Tingkatkan Kapasitas Tempur, Prabowo Ingin Perbanyak ”Drone”
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto mengingatkan, berkaca dari Perang Rusia-Ukraina, kemampuan melancarkan serangan elektronik menjadi salah satu kunci penting dalam menghadapi peperangan di masa depan.
Oleh
Raynard Kristian Bonanio Pardede
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kapabilitas Tentara Nasional Indonesia dalam melakukan serangan elektronik dinilai masih rendah. Padahal, penggunaan perangkat elektronik menjadi faktor krusial dalam menentukan hasil dari sebuah peperangan di masa depan. Indonesia perlu meningkatkan kapabilitas tempur elektroniknya, antara lain melalui penggunaan drone atau pesawat nirawak.
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menerangkan, berkaca dari Perang Rusia-Ukraina, kemampuan melancarkan serangan elektronik menjadi salah satu kunci penting dalam menghadapi peperangan di masa depan. Ia mencontohkan Rusia yang dinilai tidak memiliki rencana efektif untuk melawan serangan pesawat nirawak Ukraina.
”Kita harus belajar dari kegagalan. Kita harus beli pesawat nirawak dan akuisisi senjata untuk melawannya dan melatih para pilotnya juga,” kata Prabowo dalam Seminar Nasional Tantangan TNI AU dalam Peperangan Elektronika di Lanud Halim Perdanakusuma pada Selasa (8/11/2022).
Ia menambahkan, kini muncul konsep yang disebut sebagai demokratisasi udara, di mana negara kecil seperti Ukraina bisa menandingi kekuatan besar dari Rusia di udara. Hal ini dikarenakan, pesawat nirawak semakin mudah didapatkan dan harganya pun terjangkau. Selain itu, adanya pengembangan satelit mini memudahkan banyak negara untuk memiliki satelit.
Negara kecil seperti Ukraina bisa merepotkan negara superpower seperti Rusia, salah satunya karena pesawat tanpa awak yang sekarang harganya murah. (Menteri Pertahanan Prabowo Subianto)
”Hal ini harusnya membangkitkan optimisme kita, harusnya kita mampu. Ini harus kita kembangkan,” ucapnya.
Selain menambah jumlah pesawat nirawak, Kementerian Pertahanan juga akan menambah jumlah satelit agar Indonesia memiliki jumlah satelit yang cukup dalam menghadapi peperangan.
”Kita tidak hanya butuh dua atau tiga, tapi dalam jumlah yang cukup, jadi kalau satu ditembak, ada pengganti, dan seterusnya,” jelasnya.
Adapun, serangan elektronik merujuk pada penggunaaan gelombang elektromagnetik atau senjata antiradiasi untuk menghancurkan kemampuan musuh. Bentuk serangan dapat berupa pengecoh rudal, tembakan laser, ataupun penghilangan sinyal (jamming).
Hingga kini, TNI AU baru memiliki satu skuadron pesawat nirawak, yaitu di Skuadron 51 Wing 7 Lapangan Udara Supadio, Pontianak, Kalimantan Barat. Minimnya jumlah skuadron pesawat nirawak membuat TNI AU berencana menambah jumlah pesawat berikut dengan skuadronnya.
Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal Fadjar Prasetyo menjelaskan, TNI AU akan menambah jumlah skuadron pesawat nirawak untuk memperkuat kemampuan tempur, khususnya serangan elektronik. Ia berharap penambahan persenjataan ini bisa dipasok dari dalam dan luar negeri.
”Kami akan ada pengembangan skuadron pesawat nirawak, namun untuk lokasi persisnya tidak bisa diberi tahu, karena ini alutsista yang sensitif. Untuk pesawat ini sifatnya mobile, yang bisa digerakkan ke mana saja,” ucapnya.
Kelanjutan drone Elang Hitam bukan kita yang putuskan, itu keputusan pemerintah lanjut atau tidak. (KSAU Marsekal Fadjar Prasetyo)
Ketika ditanya mengenai kelanjutan program pengembangan pesawat nirawak Elang Hitam oleh Badan Riset Inovasi Nasional, TNI AU hanya bisa mendukung program ini melalui pemberian masukan dan saran. Ia berharap agar Elang Hitam bisa tetap dilanjutkan, mengingat program ini merupakan pengembangan teknologi dalam negeri.
”Untuk kelanjutan drone Elang Hitam bukan kita yang putuskan. Nanti pemerintah yang putuskan lanjut atau tidak,” ujarnya.
Kapasitas Indonesia
Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Andi Widjadjanto menjelaskan, Indonesia sejauh ini dianggap tidak memiliki kapasitas untuk melakukan serangan elektronik. Hal ini dikarenakan Indonesia tidak memiliki perangkat lengkap seperti alat utama sistem persenjataan (alutsista), radar, stasiun bumi, dan satelit yang dikhususkan untuk melakukan serangan elektronik.
”Merujuk International Institute for Strategic Studies, Indonesia tidak punya kapasitas ini. Negara dengan kapasitas serangan elektronik terbesar Amerika, Rusia, dan di negara-negara Eropa Barat,” terangnya.
Untuk itu ia beranggapan, peningkatan kemampuan serangan elektronik TNI merupakan hal penting karena teknologi semakin berkembang dan semakin banyak alutsista yang digerakkan secara elektronik ataupun kecerdasan buatan. Di sisi lain, kondisi regional menunjukkan posisi Indonesia yang rentan dengan ancaman pengintaian.
Andi berpendapat, di tahapan awal, Indonesia bisa mengadopsi teknologi pesawat nirawak untuk mengembangkan kapasitas elektroniknya. Ia menilai, pesawat nirawak dapat digunakan sebagai platform untuk membawa perangkat serangan elektronik.
Sebagai perbandingan, Amerika Serikat banyak menggunakan pesawat untuk membawa perangkat serangan elektroniknya, berbeda dengan Rusia yang memakai helikopter.
”Pesawat nirawak jadi transisi teknologi bagi negara-negara yang belum memiliki kapasitas yang mumpuni. Pesawat nirawak bisa digunakan untuk pengintaian sekaligus membawa perangkat serangan elektronik,” ucapnya.
Meskipun begitu, Andi berpendapat penguasaan ruang angkasa tetap menjadi penentu keberhasilan penggunaan serangan elektronik. Tanpa ada kemampuan menguasai ruang angkasa, sulit untuk memenangkan perang elektronik secara baik.