Ketua Majelis Jaringan Aktivis Pro Demokrasi Iwan Sumule datangi Divisi Profesi dan Pengamanan Polri, Senin. Mereka melaporkan dugaan pelanggaran kode etik profesi dan disiplin Polri terkait gratifikasi tambang ilegal.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jaringan Aktivis Pro Demokrasi melaporkan dugaan pelanggaran kode etik profesi dan disiplin Polri terkait dugaan penerimaan gratifikasi aktivitas penambangan ilegal yang melibatkan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Agus Andrianto, Senin (7/11/2022). Mereka mengklaim mengantongi data valid terkait laporan hasil penyelidikan dari Biro Pengamanan Internal Divisi Profesi dan Pengamanan Polri.
Ketua Majelis Jaringan Aktivis Pro Demokrasi Iwan Sumule mendatangi Divisi Profesi dan Pengamanan Polri, Senin, siang. Membawa berkas laporan hasil penyelidikan dari Biro Paminal Polri, Iwan ingin mempertanyakan mengapa laporan hasil penyelidikan dari Biro Paminal Polri yang telah selesai sejak 18 Maret 2022 itu tidak ditindaklanjuti.
Isi dari laporan hasil penyelidikan itu, di antaranya, adalah bahwa di wilayah hukum Polda Kalimantan Timur terdapat beberapa penambangan batubara ilegal yang tidak dilengkapi izin usaha pertambangan (IUP). Namun, tidak dilakukan upaya hukum dari pihak Polsek, Polres, Polda Kaltim, dan Bareskrim Polri karena ada uang koordinasi dari para pengusaha tambang batubara ilegal. Selain itu, juga ada kedekatan dari Tan Paulin dan Leny dengan pejabat utama Polda Kaltim. Selain itu, diduga juga ada intervensi dari unsur TNI dan Setmilpres.
Kebijakan dari Kapolda Kaltim Inspektur Jenderal Herry Rudolf Nahak untuk mengelola uang koordinasi dari pengusaha tambang batubara ilegal di wilayah hukum Polda Kaltim secara satu pintu melalui Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Kaltim untuk dibagikan kepada Kapolda, Wakapolda, Irwasda, Direktur Intelkam, Direktur Polairud, serta Kapolres yang wilayahnya terdapat kegiatan penambangan batubara ilegal.
Selain itu, juga ada penerimaan uang koordinasi dari para pengusaha tambang batubara ilegal kepada Komisaris Besar Budi Haryanto saat masih menjabat sebagai Kepala Subdirektorat V Dittipiter Bareskrim Polri dan Komisaris Jenderal Agus Andrianto selaku Kabareskrim Polri. Uang digunakan untuk kepentingan dinas yang tidak didukung oleh anggaran.
Isi dari laporan hasil penyelidikan itu, di antaranya, adalah bahwa di wilayah hukum Polda Kalimantan Timur terdapat beberapa penambangan batubara ilegal yang tidak dilengkapi izin usaha pertambangan (IUP). Namun, tidak dilakukan upaya hukum dari pihak Polsek, Polres, Polda Kaltim, dan Bareskrim Polri karena ada uang koordinasi dari para pengusaha tambang batubara ilegal.
Dalam laporan itu, juga ditemukan cukup bukti adanya dugaan pelanggaran oleh anggota Polri terkait penambangan, pembiaran penerimaan uang koordinasi dari para pengusaha penambang batubara ilegal yang bersifat terstruktur dari tingkat Polsek, Polres, Polda Kaltim, dan Bareskrim Polri.
Dari laporan itu disimpulkan rekomendasi kepada Kapolri agar Kapolda Kaltim melakukan pembenahan manajerial terkait penanganan dan pengelolaan tambang di Polda Kaltim dan Kabareskrim Polri melakukan pengawasan yang ketat serta menindak oknum yang masih melakukan kegiatan penambangan ilegal maupun pungutan liar (gratifikasi) terhadap kegiatan penambangan ilegal.
Laporan rekomendasi yang bersifat rahasia itu telah dilayangkan kepada Kepala Polri Jendral Listyo Sigit Prabowo pada 7 April 2022. Laporan ditandatangi oleh bekas Kepala Divisi Propam Polri Ferdy Sambo.
Laporan rekomendasi yang bersifat rahasia itu telah dilayangkan kepada Kepala Polri Jendral Listyo Sigit Prabowo pada 7 April 2022. Laporan ditandatangani oleh bekas Kepala Divisi Propam Polri Ferdy Sambo. Sambo kini telah diberhentikan secara tidak hormat dari anggota kepolisian karena terlibat kasus pembunuhan berencana terhadap ajudan pribadinya Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat dan perintangan penyidikan kasus tersebut.
Setoran Ismail Bolong
Awalnya, kasus itu viral di media sosial karena ada pernyataan dari seorang pensiunan polisi bernama Ismail Bolong. Ismail mengaku menyetor sejumlah uang kepada jajaran kepolisian, termasuk Kabareskrim. Namun, belakangan, Ismail Bolong mengklarifikasi video pernyataannya itu. Dia mengaku, video dibuat di bawah tekanan bekas Kepala Biro Paminal Polri Hendra Kurniawan. Hendra juga telah diberhentikan secara tidak hormat karena terlibat kasus perintangan penyidikan (obstruction of justice) kasus penembakan Nofriansyah.
Iwan menyebut bahwa laporannya kepada Divisi Propam Polri itu tak terkait dengan klarifikasi video Ismail Bolong. Dia menyebut, laporannya berpedoman pada laporan hasil penyelidikan dari Biro Paminal yang dimulai pada Februari, dan selesai pada Maret 2022. Hasilnya pun sudah ditandatangani oleh Kadiv Propam saat itu, bahkan sudah dikirimkan kepada Kepala Polri.
Kesimpulannya adalah mereka sudah mendapat cukup bukti adanya penerimaan uang koordinasi yang kami sebut suap tadi. Uang koordinasi itu diterima juga oleh Kabareskrim Polri Bapak Agus Andrianto.
”Kesimpulannya adalah mereka sudah mendapat cukup bukti adanya penerimaan uang koordinasi yang kami sebut suap tadi. Uang koordinasi itu diterima juga oleh Kabareskrim Polri Bapak Agus Andrianto,” terangnya.
Dia menambahkan bahwa kesimpulan dari laporan itu terletak pada pembiaran penerimaan uang koordinasi dari para pengusaha penambang batubara ilegal yang bersifat terstruktur dari tingkat Polsek, Polres, Polda Kaltim, dan Bareskrim Polri. Uang yang diterima itu terkait dengan aktivitas penambangan ilegal yang dilakukan pada 2020-2021. Uang koordinasi diberikan setiap bulan mulai dari Rp 2 miliar sampai total Rp 5 miliar. Uang itu, senilai Rp 3 miliar, diberikan kepada jajaran polisi di Bareskrim Polri.
”Informasi yang saya dapatkan, di Bareskrim Polri, uang dibagi-bagi lagi ke bawah. Khusus untuk Kabareskrim sendiri diserahkan senilai Rp 2 miliar dalam bentuk dollar Amerika Serikat. Ini juga ada di laporan hasil penyelidikan,” ungkapnya.
Dengan adanya bukti yang cukup itu, aktivis Jaringan Prodem mempertanyakan kenapa laporan hasil penyelidikan itu tidak ditindaklanjuti. Kabareskrim dinilainya tidak diproses secara etik di internal Polri. Dia juga menampik bahwa kasus ini adalah perang bintang. Menurut dia, isu ini jauh dari perang bintang di internal Polri. Alasannya, karena penyelidikan itu dilaksanakan jauh sebelum kasus penembakan Duren Tiga. Kasus ini, tegasnya, adalah soal penegakan hukum di internal Polri.
”Pihak-pihak yang terlibat dalam kasus itu harus ditindak secara etik dong. Kami ingin memberikan kesempatan bagi institusi kepolisian untuk melakukan pembenahan terhadap semua anggota kepolisian untuk menegakkan disiplin aturan yang harus dilakukan oleh semua anggota kepolisian,” terangnya.
Iwan juga menyebut bahwa laporan dan desakan dari pihaknya adalah upaya untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap institusi Polri. Selama ini, Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo selalu menyebut bahwa akan melakukan ”bersih-bersih” dengan menindak anggota Polri yang melakukan pelanggaran disiplin, etik, tanpa pandang bulu. Payung hukum untuk penegakan hukum itu juga tak kurang, mulai dari undang-undang, peraturan pemerintah, hingga peraturan polri.
”Perpol Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia sudah mengatur bahwa anggota kepolisian tidak boleh menerima uang koordinasi yang disebut tadi dari hasil penyelidikan,” jelasnya.
Kompas telah berusaha meminta konfirmasi terkait laporan ini kepada Kadiv Propam Polri Inspektur Jenderal Syahardiantono dan Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Dedi Prasetyo. Keduanya tidak menjawab pesan singkat yang dikirimkan. Berdasarkan informasi, keduanya sedang melakukan koordinasi pengamanan prapresidensi G20 di Bali.