Kasus Paniai, Koalisi LSM di Papua Serukan Putusan Hukum secara Progresif
Koalisi LSM HAM Papua meminta majelis hakim tidak hanya memvonis satu terdakwa kasus pelanggaran HAM di Paniai. Hakim dituntut memerintahkan Kejaksaan Agung menyelidiki pelaku lain yang terlibat dalam kasus ini.
Oleh
FABIO MARIA LOPES COSTA
·3 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS — Majelis hakim yang menyidangkan kasus dugaan pelanggaran HAM berat Paniai di Pengadilan Negeri Makassar, Sulawesi Selatan, segera memutuskan nasib Mayor Inf (Purn) Isak Sattu selaku terdakwa kasus itu. Koalisi lembaga swadaya masyarakat HAM di Papua menyerukan hakim memutuskan kasus tersebut menggunakan upaya hukum secara progresif sehingga ada pihak lain yang seharusnya turut bertanggung jawab.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Papua Emanuel Gobay, di Jayapura, Minggu (27/11/2022), mengatakan, pihaknya yang tergabung dalam Koalisi LSM HAM di Papua menilai kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) Paniai pada 2014 merupakan kejahatan kemanusiaan. Sebab, aksi tersebut merupakan serangan yang meluas atau sistematik dan ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil.
Emanuel mengatakan, hukum dan standar internasional yang berlaku untuk kejahatan terhadap kemanusiaan menyatakan bahwa pihak yang memiliki tanggung jawab komando ataupun pihak yang secara langsung melakukan kejahatan harus dimintai tanggung jawab pidana. Contoh, peradilan HAM berat di Provinsi Timor-Timur yang kini negara Timor Leste dengan mengadili 5 orang terdakwa.
Kasus Paniai adalah peristiwa ketika pasukan TNI menembak warga dan menyebabkan 4 orang tewas dan 10 lainnya luka-luka di Distrik Paniai, Kabupaten Paniai, Papua. Kasus yang terjadi pada 8 Desember 2014 ini membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk dinyatakan sebagai pelanggaran HAM berat.
Penembakan itu terjadi di tengah unjuk rasa warga yang memprotes pemukulan yang dilakukan sejumlah oknum TNI. Pemukulan ini sendiri adalah dampak cekcok mulut saat seorang anggota TNI nyaris menabrak sekelompok pemuda yang sedang meminta sumbangan di jalan untuk acara Natal.
Terdakwa dalam kasus ini adalah Mayor Inf (Purn) Isak Sattu selaku pimpinan TNI AD tertinggi di wilayah Paniai ketika terjadi insiden tersebut. Persidangan kasus ini telah dimulai sejak 21 September 2022 dan direncanakan tahapan putusan pada 5 Desember 2022.
Dalam dakwaannya, jaksa penuntut umum mengatakan, sebagai komandan militer, Isak Sattu dinilai tidak mampu mencegah terjadinya kejahatan dan pelanggaran kemanusiaan kepada warga sipil. Padahal, kejahatan ini dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah kekuasaannya.
”Kami berharap majelis hakim memberikan putusan maksimal terhadap terdakwa serta menggunakan hukum yang progresif sehingga memutuskan adanya pihak lain yang turut bertanggung jawab. Upaya ini dengan memerintahkan Kejaksaan Agung menyelidiki dan memproses hukum pelaku dengan kategori komando pembuat kebijakan, komando di lapangan, pelaku di lapangan, dan pelaku pembiaran,” papar Emanuel.
Sementara itu, Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP) Latifah Anum Siregar, yang turut tergabung dalam Koalisi LSM HAM, menyatakan pemerintah harus berkomitmen kuat dan konkret dalam memenuhi hak korban pelanggaran HAM. Ia pun menuntut pemerintah mencegah impunitas kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Papua dan tetap mengedepankan mekanisme yudisial, terutama kasus Wasior tahun 2001 dan kasus di Wamena tahun 2003 yang sudah pada tahap proses penyelidikan di Komnas HAM.
”Majelis pemeriksa perkara harus memperhatikan hak dari para korban sesuai amanat Pasal 35 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Hal ini juga ditegaskan dalam Peraturan Pelaksana Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran HAM yang berat," tutur Latifah.
Dalam pemberitaan Kompas pada 14 November 2022, Isak menyatakan sejumlah poin terkait tuntutan 10 tahun penjara yang dibacakan jaksa penuntut umum. Menurut Isak, dakwaan terhadap dirinya prematur dan terkesan dipaksakan dan tidak adil karena kepolisian dan angkatan lain tidak ada yang dikenai sanksi atau didakwa. Padahal, pengamanan dalam peristiwa Paniai secara bersama-sama.
”Kalau murni saat itu hanya koramil yang terlibat, mungkin masuk akal. Tapi ini justru tugas pokok kepolisian (yang membubarkan massa). Kok, tidak ada yang didakwa. Di mana keadilan di sini?” kata Isak kepada majelis hakim.