Rancangan Perpres Percepatan Reforma Agraria Dianggap Inkonstitusional
”Mencantolkan UUCK (Cipta Kerja) dalam konsideran Rancangan Perpres RA (Reforma Agraria) adalah pelanggaran hukum,” ujar Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria Dewi Kartika.
Oleh
MAWAR KUSUMA WULAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah diminta menghentikan pembahasan Rancangan Peraturan Presiden atau Ranperpres tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria yang dianggap inkonstitusional. Rancangan Perpres diminta kembali berpedoman pada konstitusi dan Undang-Undang Pokok Agraria sebagai hukum agraria nasional tertinggi, bukan pada UU Cipta Kerja yang telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Pemerintah berjanji semua masukan akan dijadikan dasar pertimbangan.
”Status UUCK (Cipta Kerja) berdasarkan putusan MK (Mahkamah Konstitusi) adalah inkonstitusional. Mencantolkan UUCK dalam konsideran Rancangan Perpres RA (Reforma Agraria) adalah pelanggaran hukum sebab Ranperpres akan menjadi produk turunan UUCK, artinya akan inkonstitusional juga,” ujar Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, Sabtu (5/11/2022).
Menurut dia, dalam Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, UUCK telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat sehingga pemerintah tidak diperbolehkan membuat produk regulasi baru turunan UUCK. Apalagi untuk reforma agraria yang merupakan program prioritas nasional. Dengan menjadikan UUCK sebagai dasar pertimbangan (konsideran) utama, Tim Perumus dinilai telah memanipulasi dasar-dasar urgensi perbaikan Perpres RA yang dituntut Gerakan Reforma Agraria.
Saat ini, pemerintah menyusun Ranperpres Percepatan Pelaksanaan RA untuk menggantikan Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria (Perpres RA) dan Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan.
”Hukum agraria nasional kita adalah UUPA (Pokok Agraria) 1960, yang merupakan terjemahan langsung konstitusionalisme agraria kita. Bagaimana mungkin agenda Reforma Agraria di Indonesia tidak mengacu pada UUPA 1960,” kata Dewi.
Apalagi revisi perpres sudah dituntut sejak 2019 atau jauh sebelum UUCK lahir. ”Lebih dari itu UUCK adalah legacy buruk yang mendorong tanah menjadi barang komoditas semata sebab tanah diorientasikan untuk memenuhi kepentingan investor dan badan usaha raksasa bersifat ’lapar tanah’, politik agraria liberal yang berbeda dengan cita-cita UUPA dan konstitusi,” kata Dewi.
Pembahasan Ranperpres Percepatan Pelaksanaan RA yang mengacu pada UUCK dinilai akan merugikan rakyat, terutama petani, buruh tani, masyarakat adat, rakyat miskin dan daerah-daerah konflik agraria. ”Tidak ada dasar hukumnya, Ranperpres harus dipaksakan mengacu pada UUCK. Tidak ada mandat pula di dalam UUCK. Ini hanya dasar hukum yang dibuat-buat Tim Perumus,” kata Dewi.
Dihubungi terpisah, Sabtu (5/11/2022), Deputi II Bidang Pembangunan Manusia Kantor Staf Presiden (KSP) Abetnego Tarigan mengatakan, pembahasan Ranperpres Percepatan RA memasuki tahap meminta konsultasi publik dan meminta masukan dari publik, akademisi, dan lembaga swadaya masyarakat. Proses ini akan berlangsung hingga 9 November 2022.
”Tentu setiap masukan akan menjadi pertimbangan pemerintah, termasuk pandangan dari KPA,” ujar Abetnego.
Presiden Joko Widodo telah memberikan perhatian serius pada reforma agraria. Pada Juni 2022, Presiden memberikan tiga amanat kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) berkaitan dengan reforma agraria, yakni menyelesaikan sengketa sertifikat tanah yang tumpang tindih, mengatur pendaftaran bidang tanah, serta menata ibu kota negara.
Menurut Abetnego, terdapat dua isu krusial yang berkaitan dengan UUCK dalam Ranperpres ini, yaitu keberadaan Bank Tanah. Kedua, di UUCK tidak ada lagi ketentuan minimal 30 persen kawasan hutan, tapi rasio kecukupan tutupan hutan. Hal ini membuka jalan penyelesaian penguasaan tanah oleh masyarakat di kawasan hutan di Jawa, Bali, dan Lampung yang selama ini tidak ada jalan keluar.
Sejauh ini, Abetnego menambahkan bahwa yang dipahami dari berbagai masukan, keberadaan Bank Tanah tidak perlu dimasukkan atau diatur dalam Ranperpres ini. Selain terkait UUCK tersebut, Ranperpres ini membuka ruang terobosan seperti adanya enforcement kewajiban minimal 20 persen untuk rakyat dari pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan dan adanya ketentuan menyusun rencana aksi.
Menurut Dewi, karena mengikuti logika hukum UUCK, pelaksanaan reforma agraria dikhawatirkan akan dimanipulasi. Hal ini antara lain dalam tata cara pengadaan tanah ala Bank Tanah, skema hak pengelolaan (HPL) dan hak berjangka waktu menjadi tawaran penyelesaian, dan percetakan sawah baru (food estate) menjadi bagian TORA (Tanah Objek Reforma Agraria).
TORA yang bersumber dari Bank Tanah menjadi bentuk penyimpangan reforma agraria oleh UUCK dan Ranperpres. “Tidak bisa Reforma Agraria untuk petani dan konflik agraria struktural disatukan dengan skema pengadaan tanah untuk investor dan badan usaha,” tambah Dewi.
Dewi menegaskan proses perumusan dan substansi Ranperpres harus bisa mencerminkan tujuan utama reforma agraria. Reforma agraria harus memperbaiki ketimpangan penguasaan tanah yang semakin timpang dan memiskinkan rakyat; menyelesaikan konflik agraria struktural; memulihkan hak atas tanah yang terampas di masa lalu dan sekarang; serta tanah menjadi sumber kesejahteraan, alat pencapaian kedaulatan pangan, dan harga diri (dignity) masyarakat agraris.
Di sisi lain, KPA menilai pembahasan Ranperpres tidak transparan dan belum memadai dari sisi proses perumusan. Diskusi publik juga dinilai hanya formalitas, sebab pemerintah tergesa-gesa ingin mengesahkannya di akhir tahun 2022 atau awal 2023.
Dia mengingatkan, proses perumusan Ranperpres harus taat pada sejarah dan pokok-pokok mendasar dari urgensi perbaikan Perpres RA yang selama ini dituntut dengan memastikan pelibatan Gerakan Reforma Agraria secara aktif, setara, dan substantial. KPA juga meminta transparansi proses perumusan yang diselenggarakan oleh Kemenko Perekonomian, KSP, Kementerian ATR/BPN, KLHK, Kementerian BUMN, Kemendagri, Kementerian Desa dan K/L lainnya, termasuk POLRI dan TNI.