Teror di Balik Jubah Hakim
Insiden kursi melayang di ruang sidang barang kali tidak setiap saat dijumpai di ruang persidangan. Meski relatif jarang terjadi, bukan berarti teror kursi atau benda lain tidak mengintai ribuan pemakai toga tersebut.
Hakim Pengadilan Agama Lumajang, Jawa Timur, Zulkifli, barang kali tak pernah menyangka akan menerima lemparan kursi dari Sunandiono, suami yang digugat cerai istrinya, Ulik Humairoh. Zulkifli sebelumnya gagal memediasi kedua belah pihak.
Peristiwa itu terjadi selepas putusan cerai dibacakan pada 20 Oktober 2022. Sunandiono mengangkat kursi saksi dan dipukulkan kepada Ulik Humairo hingga tiga kali. Setelah Ulik lari keluar ruang sidang, kursi tersebut dilempar ke arah majelis hakim dan ujung kaki kursi mengenai Zulkifli pada pipi kiri bagian bawah mata sehingga menimbulkan luka sobek sekitar 4 sentimeter. Ia lantas di bawa ke Rumah Sakit Bhayangkara, Lumajang, pada hari itu juga. Sunandiono kemudian dilaporkan ke Polsek Sukodono dan ditahan di polsek tersebut.
Peristiwa itu memicu keprihatinan dari Pengurus Pusat Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) yang mengecam tindakan contempt of court yang terjadi pada hakim agama PA Lumajang tersebut. Ikahi mengimbau agar dilakukan penegakan hukum terhadap pelanggaran contempt of court tersebut. Tak hanya Ikahi, Komisi Yudisial juga terjun ke lapangan untuk mengadvokasi Zulkifli dan menemui pihak kepolisian.
”KY sangat menyayangkan peristiwa ini dan berharap tidak ada peristiwa serupa di kemudian hari,” kata juru bicara KY, Miko Ginting, beberapa waktu lalu.
Dalam terminologi KY, peristiwa pelemparan kursi itu tergolong dalam perbuatan merendahkan keluhuran dan kehormatan martabat hakim (PMKH). Kasus PMKH sebenarnya merupakan fenomena lama. Sudah berulang kali terjadi. Sebut saja pada tahun 1987, bukan kursi yang dilempar ke hakim, tetapi sandal.
Kasus tersebut benar-benar terjadi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat saat hakim Abdul Razak membacakan vonis 10 bulan penjara untuk Ny Nani alias Ny Tong tahun 1987. Kasus serupa terulang kembali 20 tahun kemudian atau pada tahun 2017 saat Deddy Sugarda, terdakwa kasus pembakaran gedung Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, yang divonis 5 tahun penjara di PN Bandung melemparkan sepatunya. Namun, kali ini sasaran amarah Deddy adalah jaksa penuntut umum Kejari Bandung, Taufik Hidayat.
Tak hanya sandal yang melayang, terkadang sangkur yang menghunjam. Hal ini terjadi di Pengadilan Agama Sidoarjo pada 21 September 2005 saat M Taufik, hakim agama PA Sidoarjo, membacakan putusan dalam sidang perkara harta gono-gini Kolonel (Laut) M Irfan. Tak hanya Taufik yang menjadi korban, tetapi istri Taufik juga mengembuskan nyawa akibat peristiwa tersebut. Sebelumnya, pada 2001, peristiwa penembakan hakim agung Syaifuddin Kartasasmita mengguncang negeri ini karena melibatkan putra Presiden kedua RI Soeharto, yakni Tommy Soeharto.
Bukan hanya hakim yang menjadi sasaran amarah, melainkan gedung pengadilan terkadang menjadi tempat pelampiasan kekecewaan. Pada tahun 2019, sarana dan prasarana di kantor PN Bima dan PN Bulukumba dirusak massa. Pada tahun ini, KY menangani setidaknya 11 kasus PMKH mulai dari perusakan gedung oleh massa, pencemaran nama baik hakim melalui media sosial atau baliho ataupun spanduk, serta upaya mengganggu persidangan oleh kelompok massa.
Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Bandung Mas Hushendar dalam diskusi publik pencegahan PMKH yang digelar KY Oktober 2022 mengakui sudah berkali-kali merasakan berbagai peristiwa yang bisa dikatakan sebagai tindakan untuk memengaruhi jalannya persidangan. Misalnya, demonstrasi besar-besaran di mana hal ini dikhawatirkan dapat mengurangi independensi hakim dalam menjatuhkan putusan.
Ketika bertugas di Pengadilan Negeri Aceh, Mas Husnendar bercerita pernah menyidangkan seorang terdakwa yang masih ada hubungannya dengan Gerakan Aceh Merdeka. Pada saat sidang pembacaan putusan, terdakwa tidak mau masuk ke ruang sidang dan petugas gagal menghadirkannya. Meskipun demikian, majelis hakim tetap menjatuhkan putusan dan menghukum terdakwa.
Peristiwa kedua adalah ketika mengadili terdakwa kasus narkoba di PN Cirebon. Gembong narkoba tersebut berpura-pura sakit sehingga harus dihadirkan di ruang persidangan dengan menggunakan kursi roda. Ketika putusan dibacakan dan sampai pada kesimpulan terdakwa bersalah, gembong narkoba tersebut membuat ulah seolah-olah mendapatkan serangan (penyakit) sehingga diperintahkan untuk menunggu di luar ruang sidang. ”Saat diputus, kemudian dipanggil, terdakwa lari dan tidak bisa ditangkap. Ini mengelabui pengadilan,” ujarnya.
Contoh-contoh semacam itu, kata Mas Husnendar, adalah bagian dari banyaknya kasus penghinaan terhadap pengadilan atau contempt of court. Selain peristiwa-peristiwa di dalam persidangan seperti yang dicontohkan di atas, tindakan contempt of court juga melalui media masa, media sosial, ataupun dalam bentuk surat pengaduan.
Ketua PN Sutarjo menegaskan, profesionalitas dan integritas menjadi kunci utama menjalankan tugas sebagai hakim. Namun, ia mengakui hakim terkadang melontarkan pernyataan ataupun menunjukkan sikap yang justru merendahkan diri sendiri. Bagaimanapun, hakim merupakan aktor utama dalam penanganan perkara di persidangan sehingga sikap, perbuatan, dan perilakunya baik di dalam dinas maupun di luar dinas menjadi perhatian masyarakat. Hal tersebutlah yang seharusnya disadari dan dijaga.
Tak sendiri
Ancaman terhadap aparat penegak hukum sebenarnya bukan hanya milik hakim, jaksa dan polisi pun mengalaminya. Cerita ini diungkapkan oleh Kepala Pusat Data Statistik Kriminal dan Teknologi Informasi Kejaksaan Agung Didik Farkhan Alisyahdi. Jaksa yang pernah menangani kasus dugaan pembunuhan aktivis hak asasi manusia, Munir, tersebut sudah kenyang makan asam garam dengan beragam bentuk ancaman yang berpotensi mengganggu independensi.
”Bagaimana kami karena yang potensi jadi tersangka adalah BIN. SMS-nya banyak. Kami dijaga oleh Bareskrim, di rumah kami sering ada orang datang, hanya tanya, ini rumahnya Pak Didik. Nanya saja,” ujarnya.
Ia juga pernah menangani kasus pembunuhan di Kalimantan Selatan di mana persidangannya selalu dihadiri ribuan orang. Dalam kasus tersebut, akhirnya ia menuntut terdakwa dengan pidana mati yang kemudian disambut oleh massa yang bersorak-sorai. Tak hanya ancaman fisik, ia juga pernah mendapatkan ancaman magis saat bertugas di Kejaksaan Negeri Kutai Timur.
Sebagai jaksa, ia beruntung bahwa peraturan perundang-undangan sudah menyiapkan perangkat perlindungan di Pasal 8 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan. Disebutkan, jaksa berhak mendapatkan perlindungan negara dalam menjalankan kewenangannya. Pasal itu juga mengatur jaksa diperbolehkan untuk membawa senjata api.
Jika ada perlindungan untuk jaksa, lantas bagaimana dengan hakim? Pembentuk UU telah mengatur KY agar mengambil peran dalam menjaga dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim. Pasal 20 Ayat (1) Huruf e UU KY menugaskan KY untuk mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim. Pasal tersebut ditindaklanjuti dengan mengeluarkan Peraturan KY Nomor 8 Tahun 2013 tentang Advokasi Hakim.
Mengacu pada peraturan tersebut, tiga dimensi perbuatan yang masuk dalam kategori PMKH adalah mengganggu proses pengadilan atau hakim dalam memeriksa, mengadili, memutus perkara; mengancam keamanan hakim di dalam dan di luar persidangan; serta menghina hakim dan pengadilan.
Sejak 2013, KY sudah menjalankan tugas advokasi hakim. Setidaknya terdapat 85 kasus dugaan PMKH yang sudah ditangani hingga tahun 2022. Jenis PMKH yang ditangani sangat beragam, mulai dari ancaman, tekanan, dan kekerasan terhadap hakim di dalam maupun di luar persidangan, perusakan fasilitas persidangan dan pengadilan, penghinaan terhadap hakim, dan lain-lain.
Anggota KY Bidang Sumber Daya Manusia, Advokasi, Hukum, Penelitian, dan Pengembangan, Binziad Kadafi, mengakui bahwa jumlah yang ditangani KY tersebut masih relatif minim. Tugas advokasi KY ini kurang populer di mata hakim dibandingkan fungsi pengawasan yang dimilikinya. Salah satu sebabnya tidak semua hakim bersedia melaporkan dugaan PMKH yang menimpa dirinya.
Ada anggapan dari sebagian hakim bahwa beberapa dugaan PMKH di pengadilan sebenarnya merupakan bagian dari dinamika persidangan yang ”lumrah” terjadi, khususnya untuk pengadilan-pengadilan yang menangani perkara yang banyak dan kompleks. Terkadang, kasus dugaan PMKH tidak dipandang sebagai sesuatu yang serius dan perlu ditindaklanjuti.
Khusus untuk pengamanan persidangan dan hakim, Binziad Kadafi mengungkapkan, yang perlu dipastikan adalah pemenuhan berbagai prosedur dan infrastruktur pengadilan yang ada. Misalnya, ada petugas pengamanan di tiap ruang sidang, ada jalur evakuasi bagi hakim, jalur masuk bagi hakim yang berbeda dengan jalan masuk bagi terdakwa ataupun pengunjung sidang. Selain itu, perlu dipastikan ada jarak yang memadai antara hakim dengan terdakwa dan pengunjung sidang.
MA sendiri mengeluarkan Peraturan MA Nomor 5 dan 6 Tahun 2020 tentang standar pengamanan protokol persidangan yang diatur secara komprehensif. Peraturan ini perlu menjadi acuan dilaksanakannya pengamanan di pengadilan.
RKUHP
Saat ini, pembentuk undang-undang sedang membahas Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang ditargetkan disahkan pada Selasa (6/12/2022). Draf tersebut memuat klausul mengenai perlindungan terhadap hakim pada saat menangani perkara.
Baca juga: Selasa Depan, RKUHP Akan Dibawa ke Rapat Paripurna DPR
Dalam draf terakhir Rancangan RKUHP versi 30 November 2022, diatur bab khusus mengenai tindak pidana terhadap proses peradilan. Pasal 280 Ayat (1) RKUHP menyebut ”Dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori II, setiap orang yang pada saat sidang pengadilan berlangsung: a. tidak mematuhi perintah pengadilan yang dikeluarkan untuk kepentingan proses peradilan; b. bersikap tidak hormat terhadap aparat penegak hukum, petugas pengadilan, atau persidangan padahal telah diperingatkan oleh hakim; c. menyerang integritas aparat penegak hukum, petugas pengadilan, atau persidangan dalam sidang pengadilan; atau d. tanpa izin pengadilan memublikasikan proses persidangan secara langsung.”
Komisioner KY, Binziad Kadafi, sudah pernah mendorong ada perbaikan terhadap pasal tersebut. Ia mempersoalkan terminologi ”perintah pengadilan” pada huruf a. Frasa ”perintah pengadilan” tersebut bisa rancu karena biasanya pengadilan merujuk pada ketua pengadilan berikut struktur birokrasinya. Padahal, maksud dari pengaturan pasal tersebut adalah hakim selaku ketua sidang yang memimpinnya jalannya persidangan.
”Pengadilan dan hakim ketua sidang itu berbeda. Nanti pengadilan akan dirujuk pada ketua PN,” katanya.
Ia juga mempersoalkan frasa ”kepentingan proses peradilan” masih pada ayat yang sama. Menurut dia, yang dimaksud dengan kepentingan proses peradilan haruslah diturunkan secara lebih obyektif dalam bentuk tata tertib persidangan yang perlu disusun dengan melibatkan partisipasi publik.
Mahkamah Agung perlu menindaklanjuti pasal tersebut dengan menerbitkan peraturan MA tentang tata tertib persidangan. Khusus huruf a, KY merekomendasikan, ada perubahan rumusan; a. tidak mematuhi perintah hakim ketua sidang yang dikeluarkan untuk menegakkan tata tertib persidangan.
KY juga menyebut ada bagian yang memuat berbagai istilah yang tidak jelas batasannya, misalnya ”tidak hormat” atau ”menyerang integritas”. Memang di bagian penjelasan diuraikan yang dimaksud dengan menyerang integritas hakim adalah menuduh hakim bersikap memihak atau tidak jujur.
”Menurut kami, itu ancaman serius bagi pihak berperkara ataupun pencari keadilan saat bersikap kritis terhadap hakim di persidangan. Kami khawatir ketentuan tersebut justru merugikan bagi pihak beperkara untuk menindaklanjuti tindakannya dalam bentuk laporan ke berbagai lembaga pengawas, seperti Komisi Yudisial,” ujarnya.