Presiden juga diminta menempatkan dirinya dalam konteks sosok yang dipilih rakyat bukan sekadar pemimpin koalisi. “Jadi, makna tata ulang kinerja ini harusnya lebih besar dari tata ulang koalisi,” kata Yunarto
Yunarto berharap partai politik juga bisa memberikan masukan mengenai menteri mana yang layak diganti. Masukan ini bukan hanya berdasarkan perbedaan sikap politik. Parpol bisa memanfaatkan kader mereka yang duduk di DPR dan berbagai sektor untuk memberikan data tentang menteri yang kinerjanya baik atau buruk. Masukan tersebut dinilai akan lebih berkualitas dibandingkan sekadar perbedaan sikap politik antarpartai.
Saat ini, Partai Nasdem menjadi parpol yang saat ini paling banyak dikaitkan dengan sinyal reshuffle maupun kolasi. Jika Nasdem mendeklarasikan koalisi dengan dua partai oposisi yang memiliki cara pandangan berbeda dengan rezim sekarang, seharusnya Nasdem memang mengundurkan diri dan fokus dengan koalisi baru yang memiliki cara pandang berbeda.
”Jadi ini bukan tentang Anies-nya (calon presiden) yang dimajukan oleh Nasdem, tapi ini mengenai pemilihan berkoalisi dengan dua partai oposisi yang jelas-jelas beda cara pandangnya,” kata Yunarto.
Menurut Yunarto, ibarat CEO sebuah perusahaan, Presiden bisa merombak kabinetnya kapan pun tanpa dibatasi oleh masa pemilu. Perombakan kabinet harus didasarkan penilaian yang obyektif berdasarkan kinerja menteri atas pemenuhan kebutuhan rakyat.
”Performa buruk karena loyalitas kepada yang lain, kapan pun layak dipecat, jangan sampai sisa waktu itu dijadikan alasan untuk tidak ganti personel. Jangan hanya didasarkan alasan politik. Tidak ada batasan karena pemilu,” tuturnya.