Pada Sabtu (26/11/2022), Kongres Ulama Perempuan Indonesia 2 melahirkan delapan rekomendasi. Salah satunya adalah kepemimpinan perempuan menghadapi ideologi intoleran dan penganjur kekerasan.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JEPARA, KOMPAS — Kongres Ulama Perempuan Indonesia 2 yang berlangsung di Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari, Jepara, Jawa Tengah, resmi ditutup pada Sabtu (26/11/2022). KUPI-2 ini melahirkan delapan rekomendasi yang diharapkan dapat ditindaklanjuti secara kultural ataupun struktural. Hasil rekomendasi itu juga diserahkan kepada Kementerian Agama.
Seusai Kongres Ulama Perempuan Indonesia 2 (KUPI-2) diselenggarakan selama dua hari di Jepara pada 24-26 November 2022, delapan rekomendasi atau ikrar KUPI-2 dilahirkan dalam acara penutupan tersebut. Ikrar dirumuskan setelah serangkaian diskusi paralel dengan berbagai tema dan narasumber. Lima hal utama yang menjadi diskursus dalam acara ini adalah pengelolaan sampah bagi lingkungan berkelanjutan, kepemimpinan perempuan menghadapi ideologi intoleran dan penganjur kekerasan, perlindungan jiwa perempuan dari kehamilan akibat perkosaan, pemaksaan perkawinan pada perempuan dan anak, serta pemotongan dan pelukaan genitalia.
Delapan rekomendasi KUPI-2 itu dibacakan oleh perwakilan dari Fatayat NU Cirebon, Roziqoh. Dia menyebutkan eksistensi ulama perempuan telah direkognisi dan diterima di kalangan masyarakat, pesantren, perguruan tinggi, pemerintahan, media, dan kalangan dunia internasional. KUPI mendorong agar negara menjadikan KUPI sebagai mitra kerja strategis dalam perumusan kebijakan dan pengelolaan isu-isu strategis bangsa, mulai dari tingkat pusat, daerah, hingga desa dan kelurahan. Masyarakat sipil perlu menjadikan jaringan KUPI sebagai mitra strategis dalam membangun gerakan sosial untuk peradaban yang berkeadilan.
”Jaringan KUPI perlu diperkuat, baik kapasitas, akses, maupun sumber daya, dalam membangun peradaban yang berkeadilan bagi seluruh umat manusia,” kata Roziqoh.
KUPI juga berpandangan bahwa kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, termasuk pemerkosaan, telah menyebabkan perempuan tersudut oleh kehamilan, stigma, dan diskriminasi. Oleh karena itu, KUPI mendorong negara bisa mengubah dan menyelaraskan regulasi yang berpihak pada keselamatan dan perlindungan jiwa perempuan dan mengimplementasikannya dengan konsisten.
Negara juga diminta untuk mempercepat penyusunan dan implementasi berbagai kebijakan yang terkait kelompok rentan kekerasan, terutama peraturan pelaksanaan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PRT).
”Masyarakat sipil perlu terlibat dalam pengawasan pelaksanaan kebijakan negara, melakukan edukasi masyarakat, dan pendampingan pada korban. Jaringan KUPI perlu mengakselerasi gerakan penghapusan kekerasan terhadap perempuan dengan perspektif pengalaman perempuan dalam pandangan keagamaan,” katanya.
KUPI juga memberikan perhatian khusus pada pengelolaan sampah secara berkelanjutan. Sampah dinilai bukan semata urusan perempuan, melainkan tanggung jawab semua pihak. Demi keberlangsungan lingkungan hidup dan kelestarian alam, negara diminta untuk memperlakukan isu sampah sebagai isu penting dan genting dengan merumuskan kebijakan pengelolaan sampah yang partisipatif, melibatkan pelaku usaha, konsumen, dan struktur negara hingga ke desa.
”Masyarakat sipil mengambil peran dalam gerakan penanggulangan sampah. Jaringan KUPI perlu memperkuat masyarakat dengan pandangan keagamaan untuk menanggulangi sampah,” tuturnya.
Terkait dengan fenomena ekstremisme beragama, hal itu juga telah terbukti berdampak langsung terhadap rusaknya kemaslahatan perempuan, antara lain peningkatan kekerasan terhadap perempuan atas nama agama. KUPI mendesak negara melindungi seluruh warga negara tanpa kecuali, baik laki-laki maupun perempuan, dari bahaya ekstremisme dengan memperkuat nilai-nilai moderasi beragama.
KUPI mendesak agar negara melindungi seluruh warga negara tanpa kecuali, baik laki-laki maupun perempuan, dari bahaya ekstremisme.
Masyarakat sipil berperan melakukan pendidikan kritis kepada masyarakat dan mempromosikan praktik serta pandangan agama yang moderat, toleran, dan inklusif. Adapun jaringan KUPI juga perlu memperkuat perempuan sebagai aktor perdamaian berbasis pengalaman dan pengetahuan perempuan.
Isu lain, praktik pemaksaan perkawinan dan perkawinan anak juga telah terbukti menyengsarakan keberlangsungan hidup perempuan dan peradaban. Secara struktural, negara diminta memastikan implementasi regulasi-regulasi untuk menghentikan praktik pemaksaan perkawinan dan perkawinan anak. Masyarakat sipil juga perlu mengawasi negara dalam mengimplementasikan regulasi serta melakukan pendidikan masyarakat untuk menghapus pemaksaan perkawinan dan mencegah perkawinan anak.
”Jaringan KUPI perlu menyosialisasikan pandangan KUPI dan memperluas jaringan untuk gerakan menghapus pemaksaan perkawinan dan mencegah perkawinan anak,” ungkapnya.
Terakhir terkait dengan isu pemotongan dan pelukaan genitalia perempuan tanpa alasan medis yang terbukti memberikan dampak mudarat bagi perempuan. Praktik ini diketahui masih marak dilakukan sebagai tradisi atau budaya masyarakat. Negara didesak mengadopsi pandangan keagamaan yang melarang praktik pemotongan dan pelukaan genitalia pada perempuan tanpa alasan medis melalui regulasi dan tahapan implementasinya.
”Masyarakat sipil perlu mengadopsi dan jaringan KUPI perlu menyosialisasikan pandangan keagamaan KUPI yang mengharamkan pemotongan dan pelukaan genetalia perempuan tanpa alasan medis di masyarakat,” ucapnya.
Di luar lima isu utama itu, KUPI juga menyerukan solidaritas bagi masyarakat Muslim, khususnya kelompok perempuan, di banyak negara yang mengalami opresi dan krisis kemanusiaan seperti di Afghanistan, Iran, Myanmar, Turki, dan China (Uighur). KUPI akan menuntut pemerintah di negara itu untuk menghentikan tindakan opresi tersebut. Mereka juga diminta menjamin kemaslahatan warganya dengan spirit Islam rahmatan lil alamin atau meletakkan penghormatan pada hak-hak perempuan.
KUPI juga mendorong tumbuhnya gerakan ulama perempuan di berbagai komunitas lokal dunia dengan berbekal pada pengalaman KUPI sebagai inspirasi di mana gerakan kepercayaan intra dan inter-faiths, demokrasi, pelibatan laki-laki, dan keadilan lingkungan dilandaskan pada pengalaman dan pengetahuan perempuan.
Setelah dibacakan, rekomendasi itu diserahkan kepada Staf Ahli Menteri Agama Bagian Hukum dan Hak Asasi Manusia Abu Rahmat. Abu mengatakan, Kementerian Agama mengapresiasi rekomendasi yang dibuat oleh KUPI. Kemenag seolah mendapatkan mitra strategis yang baru. ”Kami siap melaksanakan. Nanti konkretnya kami sampaikan lagi kepada KUPI,” katanya.
Bunyi rebana kecil yang dipukul bersamaan menutup perhelatan KUPI-2. Penutupan acara yang berlangsung meriah itu juga dihadiri oleh Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas dari DI Yogyakarta. GKR Hemas berharap rekomendasi KUPI dapat ditindaklanjuti karena menjadi isu bersama yang menjadi perhatian publik khususnya kaum puan.
”KUPI menghasilkan fatwa yang ramah pada perempuan. Kami akan mencoba meneruskan ini kepada anggota parlemen,” ucapnya.