Selasa Depan, RKUHP Akan Dibawa ke Rapat Paripurna DPR
Pengesahan RKUHP pada Selasa (6/12/2022) dianggap bertentangan dengan semangat kampanye 16 Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan. RKUHP masih memuat pasal yang dinilai problematik.
Oleh
REBIYYAH SALASAH, NIKOLAUS HARBOWO
·6 menit baca
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Aktivis Aksi Kamisan, Maria Catarina Sumarsih, turut mendukung dan bergabung dengan para aktivis lainnya menyerukan penolakan pengesahan RKUHP pada Aksi Kamisan di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (1/12/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat menjadwalkan pengambilan keputusan atas Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau RKUHP dalam rapat paripurna, Selasa (6/12/2022). Padahal, langkah DPR dan pemerintah yang ingin agar RKUHP segera disahkan sudah menuai sorotan dari Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa dan masyarakat sipil karena di draf RUU itu masih ditemui sejumlah pasal bermasalah.
Dalam situs resmi DPR yang diakses Kompas, Sabtu (3/12/2022), tercatat, DPR akan menggelar Rapat Paripurna Ke-11 DPR, Masa Persidangan II Tahun Sidang 2022-2023 pada Selasa (6/12/2022) pukul 10.00. Salah satu agenda dalam rapat paripurna tersebut adalah pengambilan keputusan atas RUU tentang KUHP.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (3/12/2022) membenarkan mengenai rencana tersebut. ”Rencananya bisa begitu,” ujar Dasco.
Selain pengambilan keputusan mengenai pengesahan RKUHP menjadi undang-undang, ada dua agenda lain dalam rapat paripurna nanti. Di antaranya, pengambilan keputusan atas RUU tentang Pengesahan Perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Singapura tentang kerja Sama Pertahanan. Kemudian, pengambilan keputusan atas RUU tentang Pengesahan Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Fiji tentang Kerja Sama Bidang Pertahanan.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad saat diwawancarai wartawan di Kompleks Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (1/2/2021).
Selain tiga agenda di atas, Dasco belum dapat memastikan apakah dalam rapat paripurna nanti juga akan diambil persetujuan terkait pengesahan Laksamana Yudo Margono sebagai Panglima TNI. Sebab, hal tersebut belum diputuskan dalam rapat pimpinan (rapim) DPR atau rapat badan musyawarah (bamus) DPR.
”Untuk persetujuan Panglima TNI masih kami lihat apakah Senin (5/12/2022) masih dirapimkan atau dibamuskan. Karena rapim itu, kan, melihat kecocokan waktu pimpinan DPR. Nanti kami akan koordinasikan, dan kami akan kabari media,” tutur Dasco.
Sebelumnya pada Jumat (2/12/2022), Komisi I DPR telah menyetujui pengangkatan Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Yudo sebagai Panglima TNI. Yudo akan menggantikan Jenderal Andika Perkasa yang akan pensiun pada 21 Desember 2022.
Sorotan PBB
Terkait dengan RKUHP, Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa menyurati DPR terkait pasal-pasal problematik dalam RKUHP. Wakil Direktur Imparsial Ardi Manto Adiputra menuturkan, surat Pelapor Khusus PBB itu berawal dari pertemuan Koalisi Masyarakat Sipil dengan Kantor Komisaris Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk HAM (OHCHR) di Geneva, 30 Agustus lalu. Koalisi Masyarakat Sipil sendiri terdiri dari Imparsial, LBH Pers, SAFENet, ICJR, IJRS, YLBHI, Greenpeace, Kontras, ELSAM, LBH Masyarakat, dan AJI Indonesia.
Dalam surat sebanyak 12 halaman yang diperoleh Kompas, Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyampaikan keprihatiannya atas RKUHP. Hal itu lantaran muatan RKUHP dinilai melanggar prinsip resolusi Dewan Hak Asasi Manusia PBB.
”RKUHP akan terus membatasi akses aborsi, diskriminasi terhadap perempuan dan anak perempuan, minoritas agama atau kepercayaan dan kelompok LGBT, menghukum kohabitasi dan menghambat kebebasan berekspresi, beragama atau berkeyakinan dan berserikat,” tulis Pelapor Khusus dalam surat yang diterima Kompas, Sabtu (3/12/2022). Surat tersebut terbit pada 25 November 2022 atau sehari setelah DPR dan pemerintah menyetui mengesahkan RKUHP di tingkat I.
Surat itu ditulis oleh empat Pelapor Khusus, antara lain Pelapor Khusus di bidang hak budaya, Alexandra Xanthakil; Pelapor Khusus tentang hak setiap orang untuk menikmati standar kesehatan fisik dan mental tertinggi yang dapat dicapai, Tlaleng Mofokeng; Pelapor Khusus tentang kebebasan beragama atau berkeyakinan, Nazila Ganea, dan Pelapor Khusus tentang kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan, penyebab dan akibatnya, Reem Alsalem.
Ketua Pelapor Kelompok Kerja tentang diskriminasi terhadap perempuan dan anak perempuan Dorothy Estrada-Tanck dan Victor Madrigal-Borloz dan Ahli Independen tentang perlindungan terhadap kekerasan dan diskriminasi berdasarkan orientasi seksual dan identitas gender juga ikut menulis surat tersebut.
Dalam surat tersebut, setidaknya ada 13 pasal yang disoroti oleh Pelapor Khusus. Pasal 2 RKUHP, misalnya, dianggap berpotensi mengkriminalisasi kelompok rentan dan sewenang-wenang. Hal itu dikarenakan tidak ada daftar resmi tentang hukum yang hidup dalam masyarakat. Selain itu, Pasal 408-410 RKUHP tentang larangan mempertunjukkan alat pencegah kehamilan dan alat penggugur kandungan. Pasal itu dianggap membatasi pertukaran informasi dan pendidikan seksualitas yang komprehensif.
Kelompok Kerja tentang diskriminasi terhadap perempuan dan anak perempuan menyatakan bahwa penolakan akses ke berbagai informasi dan layanan kontrasepsi serta kegagalan untuk menghilangkan merupakan bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan anak perempuan.
”Itu membahayakan kesejahteraan mereka dan kami telah merekomendasikan agar negara memastikan akses ke berbagai informasi dan layanan kontrasepsi untuk perempuan dan anak perempuan, termasuk kontrasepsi darurat,” tulis Pelapor Khusus PBB.
Pelapor Khusus PBB juga menyoroti pasal-pasal yang mengancam kebebasan pers dan berpotensi mengkriminalisasi karya jurnalistik. Misalnya Pasal 218 tentang ancaman pidana bagi orang yang menyerang martabat dan kehormatan presiden dan wakil presiden. Selain itu, Pasal 263 soal ancaman pidana penyebarluasan berita atau informasi bohong yang berakibat kerusuhan.
Dalam surat itu, Pelapor Khusus PBB meminta DPR dan pemerintah memberikan penjelasan terkait pasal-pasal yang dianggap bermasalah di RKUHP itu. Selagi menunggu balasan, Pelapor Khusus PBB mendesak DPR untuk menunda pengesahan.
Kelompok masyarakat sipil yang fokus pada isu perempuan, Perempuan Mahardika, beranggapan pasal-pasal yang jadi sorotan Pelapor Khusus PBB itu memang muatan yang selama ini dipermasalahkan oleh masyarakat. Ketua Perempuan Mahardika, Mutiara Ika, mengatakan, pasal-pasal itu justru menjadi alat untuk semakin memenjarakan perempuan dan melanggengkan kekerasan terhadap perempuan.
Pasal 2 RKUHP terkait hukum yang hidup dalam masyarakat, misalnya, membuka potensi lebar kekerasan terhadap perempuan. Hal itu dikarenakan hukum didasarkan pada situasi masyarakat yang perspektifnya masih patriarkis.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Para aktivis dari Aliansi Nasional RKUHP menggelar aksi di Jalan Karet Pasar Baru Timur 5, Jakarta, menolak rencana pengesahan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), Selasa (23/8/2022). Selain penolakan pengesahan, mereka juga menyuarakan jika dibukanya ruang diskusi mengenai RKUHP selayaknya diselenggarakan secara terbuka, bukan secara formalitas.
Sementara itu, Mutiara menilai, Pasal 408-410 RKUHP tentang larangan memamerkan alat kontrasepsi sebagai upaya negara membatasi perempuan mengakses pengetahuan.
”Kehamilan, kan, siklus yang bisa terjadi pada perempuan. Jika untuk mendapatkan edukasi seperti itu dilarang, secara langsung DPR dan pemerintah mau bilang perempuan tidak boleh mengenal tubuhnya sendiri,” ujar Mutiara.
Mutiara juga menyesalkan tindakan tergesa-gesa DPR dan pemerintah untuk mengesahkan RKUHP. Terlebih, RKUHP akan disahkan di tengah peringatan 16 Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKtP) yang dimulai 25 November hingga 10 Desember 2022. Simbol 16 HAKtP merupakan kampanye internasional untuk mendorong upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia.
Pasal-pasal problematik RKUHP melanggengkan kekerasan terhadap perempuan.
”Pengesahan RKUHP akan bertentangan dengan semangat kampanye 16 HAKtP karena bermuatan pasal yang justru melanggengkan kekerasan terhadap perempuan,” ujarnya.
Proses panjang RKUHP
Anggota Komisi III DPR, Johan Budi, mengatakan, pihaknya tidak mengetahui soal surat dari Pelapor Khusus PBB. Ia tidak mau berkomentar terkait isi surat itu karena belum membacanya.
Walakin, Johan Budi, menilai wajar jika ada kritikan-kritikan yang disampaikan kepada DPR dan pemerintah. Namun, menurut dia, masyarakat harus melihat bahwa RKUHP telah melewati pembahasan yang panjang. DPR dan pemerintah, kata Johan Budi, sejauh ini telah terbuka untuk menampung aspirasi dari masyarakat. Bahkan hingga pembahasan terakhir pada 24 November 2022.
”Setiap undang-undang pasti tidak bisa memuaskan 100 persen seluruh masyatakat Indonesia. Pasti ada yang setuju dan ada yang tidak. Akan tetapi, kita harus menghargai proses yang dilakukan pemerintah dan DPR serta melihat upaya mengakomodasi masukan masyarakat,” tutur Johan.