Muhammadiyah Diharapkan Jadi Penyeimbang Pemerintah
Muhammadiyah harus jadi kekuatan penyeimbang pemerintah karena tidak optimalnya peran lembaga-lembaga formal yang bertugas sebagai penyeimbang, seperti parlemen. Hal ini diperkirakan akan berlanjut pasca-Pemilu 2024.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU, ANITA YOSSIHARA
·3 menit baca
SURAKARTA, KOMPAS — Persyarikatan Muhammadiyah diharapkan tetap tampil sebagai kekuatan penyeimbang bagi pemerintah di masa mendatang. Sebab, diperkirakan dukungan terhadap pemerintah pasca-Pemilu 2024 akan menguat sehingga lembaga-lembaga formal, seperti parlemen, yang semestinya menjadi pengontrol pemerintah justru akan mandul. Sementara masyarakat sipil belum optimal menjadi penyeimbang pemerintah karena belum terkonsolidasi dengan baik.
Bersamaan dengan itu, organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam yang didirikan KH Ahmad Dahlan pada tahun 1912 tersebut tetap harus menyiapkan calon-calon pemimpin bangsa. Salah satunya dengan mendorong para kader agar berkiprah di lembaga-lembaga politik dan negara.
”Dalam politik itu Muhammadiyah harus tetap menjadi penyeimbang pemerintah,” kata Direktur Eksekutif Ma’arif Institute A Rohim Ghazali dalam forum uji publik membahas gagasan dan visi Muhammadiyah ke depan yang digelar secara virtual, Kamis (17/11/2022).
Pada 19-20 November, Muhammadiyah bersama Aisyiyah akan menggelar Muktamar Ke-48. Selain pemilihan ketua umum dan anggota Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, muktamar juga membahas program kerja serta berbagai isu strategis di bidang keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan universal. Sebelum muktamar, pada Jumat (18/11/2022), akan digelar Tanwir dengan agenda memilih 39 dari 92 bakal calon ketua umum.
Rohim mengungkapkan, Muhammadiyah harus menjadi kekuatan penyeimbang pemerintah karena lembaga-lembaga formal yang punya tugas sebagai penyeimbang pemerintah, seperti parlemen, diperkirakan akan mandul.
”Sebab, dugaan saya pasca-Pemilu 2024 akan terjadi pola yang sama, yakni terbentuk koalisi jumbo pendukung pemerintah di parlemen. Itu yang menyebabkan mereka tidak optimal atau bahkan mandul menjalankan tugas mengawasi pemerintah,” tuturnya.
Saat lembaga-lembaga formal itu mandul, semestinya kelompok masyarakat sipil yang menjadi penyeimbang pemerintah. Namun, pada kenyataannya, lobi kelompok masyarakat sipil, seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM), kepada pemerintah kurang kuat.
”Karena itu, pada akhirnya organisasi-organisasi seperti Muhammadiyah dan NU itulah yang menjadi tumpuan masyarakat,” ucapnya.
Meski begitu, Rohim menegaskan, menjadi kekuatan penyeimbang bukan berarti nyinyir dan terus mengkritik semua kebijakan pemerintah. Muhammadiyah sepatutnya memberikan kritik yang konstruktif sekaligus solutif untuk menjawab berbagai tantangan dan persoalan bangsa.
Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah Sunanto sepakat, Muhammadiyah harus tetap menjaga independensi di hadapan pemerintah. Selain terkait dengan integritas, karakter itu juga merupakan pembeda Muhammadiyah dengan organisasi-organisasi lain. Persyarikatan berfokus pada gerakan kemanusiaan dan keumatan, bukan pada perebutan kekuasaan.
Namun, hal itu tidak berarti bahwa Muhammadiyah bersikap antipolitik. Persyarikatan justru perlu terus mempersiapkan kader-kader untuk membawa visi besarnya di berbagai ruang di luar Muhammadiyah.
”Sekarang menjadi tugas pimpinan Muhammadiyah untuk mempersiapkan itu semua, agar Indonesia bisa dikelola oleh orang-orang yang benar-benar mencintai Indonesia dan keindonesiaannya,” kata Sunanto.
Oleh karena itu, ia berharap pasca-Muktamar Ke-48, Muhammadiyah mampu mengembangkan organisasi hingga ke luar Jawa. Pengembangan keorganisasian penting untuk memeratakan gerakan serta memastikan bahwa kebermanfaatan gerakan bisa diterima oleh seluruh lapisan masyarakat.
”Kolaborasi pemimpin senior dan pemimpin muda juga penting, sebagai manifestasi kecenderungan responsif terhadap situasi terkini,” ujar Sunanto.
Mantan Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah, yang kini menjabat sebagai Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) di DPR, Saleh Partaonan Daulay, menambahkan, Muhammadiyah harus terus bisa menjadi penjaga nilai dan norma kemanusiaan dan keagamaan di tengah masyarakat.
Peran itu penting dalam konteks masuknya berbagai nilai dari luar Indonesia seiring dengan menggeliatnya globalisasi serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selama lebih dari 110 tahun berdiri, persyarikatan ini pun telah terbukti mampu berperan bagi umat dan bangsa.
Saleh berharap Muktamar Ke-48 dapat memperkuat dan memperluas pengabdian Muhammadiyah, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga sampai ke mancanegara. Persyarikatan juga perlu untuk menjaga konsistensi untuk beramal sosial yang merupakan kunci kebertahanan Muhammadiyah selama ini.
”Perkembangan teknologi (juga) tidak boleh diabaikan. Aktivitas dakwah harus beradaptasi dengan semua perkembangan yang ada. Dengan begitu, dakwah Muhammadiyah tidak akan lekang digerus waktu,” katanya.