Jimly Asshiddiqie dan Abdul Mukthie Fadjar Terima M Yamin Award
Dalam forum Konferensi Hukum Tata Negara di Malang, Jawa Timur, diumumkan bahwa dua mantan hakim konstitusi meraih penghargaan M Yamin. Dua sosok itu ialah Jimly Asshiddiqie dan Abdul Mukthie Fadjar.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·3 menit baca
MALANG, KOMPAS — Dua mantan hakim konstitusi, Jimly Asshiddiqie yang pernah menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi dan Abdul Mukthie Fadjar yang pernah menjabat sebagai wakil ketua MK, menerima anugerah Muhammad Yamin Ke-4 untuk kategori berbeda.
Penghargaan untuk Jimly diberikan atas karyanya yang monumental di bidang hukum tata negara, sementara Mukthie untuk kategori lifetime achievement sebagai pengabdi konstitusi dan hukum tata negara.
Penghargaan tersebut diberikan dalam forum Konferensi Hukum Tata Negara VII di Batu, Malang, Jawa Timur, Sabtu (3/12/2022). Jimly hadir secara daring melalui Zoom, sedangkan Mukthie hadir secara langsung. Konferensi HTN VII terselenggara atas kerja sama Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Padang, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, dan lainnya.
Jimly dinilai layak untuk menerima anugerah karya monumental untuk disertasinya yang dibukukan tahun 1994. Buku bertajuk Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya itu memberikan oase segar di tengah sistem pemerintahan Orde Baru saat itu. Buku tersebut menjadi rujukan dan pegangan bagi para mahasiswa fakultas hukum.
Selain Ketua Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, bertindak sebagai dewan juri, antara lain, hakim konstitusi Saldi Isra, Rektor Universitas Andalas Yuliandri, Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Ali Safa’at, dan peneliti Pusako Charles Simabura.
Dalam sambutannya, Jimly mengucapkan terima kasih atas penghargaan Muhammad Yamin, di mana Yamin merupakan salah satu tokoh simbolik dalam bidang hukum dan konstitusi. Ia kembali mengingatkan bahwa konstitusi merupakan suatu kontrak sosial, sebuah kesepakatan bersama membangun negara.
Jimly mengajak untuk terus mempromosikan hal itu di negara hukum, negara konstitusional. Dia menekankan, negara hukum bukan negara politik atau machstaat atau negara ekonomi seperti yang dibayangkan kebanyakan orang sekarang.
”Bernegara itu ya ekonomi, ekonomi, ekonomi, ekonomi. Tidak demikian. Negara adalah negara hukum, ekonomi hanyalah teman, politik yang memutuskan. Yang menentukan adalah hukum. Maka, hukum harus terus menjadi panglima. The rule of law. Bukan the rule by law. The rule of man by law. Di mana hukum cuma alat untuk justifikasi,” ujar Jimly yang sudah menghasilkan lebih dari 70 buku tersebut.
Ia mengungkapkan, saat ini masih banyak yang harus dibenahi. Secara matematis, Indonesia menjadi negara terbesar keempat di dunia. Indonesia juga negara demokrasi terbesar keempat, tetapi indeks demokrasi RI masih di peringkat ke-68.
Sementara itu, Mukthie Fajar dalam sambutannya banyak mengenang kiprahnya sebagai hakim MK. Mukthie yang pernah menjabat sebagai Wakil Ketua MK mengungkapkan, upaya untuk mengganggu MK sebenarnya sudah sejak dahulu ada. Banyak pihak yang coba menganggu karena tidak senang dengan putusan yang dihasilkan.
Peneliti Pusako Charles Simabura mengatakan, penghargaan tersebut merupakan salah satu bentuk apresiasi terhadap keilmuan dan orang-orang yang memikirkan bagaimana negara ini bisa menjadi lebih baik sesuai konstitusi.