Pencopotan Aswanto Dinilai Inkonstitusional, Penggantinya Akan Disumpah Presiden
Meski menuai kritik tajam, DPR bergeming dan enggan menganulir keputusannya menghentikan hakim konstitusi Aswanto dengan Sekjen MK Guntur Hamzah. Bahkan, disebut-sebut, Presiden Jokowi akan mengambil sumpahnya.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI, SUSANA RITA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — DPR telah memutuskan tidak memperpanjang masa jabatan hakim konstitusi Aswanto yang juga Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi. Meski menuai kritik tajam, DPR bergeming dan enggan menganulir keputusannya itu. Bahkan, disebut-sebut, Presiden Joko Widodo dikabarkan akan mengambil sumpah pengganti Aswanto dalam pekan ini.
Pengamat pun menilai pencopotan Aswanto adalah langkah inkonstitusional yang mengganggu kemandirian hakim. Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini saat dihubungi, Senin (21/11/2022), menilai penarikan dukungan dari DPR terhadap hakim Aswanto bisa dibaca publik sebagai ruang untuk memengaruhi sikap hakim lain. Penjegalan itu, menurutnya, adalah mekanisme ilegal dan harus dilihat sebagai langkah inkonstitusional. Apabila presiden menyetujui keputusan DPR, publik kini hanya bisa berharap hakim-hakim tetap memegang teguh komitmen mereka sebagai penjaga konstitusi dan demokrasi.
“Semoga tidak lagi ada intervensi dan anasir negatif terhadap hakim-hakim yang lain. Karena jika suasana seperti ini, mereka seolah bekerja dalam bayang-bayang ketakutan karena sewaktu-waktu dapat dicopot,” katanya.
Menjelang tahun politik dan Pemilu 2024, evaluasi lembaga pengusul akan menjadi persoalan besar MK. Sebab, MK juga akan menyidangkan berbagai perkara yang berkaitan dengan pemilihan legislatif, pemilihan presiden dan wakil presiden, hingga sengketa hasil pilkada. Evaluasi sangat mungkin dilakukan lembaga pengusul, yaitu presiden, DPR, dan Mahkamah Agung, berdasarkan favoritisme terhadap figur tertentu. Itu merupakan indikasi buruk karena bisa menjadi bentuk tekanan atau intimidasi tidak langsung terhadap kemandirian hakim.
”Semoga tidak lagi ada intervensi dan anasir negatif terhadap hakim-hakim yang lain. Karena jika suasana seperti ini, mereka seolah bekerja dalam bayang-bayang ketakutan karena sewaktu-waktu dapat dicopot.”
“Preseden hakim Aswanto jangan sampai berdampak terhadap hakim lain. Jangan sampai hakim lain menjadi terpengaruh atau ragu-ragu dan menahan diri untuk bersidang dan memutus yang sesuai dengan keadilan dan nilai-nilai konstitusi,” katanya.
Sebelumnya, keputusan untuk mengganti Aswanto itu disampaikan dalam Rapat Paripurna Ke-7 DPR masa sidang pertama tahun sidang 2022-2023, Kamis (29/9/2022). Pimpinan DPR kemudian mengirimkan surat kepada Presiden setelah pengambilan keputusan di rapat paripurna itu. Setelah itu, Presiden Joko Widodo akan menerbitkan keputusan presiden (keppres) tentang penunjukan Guntur dan pemberhentian Aswanto.
Berdasarkan informasi yang dihimpun Kompas, Presiden Jokowi dikabarkan segera mengambil sumpah Sekjen MK Guntur Hamzah sebagai hakim konstitusi. Bahkan pengambilan sumpah diagendakan segera digelar pada pekan ini. Namun, saat dikonfirmasi terpisah, Juru Bicara Mahkamah Konstitusi Enny Nurbaningsih mengaku belum mengetahui informasi tersebut. Dia juga sudah menanyakan perihal informasi itu kepada Ketua MK Anwar Usman, tetapi belum ada yang tahu soal itu.
”Saya sudah bertanya kepada ketua tetapi tidak tahu,” kata Enny yang juga hakim konstitusi saat dikonfirmasi, Senin (21/11/2022).
”Saya sudah bertanya kepada ketua tetapi tidak tahu.”
Putusan uji materi
Di sisi lain, pada Rabu (23/11/2022) nanti, MK juga akan memutus perkara pengujian Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, khususnya terkait Pasal 87 Huruf b yang mengatur perubahan masa jabatan hakim konstitusi saat ini dengan mengikuti ketentuan undang-undang baru. Putusan tersebut diharapkan dapat menuntaskan perdebatan mengenai penggantian hakim konstitusi Aswanto oleh DPR yang oleh sebagian kalangan dinilai inkonstitusional.
MK dalam putusan sebelumnya (96/PUU-XVIII/2020) menyebutkan bahwa hakim konstitusi yang menjabat saat ini otomatis mengikuti ketentuan UU baru yang tidak lagi mengenal periodisasi masa jabatan. Namun, diperlukan tindakan hukum berupa pemberitahuan dari MK kepada Lembaga pengusul hakim konstitusi (DPR, Mahkamah Agung, dan Presiden) terkait masa jabatan hakim berubah dari yang semula periodisasi lima tahunan menjadi hingga berusia 70 tahun dengan maksimal menjabat selama 15 tahun.
Namun, ternyata ketika MK memberitahukan perubahan masa jabatan hakim tersebut melalui surat, DPR justru memberhentikan Aswanto. DPR kemudian memilih Guntur Hamzah yang juga Sekretaris Jenderal MK sebagai penggantinya.
Uji materi diajukan karena ada tafsir yang berbeda terhadap putusan MK terkait Pasal 87 Huruf b UU MK. Permohonan uji materi diajukan seorang advokat konstitusi, Zico Leonard Djagardo Simanjuntak, yang akan diputus pada Rabu ini, setelah dilakukan dua kali sidang, yaitu pada 7 November dan 15 November lalu. Zico mempersoalkan langkah DPR yang secara terang benderang dinilainya telah mengintervensi MK dengan mengganti hakim yang mereka usulkan sebelumnya.
Pemohon menilai langkah penggantian sepihak Aswanto telah merugikan dirinya selaku advokat dengan spesialis memegang perkara di bidang tata negara. Ia sudah beberapa kali mengajukan perkara ke MK antara lain pengujian UU Fiducia, UU Cipta Kerja, dan UU Advokat.
”Pemohon pasti perlu kekuasaan kehakiman yang independen dan merdeka. Sebab, hakikat uji materiil adalah memperkarakan produk hukum ciptaan penguasa.”
”Pemohon pasti perlu kekuasaan kehakiman yang independen dan merdeka. Sebab, hakikat uji materi adalah memperkarakan produk hukum ciptaan penguasa,” kata Zico dalam sidang 15 November lalu.
Langkah DPR mengganti Aswanto, menurut Zico, melanggar hak konstitusionalnya karena independensi MK yang sedang digerus DPR menimbulkan preseden buruk di kemudian hari. Sebab, Lembaga yang mengajukan hakim konstitusi (DPR, Mahkamah Agung, dan Presiden) akan bisa mengganti hakim konstitusi kapan saja sebab hakim adalah wakil mereka.
Problem hukum juga bakal muncul apabila penggantian dilakukan kemudian sejumlah pihak mempersoalkan keputusan presiden yang memberhentikan Aswanto dan mengangkat Guntur Hamzah sebagai penggantinya dipersoalkan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
”Ketika Guntur Hamzah sudah duduk sebagai hakim konstitusi, lalu keppres tersebut diperkarakan di PTUN, yang mana bisa memakan waktu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun untuk inkracht, tiba-tiba putusan inkracht-nya adalah membatalkan keppres tersebut, maka permasalahannya kemudian, apakah masa jabatan Guntur Hamzah tersebut dianggap sah? Bagaimana dengan putusan-putusan yang diadili Guntur Hamzah? Apakah batal demi hukum? Bagaimana kemudian pengembalian kursi hakim MK dari Guntur Hamzah kepada Aswanto?” tanya Zico.
Menurut dia, berbagai kemungkinan itu bisa saja terjadi di masa depan mengingat saat ini tidak ada saluran untuk dapat memperkarakan tindakan DPR yang oleh sebagian kalangan dinilai inkonstitusional tersebut. Tindakan baru dapat dilakukan jika sudah ada eksekusi menjadi keputusan tata usaha negara. Untuk itu, ia pun meminta agar ada kewenangan untuk MK menangani perkara pengaduan konstitusional atau constitutional complain. ”Karena sekarang ada kekosongan hukum, di mana tidak ada jalur memperkarakan inkonstitusionalitas tindakan lembaga negara sehingga tidak bisa diperkarakan,” katanya.
Ia pun meminta MK memprioritaskan penanganan perkara pengujian UU MK tersebut. Rupanya, permohonan tersebut dipenuhi sebab MK akan membacakan putusan lebih kurang seminggu setelah sidang terakhir (sidang kedua). (ANA/DEA)