Menjelang Pemilu 2024, gerakan simpul-simpul sukarelawan Joko Widodo semakin aktif. Beragam tanda tanya muncul di balik mobilisasi sukarelawan ini. Bagaimana dan untuk apa mereka bergerak?
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO, NINA SUSILO
·5 menit baca
Sukarelawan Joko Widodo terus bergerak menjelang Pemilu 2024. Mereka siap mendukung sosok capres yang didukung Jokowi.
Hasil Musyawarah Rakyat akan dipaparkan di depan Jokowi pada Februari-Maret 2023 dengan melibatkan 2.000 orang.
Analis politik menilai mobilisasi sukarelawan ini bertujuan untuk memberi tekanan psikologis kepada elite partai politik.
Meskipun Pemilihan Presiden 2014 dan 2019 sudah lama berlalu, napas sukarelawan pendukung Presiden Joko Widodo seakan tak pernah habis. Jelang Pemilihan Presiden 2024, mereka kian aktif bermanuver, mulai dari memobilisasi massa yang besar hingga berkomunikasi dengan partai-partai politik. Harapannya, ada titik temu antara suara akar rumput dan keputusan partai terkait sosok calon presiden dan calon wakil presiden penerus Jokowi.
Sukarelawan yang tergabung dalam Gerakan Nusantara Bersatu berkumpul dan memadati Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, 26 November 2022. Mereka terlihat semakin bersemangat ketika sosok yang mereka dukung, Presiden Jokowi, hadir secara langsung dan menyapa mereka kembali.
Seiring dengan itu, sekelompok sukarelawan pendukung Jokowi juga terus bergerilya menuntaskan Musyawarah Rakyat (Musra) Indonesia. Musra ini dianggap sebagai wadah yang paling pas untuk mencari calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) penerus program Jokowi. Tak cukup menggelar Musra, mereka juga bersilaturahmi dengan partai-partai besar, seperti Partai Golkar dan Partai Gerindra, untuk membicarakan hasil Musra tersebut. Bahkan, setiap kunjungan mereka disambut langsung ketua umum dan pejabat teras setiap partai.
Bendahara Umum Pro Jokowi (Projo) Panel Barus menyadari, sukarelawan tidak bisa bergerak sendiri sehingga harus menggandeng parpol. Begitu pula sebaliknya, parpol diyakini juga tidak bisa hanya mengandalkan kekuatan para kadernya. Mereka membutuhkan kekuatan sukarelawan Jokowi yang terbukti mampu memenangkan Jokowi dalam dua kali pemilihan presiden (pilpres) dan nanti diharapkan pula bisa memenangkan partai sekaligus capres-cawapres usungan parpol.
”Menurut teman-teman di parpol, hasil Musra ini, kan, kalau kami analogikan, kamu lagi menyetir, ini akan jadi maps-nya, supaya tidak nyasar. Atau seminim-minimnya kalau bawa mobil, harus ada spionnya, bisa lihat ke belakang, kiri, dan kanan. Mereka, kan, mau tahu juga apa suara rakyat,” ujar Panel saat dihubungi di Jakarta, Rabu (30/11/2022).
Projo ingin agar ke depan partai tidak hanya berpatokan pada dua variabel dalam menentukan langkah politiknya, hasil survei, dan keputusan politik internal partai. Namun, Musra diharapkan juga dapat menjadi menjadi salah satu variabel tersebut.
Musra dinilai menjadi variabel menarik karena melibatkan hampir 15.000 responden di setiap pergelaran Musra. Hingga kini, Musra sudah digelar delapan kali, yakni di Bandung (Jawa Barat), Pekanbaru (Riau), Batam (Kepulauan Riau), Palembang (Sumatera Selatan), Padang (Sumatera Barat), Makassar (Sulawesi Selatan), Banten, dan Hong Kong. Jumlah orang yang terlibat diklaim jauh lebih besar dibandingkan responden dalam survei-survei nasional yang mencapai sekitar 1.200 orang.
”Jadi, menurut kami, hasil Musra ini akan lebih presisi untuk mengetahui ke mana arah harapan rakyat,” ucap Panel.
Nantinya, hasil Musra akan dipaparkan di depan Presiden Jokowi pada Februari-Maret 2023 di Istora Senayan, Jakarta. Diperkirakan 2.000 orang akan hadir dalam final Musra tersebut. Hasil Musra yang dipaparkan pun tidak ujug-ujug berkaitan dengan nama capres-cawapres, tetapi akan dipaparkan terlebih dahulu meliputi agenda kebangsaan ke depan, program prioritas harapan rakyat, hingga kriteria pemimpin yang menjadi harapan rakyat.
”Nah, hasil itu kami kasih ke Pak Jokowi. Kan, seorang pemimpin republik, seorang presiden, boleh juga dong tahu hasil Musra. Pak Jokowi sendiri juga menanti hasil Musra ini. Perintah beliau, kan, jelas, dengar kembali keinginan dan aspirasi rakyat. Musra inilah wadahnya,” kata Panel.
Semangat digelarnya Musra ini sebenarnya juga sejalan dengan diadakannya acara Nusantara Bersatu di Stadion GBK beberapa waktu lalu. Meski Projo mengaku tidak ikut terlibat dalam acara Nusantara Bersatu, kegiatan tersebut tetap dianggap penting sebagai langkah konsolidasi gerakan sukarelawan.
Hasil itu kami kasih ke Pak Jokowi. Kan, seorang pemimpin republik, seorang presiden, boleh juga dong tahu hasil Musra. Pak Jokowi sendiri juga menanti hasil Musra ini. Perintah beliau, kan, jelas, dengar kembali keinginan dan aspirasi rakyat. Musra inilah wadahnya.
Hal ini pula yang disampaikan Ketua Panitia Nusantara Bersatu Aminuddin Ma’ruf. Menurut Aminuddin, gerakan sukarelawan di tingkat nasional dan lokal sangat penting untuk dikonsolidasikan sehingga kelak semua bisa seritme dan seirama dengan arahan Jokowi. ”Biar nanti pas Presiden Jokowi menyampaikan arahannya, mesinnya sudah siap,” ujar Aminuddin yang juga menjabat Staf Khusus Presiden.
Ia mengatakan, Jokowi belum memberikan arahan apa pun terkait sosok yang akan didukung dalam Pilpres 2024. Sukarelawan juga tidak ingin mendesak-desak Jokowi agar segera mengungkap siapa sosok yang akan didukung nanti. ”Kami, sih,namanya sukarelawan, ya manut, ya terserah yang diikutilah. Kami serahkan, mau kapan, kami siap. Mau siapa pun, kami siap,” ujarnya.
Ia juga menyadari bahwa pada akhirnya parpol memiliki peranan penting untuk menentukan sosok capres-cawapres yang akan maju pada Pilpres 2024. ”Jadi, yang mana direkomendasikan oleh parpol, terus itu didukung sama Pak Jokowi, nah itu kami dukung,” katanya.
Posisi tawar Jokowi
Pengajar Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, Haryadi, menilai kekuatan sukarelawan terbatas sebagai kekuatan simbolik ketimbang kekuatan riil. Kendati demikian, kemampuan kelompok ini memainkan isu dukungan di media arus utama ataupun media sosial membuat mereka bisa berkontribusi pada kemenangan Jokowi dalam Pilpres 2014 dan 2019.
Ketika tidak ada lagi kebutuhan elektoral untuk Pak Jokowi pada 2024, untuk kepentingan politik apa sampai belakangan sukarelawan dimobilisasi kembali? Kiranya hanya Pak Jokowi yang paham.
Ketika kali ini kelompok-kelompok sukarelawan bermunculan kembali, ia menyampaikan analisisnya. ”Pak Jokowi sebagai sentrum kekuasaan tentu tetap membutuhkan topangan dukungan riil maupun simbolik. Butuh dukungan partai maupun sukarelawan. Ketika tidak ada lagi kebutuhan elektoral untuk Pak Jokowi pada 2024, untuk kepentingan politik apa sampai belakangan sukarelawan dimobilisasi kembali? Kiranya hanya Pak Jokowi yang paham,” tuturnya.
Namun, senada dengan informasi dari sejumlah elite parpol pendukung pemerintahan Jokowi, Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya menengarai kian dekatnya Jokowi dengan kelompok sukarelawan mengindikasikan ada kemungkinan figur capres yang diinginkan Jokowi sebagai penerusnya berbenturan dengan keinginan parpol tertentu.
Mulai ”dipanaskannya” mesin kelompok-kelompok sukarelawan bisa jadi sebagai tekanan psikologis terhadap partai-partai politik yang ada untuk mengusung calon tertentu. Posisi tawar Jokowi semakin kuat dengan menunjukkan keberadaan ”pasukan”.
Terlebih Jokowi bukan ketua umum partai. Posisinya di PDI-P sebatas kader, bukan pengurus partai. ”Jadi, satu-satunya saluran yang bisa menjembatani komunikasi konstituen dan Jokowi adalah sukarelawan tadi. Kelompok sukarelawan sekaligus memberi keleluasaan untuk Pak Jokowi dalam membuat keputusan dan meng-endorse keputusannya,” tambah Yunarto.
Dalam konteks ”kemampuan” kelompok sukarelawan memikat calon pemilih untuk mendukung capres tertentu, Yunarto agak berbeda dengan Haryadi. Sebab, rasa keterikatan masyarakat terhadap partai (party ID) di Indonesia relatif kecil, yakni belasan persen. Di Amerika Serikat dan Australia, misalnya, angka party ID ini mencapai 40-50 persen.
Sejarah membuktikan efek (kelompok-kelompok sukarelawan) besar dan itu yang memenangkan Pak Jokowi dari Pilkada DKI, bukan hanya saat pemilu presiden.
Artinya, ada kesenjangan besar antara suara partai dan suara konstituen di Indonesia. Ini dibuktikan dari tidak linearnya kekuatan suara gabungan parpol dengan perolehan suara calon kepala daerah.
Kelompok-kelompok sukarelawan disebut sebagai jembatan atau wadah aspirasi untuk individu-individu yang merasa tidak terlalu cocok dengan arah ataupun kegiatan partai politik. ”Sejarah membuktikan efek (kelompok-kelompok sukarelawan) besar dan itu yang memenangkan Pak Jokowi dari Pilkada DKI, bukan hanya saat pemilu presiden,” ujar Yunarto.