Kejaksaan Jawab Permintaan Komnas HAM Terkait Kasus Paniai
Kejaksaan mengklaim telah membuka diri dan menerima audiensi dari komisioner Komnas HAM yang baru terkait kasus pelanggaran HAM berat di Paniai, Papua, pada 2014.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kejaksaan Agung menyatakan bahwa hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM untuk kasus pelanggaran hak asasi manusia berat di Paniai tahun 2014 belum sempurna. Atas vonis bebas terhadap terdakwa dalam kasus itu, Kejaksaan Agung memastikan akan bertindak profesional dan tidak atas desakan atau tekanan dari pihak mana pun.
Pada Kamis (8/12/2022), Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) di Makassar menjatuhkan vonis bebas terhadap Mayor Infanteri (Purn) Isak Sattu. Isak adalah terdakwa tunggal kasus dugaan pelanggaran HAM berat yang terjadi di Paniai pada 2014.
Dalam kasus tersebut, jaksa menuntut Isak dengan hukuman 10 tahun penjara. Isak didakwa melakukan tindak pidana pelanggaran HAM berat berupa kejahatan terhadap kemanusiaan, dengan dakwaan kesatu Pasal 42 Ayat (1) Huruf a dan Huruf b, juncto Pasal 7 Huruf b, Pasal 9 Huruf a, Pasal 37 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Terkait hal itu, Kejaksaan Agung (Kejagung) menyatakan akan menempuh upaya hukum kasasi dalam 14 hari ke depan sembari mempelajari pertimbangan putusan. Sementara, Komnas HAM dalam konferensi pers pada Sabtu (10/12/2022) memberikan rekomendasi agar pemerintah mendukung penyelidikan Komnas HAM. Selain itu, Komnas HAM juga meminta Kejagung terus berkoordinasi dengan Komnas HAM dan menindaklanjuti hasil penyelidikan kasus pelanggaran HAM berat yang dilakukan Komnas HAM.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana, Minggu (11/12/2022), mengatakan, hasil penyelidikan Komnas HAM mengenai kasus Paniai dinilai belum sempurna. Dengan demikian, langkah Kejagung dengan melakukan penyidikan umum dan membawanya ke Pengadilan HAM merupakan sebuah terobosan.
”Kita masih mempunyai waktu menentukan sikap sambil mempelajari putusan Pengadilan HAM sehingga keputusan dan pertimbangan yang diambil tidak terburu-buru, profesional, dapat dipertanggungjawabkan, dan tidak ada kaitannya dengan desakan atau tekanan dari pihak mana pun,” kata Ketut.
Ia menegaskan, Kejagung sebagai penegak hukum memiliki independensi dalam penegakan hukum. Oleh karena itu, Kejagung tidak harus mempertimbangkan rekomendasi ataupun kepentingan di luar kepentingan penegakan hukum.
Menurut Ketut, kejaksaan juga telah membuka diri dan menerima audiensi dari Komisioner Komnas HAM yang baru untuk berkoordinasi dan berkomunikasi tanpa harus disampaikan kepada publik.
Kembali ke kasus pelanggaran HAM berat di Paniai, menurut Ketut, penyidik mengalami tantangan dalam membangun konstruksi yuridisnya. Sebab, terdapat kesulitan dalam mencari alat bukti dan saksi karena peristiwa tersebut sudah lama terjadi.
”Namun, dalam waktu dekat akan kami pertimbangkan untuk mengajukan upaya hukum kasasi,” kata Ketut.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar berpandangan, meski majelis hakim memvonis terdakwa bebas, majelis hakim juga menyatakan bahwa dugaan pelanggaran HAM berat dalam peristiwa Paniai benar terjadi. Hal tersebut penting karena bisa ditindaklanjuti dengan mencari terdakwa lainnya.
”Ini yang menurut saya penting karena memang peristiwanya betul dinyatakan terjadi sehingga harus dicari pelaku yang memang bertanggung jawab terhadap pemberian perintah sehingga menyebabkan peristiwa itu terjadi,” kata Wahyudi.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim Pengadilan HAM di Makassar menyatakan, terdakwa Isak tidak terbukti melanggar pasal yang dikenakan. Sebab sebagai perwira penghubung, secara struktural Isak tidak bertanggung jawab pada pasukan di sana.
Terkait hal itu, menurut Wahyudi, setiap proses hukum terhadap kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia terkesan telah dimaksudkan untuk gagal. Berkaca dari kasus pelanggaran HAM berat sebelumnya, yakni Timor-Timur, Abepura, dan Tanjung Priok, semuanya berakhir dengan bebasnya para terdakwa.
Demikian pula kesan tersebut dinilai juga tampak dalam kasus pelanggaran HAM berat di Paniai ini. Sebab jika jaksa penuntut umum tetap memaksakan bahwa terdakwa Isak tersebut harus bertanggung jawab, hal itu problematis karena yang bersangkutan tidak memiliki wewenang komando untuk memberikan perintah saat itu.
”Jadi kasasi dimaksudkan untuk menghukum terdakwa atau untuk menguji pernyataan hakim bahwa ada pelanggaran HAM berat dalam kasus Paniai?” kata Wahyudi.
Di sisi lain, Wahyudi mengingatkan agar sembari proses hukum berjalan, pemulihan hak korban dalam peristiwa Paniai sangat penting. Hal itu mestinya bisa segera dilakukan tanpa harus menunggu keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.