Pembentukan Polda di Provinsi Baru Akan Dikaji Tahun Depan
Polri berencana akan mengkaji ulang pembentukan polda di tiga provinsi baru yang terbentuk di Papua. Untuk sementara, fungsi keamanan di ketiga daerah otonom baru itu akan dijalankan oleh polres dan polsek yang ada.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pada 2023, Kepolisian Negara RI akan mengkaji secara mendalam kebutuhan personel kepolisian untuk pendirian kepolisian daerah di tiga provinsi baru di Papua yang sudah terbentuk. Untuk saat ini, keamanan dan ketertiban serta pelayanan masyarakat di tiga provinsi tersebut akan dimaksimalkan dari kepolisian resor maupun kepolisian sektor yang ada di ibu kota provinsi induk yang ada di dalam daerah otonom baru tersebut.
Pada Juli lalu, tiga provinsi baru hasil pemekaran dari Provinsi Papua telah lahir, yakni Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan. Tiga penjabat gubernur untuk ketiga provinsi tersebut juga telah dilantik.
Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Dedi Prasetyo, ketika dihubungi, Sabtu (19/11/2022), mengatakan, terkait pembentukan kepolisian daerah (polda) di ketiga provinsi baru tersebut masih akan dikaji ulang terlebih dahulu pada 2023. Kajian tersebut antara lain mencakup kebutuhan sarana dan prasarana serta sumber daya manusia. ”Tahun 2023 akan dibuat kajian mendalam terlebih dahulu,” kata Dedi.
Untuk saat ini, kata Dedi, tugas pelayanan masyarakat akan dilaksanakan oleh kepolisian resor yang sudah ada. Demikian pula kebutuhan personel untuk saat ini akan didukung dari polres dan kepolisian sektor (polsek) setempat.
”(Tugas pelayanan) Dimaksimalkan dari polres dan polsek yang ada di ibu kota provinsi,” ujar Dedi.
Tugas pelayanan masyarakat akan dilaksanakan oleh kepolisian resor yang sudah ada.
Secara terpisah, pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies, Bambang Rukminto berpandangan, secara umum, rasio ideal jumlah polisi di suatu negara ialah 1 berbanding 450. Itu berarti, seorang polisi untuk 450 warga atau 225 petugas polisi untuk setiap 100.000 warga sipil.
Rasio tersebut merupakan standar ideal. Sementara, kebutuhan setiap negara berbeda-beda bergantung pada potensi kerawanan terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat. Meskipun demikian, besar kecilnya rasio polisi tersebut akan menentukan efektivitas pelayanan kepolisian terhadap masyarakat.
”Semakin kecil rasio polisi, semakin efektif pelayanan kepolisian kepada masyarakat. Sebaliknya, semakin besar rasio polisi akan menyebabkan pengaduan masyarakat tidak tertangani dengan baik, penyidikan berlarut-larut, intensitas patroli rendah, atau kehadiran polisi di tempat kejadian perkara (quick response) tidak tepat waktu,” tutur Bambang.
Selain pertimbangan rasio polisi, menurut Bambang, pembentukan polda di tiga provinsi baru di Papua tersebut juga mesti mempertimbangkan sejarah, kondisi kultural, serta kondisi demografis dan geografis Papua. Sebab, hal tersebut terkait erat dengan tingkat kerawanan yang khas di sana.
Meski demikian, menurut Bambang, pembentukan polda baru seiring pembentukan provinsi baru tersebut perlu kajian yang lebih cermat dan mendalam. Untuk tugas pelayanan masyarakat cukup dilakukan dengan peningkatan personel di polres dan polsek yang sudah ada serta penempatan detasemen atau kompi dari Korps Brimob di wilayah rawan.
”Aspek-aspek terkait kebutuhan keamanan tentunya juga sudah dipertimbangkan oleh pemerintah dan parlemen,” kata Bambang.